Bab 5

Sore memperlihatkan cahaya menguning nan indah. Namun sayang mahluk pilihan Tuhan yang sedang di uji saat ini tidak bisa melihat indahnya dunia, sepanjang hari dan malamnya hanya gelap yang ia rasa.

Begitu juga dengan Juna yang merasa bersalah, sore ini dia mengajak Mora untuk sekedar jalan-jalan menikmati suasana sore hari, walau orang yang di ajak sama saja responnya. Pandangannya mau di rumah atau di mana saja tetap sama, gelap. Hanya gelap.

"Mora, kamu sudah bersiap. Kita jalan sekarang?" Mengetuk pelan pintu kamar belakang yang di tempati oleh Mora dan bik Inah.

"Iya. Sebentar," pekiknya. Bik Inah yang sedang memasak merasa heran dengan sifat Juna yang tiba-tiba berubah baik. Juna menuju meja makan untuk sekedar menunggu wanita yang membuatnya merasa seperti seorang pecundang sejati.

"Apa Den ga berlebihan ngajak Mora jalan-jalan. Takutnya nyonya marah," ucap bi Inah yang sedang mencuci sayuran untuk makan persiapan makan malam.

"Tenang lah Bik. Semua bisa diatur. Lagian aku ga ada niat jelek kok sama dia," kekehnya membuat bi Inah ikut tersenyum. Tak lama Mora keluar dari kamar, dengan baju lengan panjang sederhana yang di padukan dengan rok panjang hitam dan pasmina senada.

Iya. Dia hanya wanita sederhana yang menerima apa pun pemberian orang. Bahkan baju yang ia kenakan saat ini baju bekas pemberian orang yang merasa kasihan padanya. Juna mendekati Mora dan menggandeng tangannya menuju keluar sementara tatapan aneh di perlihatkan oleh kakaknya -- Rosan, laki-laki bertubuh tinggi dan sedikit berjambang itu melihat adiknya berkelakuan aneh.

"Bik, dia kesambet apa?" Tanya Rosan pada bik Inah yang sibuk memasak.

"Ga tau tuh, Den. Dari kemarin perasaan den Juna deketin tu anak. Kasian kali karena dia kan tuna netra," jelas bik Inah seadanya.

"Gawat kalo mama tau."

"Ya biarin aja toh. Biar dia jelaskan sendiri. Ngomong-ngomong, apa kabarnya non Monic?" Tanya bik Inah mengalihkan pembicaraan.

"Saya putus sama Monic, Bik," ucapnya menampilkan wajah lesu tanpa gairah kehidupan.

"Sabar ya, Den. Mungkin dia bukan yang terbaik untuk Aden," ujarnya. Melanjutkan kembali aktivitasnya, tak berani bertanya banyak hal kenapa dia putus dan sebagainya. Bukan urusannya juga. Juga menghargai privasi seseorang.

"Kenapa sih dia tinggal di sini, Bi?" Akhirnya pertanyaan yang ia tahan beberapa hari ia lontarkan juga.

"Di usir dari kampungnya. Gara-gara hamil," jawab bik Inah, sambil menuju meja makan menghidangkan sayur yang dia masak barusan. Mata Rosan membulat sempurna mendengarnya.

"Gimana ceritanya? Kok kayak sadis banget warga kampung itu. Dah tau orang ga bisa ngapa-ngapain malah di usir. Ga ada otak," geramnya. Ia merasa heran karena orang-orang kampung kadang hanya memikirkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan orang lain. Gimana kalau gadis yang mereka usir hidup terlantar di jalan bahkan mati kelaparan. Bukankah itu dzalim namanya?

"Ceritanya panjang, Den. Yang jelas dia hamil karena di perkosa," jelas bi Inah. Bi Inah menjelaskan sambil terus melakukan aktivitasnya, bukan tak mau duduk mengobrol dan tak menghargainya, tapi lebih mengutamakan kewajibannya sebagai ART di sini.

"Kasian ya, Bi. Terus respon orang tuanya gimana?" Tanyanya lagi. Jika pertanyaan itu di tanyakan langsung pada Mora maka hati wanita itu akan merasa sedih.

"Nah itu. Dia yatim piatu," jelas bi Inah. Membuat kakak kandung Juna itu semakin iba pada Mora.

"Kasian banget. Rasanya kok aku ingin meremukkan tulang laki-laki tidak punya otak itu," geram Rosan. Andai saja dia tahu jika laki-laki yang telah menghamili Mora adalah adiknya apakah dia juga akan meremukkan tulang adiknya?

Rasanya tidak mungkin seorang kakak meremukkan adiknya, mungkin justru akan ia bela dengan dalih apa pun. Bukankah jaman sekarang ini banyak kita lihat kasus yang meringankan tersangka. Wallahu alam.

Setelah menghabiskan beberapa butir nastar dan potongan buah yang ia kupas saat bercerita sama Bik Inah juga menegak sprite yang terhidang di meja, Rosan berangkat keluar rumah, rencananya dia akan menemui Monic untuk kejelasan hubungan mereka, hubungan yang telah mereka bina lima tahun lamanya.

____

Mereka menyusuri taman, Juna melihat anak-anak bermain dan bersenda bersama ibunya. Senyumnya mengembang mengingat sebentar lagi dia juga akan punya bayi, walau dengan cara yang salah dan anak hasil hubungan terlarang. Juna menyeka sudut matanya, kali ini dia terlihat begitu lemah, terlihat seperti perempuan.

"Kamu mau makan apa?" Juna menyentuh tangan Mora, secepatnya gadis itu menepis. Juna sadar ada jika Mora masih mengalami trauma.

'Aku janji Mora, aku akan membuatmu mencintaiku dan melupakan kejadian buruk itu,' batinnya. Mereka duduk di rumput yang biasa di duduki oleh anak-anak jika bermain.

"Aku akan membelikan jasuke. Ingat jangan kemana-mana," katanya lalu meninggalkan Mora yang sekilas hanya mengangguk. Mora hanya medengar kegaduhan dan tawa anak-anak.

"Tuhan, aku ingin bertemu dengan bajingan itu," desisnya. Setiap doanya selalu ingin bertemu dengan laki-laki yang telah menodainya. Hanya Tuhan dan Juna yang tahu bahwa mereka telah di pertemukan setiap harinya.

Juna laki-laki bertubuh atletis itu kurang kasih sayang dari ibunya. Ibunya selalu sibuk dengan bisnis yang ia kelola, butik dan perusahaan kosmetik miliknya sendiri, jadi wajar saja dia tampil paripurna, tak jarang juga wanita itu tampil di televisi untuk promosi produknya. Juna selalu bersama bik Inah sebagai tempatnya mengadu.

Laki-laki bertubuh atletis itu kembali dengan membawa dua cup jagung susu keju, mendekat kearah Mora yang terlihat seperti melamun.

"Kamu baik?" Menjatuhkan bokongnya di rumput yang seperti ambal itu.

"Aku baik, hanya saja aku merasa Tuhan tidak adil," jelasnya. Juna yang mendengar itu merasa bahwa dirinya kini harus benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya. Mengapa Tuhan yang di salahkan atas kesalahan manusia seperti dirinya.

"Katakan apa yang bisa kulakukan agar Tuhan itu adil menurutmu?" Meraih tangan Mora dan memberikan cup padanya. Mora membisu. Tak tahu harus berkata apa pada orang asing yang baru saja ia kenal, mungkin jika sudah lama mengenalnya bisa jadi Mora akan memintanya menikahinya untuk menutupi aibnya setelahnya bisa meninggalkannya.

"Atau kamu mau aku nikahi?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Juna.

"Ah, jangan berlebihan. Pikirkan masa depanmu, ibumu dan orang akan menghinamu. Mungkin sekarang hanya aku yang di hina saja, tapi sebaiknya jangan orang baik sepertimu mendapatkan hinaan," jawabnya. Juna menyimak setiap kalimat yang terlontar dari bibir ranum gadis itu, tidak ada salahnya.

Baik ya? Jika Juna baik mungkin hal buruk itu tak akan terjadi, tapi apa yang dikatakan Mora juga benar. Dia mengenal Juna dari sisi baiknya saja, tak ada jelah buruk yang terlihat sejauh ini. Mora meletakkan cup yang telah habis dan cepat di sambut oleh Juna, tangan mereka saling menyentuh. Ada getaran yang berbeda di hati laki-laki bertubuh atletis itu, apa ini hanya sekedar rasa prihatin pada wanita muda yang mengandung anaknya. Dengan cepat Mora memindahkan tangannya.

Adzan magrib berkumandang, memanggil setiap muslim untuk beribadah, bersujud pada sang pencipta.

"Mora," panggilnya pada sosok wanita pendiam yang ada di sampingnya.

"Heum ...."

"Apa aku buruk?" Matanya lekat memandang Mora. Seolah ada harapan di sana.

"Sejauh ini tidak," jawabnya santai, ",Boleh antarkan aku ke masjid? Aku ingin salat," sambungnya lagi.

",Ah, ya ... Aku lupa." Menggandeng tangan gadis itu lalu menuju ke masjid terdekat. Sekilas di mata orang yang tidak mengenal mereka terlihat seperti sepasang suami istri.

Memasuki halaman masjid, Mora di sambut oleh wanita lain yang ikut salat di sana. Menuntunnya ke tempat wudhu, wanita itu membantu Mora dengan suka rela. Pahala membantu orang lain juga banyak, tidak hanya dari bersedekah saja ada pahala.

Sedangkan Juna juga ikut memasuki tempat wudhu, belajar kembali tepatnya. Ia ingat betul terakhir kali dia melakukan salat saat awal masuk pertama masuk kuliah. Melirik kiri kanan, lalu ia pun ikut masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.

Getaran yang di timbulkan oleh Mora begitu hebat, mampu membuat Juna bersujud pada sang maha pencipta.

Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!