Pagi sudah menyapa, semalaman gadis belia itu tidak bisa tidur dengan nyenyak, terus saja teringat kejadian buruk yang ia alami dua bulan yang lalu. Semalam ia gelisah mengingat peristiwa yang merenggut kesuciannya.
Siang itu di desa tempat tinggal Mora kedatangan pendaki dari kota, mereka berniat menginap di hutang lindung dekat dengan desa mereka, kejadian naas itu saat Mora pulang dari sungai, dia biasa mencuci di sana, walau sungainya sedikit jauh dari rumah namun Mora sudah terbiasa melakukannya bersama neneknya dulu, jadi dia hapal betul jalan menuju sungai. Selesai mencuci gadis itu pulang, pakaian yang ia kenakan juga basah, meraba pohon-pohon dan rumput untuk naik ke tepian, tanpa sengaja ia meraba tangan seorang pemuda yang tengah menatapnya sayu.
Tergesa Mora memindahkan tangannya. Lalu mengucapkan maaf, namun tak respon tak terduga dari laki-laki itu sebaliknya. Tangan Mora di tarik paksa lalu membawanya ke dalam semak belukar tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut laki-laki itu, mulut Mora di bekap sehingga tidak bisa berteriak. Beberapa teman laki-laki itu hanya menggelengkan kepala tak percaya. Mereke mengira temannya hanya bercanda seperti biasa, sekedar memberi pelajaran untuk gadis yang sok lugu dan cari perhatian.
Selesai melakukan perbuatannya ia pergi begitu saja, tanpa rasa iba sedikit pun pada Mora yang menangis sesenggukan. Membenarkan tali pinggangnya lalu menuju kearah temannya yang sudah menunggunya.
"Lu ga macem-macem kan sama tu cewek?" Tanya salah satu dari mereka sambil saling menatap satu sama lain.
"Ga lah, gila kali gua lakukan yang enggak-enggak," seloroh pria bejat itu berdusta. Di iring senyum memuaskan.
Namanya Juna Andara, sangat pantas di sebut pria bejat karena hampir semua wanita yang menyukainya hal yang sama ia lakukan. Tapi berbeda dengan Mora, Mora tak pernah menyukainya, bahkan tak mengganggunya sama sekali. Setelah berkata begitu dia dia terbahak, bersama teman-temannya, gelak tawanya membuat suasana persahabatan mereka terasa begitu hangat.
Mora yang berjalan tertatih menahan rasa nyeri yang teramat hebat berusaha mencari jalan pulang kembali, mengenali beberapa jenis rumput dan pohon untuk menggapai pakaian saudara sepupunya yang telah ia cuci, tak ingin masalahnya semakin bertambah ia memilih untuk pulang, diam bukan berarti kalah. Begitu pikir Mora, tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur nasib tak bisa di ubah, sepahit apa pun hidup gadis itu harus ikhlas.
"Mora, buatkan saya susu," pinta Rani pada Mora yang baru saja tiba di dapur.
"Ia, Bu," jawab gadis itu lirih. Meraba benda-benda yang belum ia kenal sama sekali, sangat berbeda dengan rumahnya dulu yang semuanya serba plastik, bahkan termos air saja dari bahan plastik. Gadis itu bingung di sini ia tidak menemukan benda seperti di rumahnya sebelumnya.
"Lelet banget," sindir Rani, wanita modis dengan kuku tangan dan kaki yang berwarna.
"Maaf, Bu. Saya tidak terbiasa dengan keadaan di sini. Berbeda, semuanya tampak aneh," kata gadis manis yang memiliki kekurang fisik itu.
"Ya iya lah. Di sana kan kampung. Ya orang miskin semua, jadi mana ada seperti di rumah ini," sahut Rani sambil meraih susu kalsium lalu memasukkannya dalam gelas sedang dan menyeduhnya dengan air dispenser.
"Apaan sih, Ma. Berisik banget pagi-pagi," celetuk laki-laki bertubuh tegap bertubuh atletis dan juga wajah yang imut mirip artis Korea itu. Manik mata keabuan itu menatap heran kearah Mora. Jantungnya rasa hampir tidak bisa berdetak lagi.
"Ka ... Kamu," lirihnya hampir tidak terdengar.
"Kamu kenal dia, Jun?" Tanya Rani penasaran dengan tingkah putranya.
"Juna ga kenal, Ma," sahut laki-laki bertubuh atletis itu lalu memutar bola matanya malas. Duduk di samping wanita yang telah melahirkannya, lalu berbincang sejenak.
"Kakak mana ya, Ma?" Tanya Juna saat ibunya hendak bangkit dari duduknya.
"Kakakmu tadi malam pergi ke bandara, katanya mau jemput Monic," jelas Rani pada putranya yang terlalu sering ingin tahu urusan sang kakak.
"Seru dong, Ma. Mbak Monic akan nginap di sini juga?" Tanyanya lagi membuat wanita yang melahirkannya berdecak kesal.
"Ich, mau tau aja kamu sama urusan kakak kamu itu," ledek Rani membuat anak keduanya itu tersenyum kecil.
"Bik Inah pulang hari ini kan, Ma?" Pertanyaan ini akhirnya keluar lagi dari mulut Juna yang manja.
"Bibik mulu yang kamu tanyakan, sesekali tanyakan Mama," sahut wanita yang melahirkannya.
"Mama udah ada di sini ga usah di tanya," ledek laki-laki bertubuh atletis itu.
Sementara Mora hanya mendengarkan percakapan hangat keduanya, anak dan ibu yang saling melengkapi, Mora rindu akan hal yang tidak pernah ia dapatkan selama ini. Bulir bening jatuh begitu saja tanpa bisa ia bendung lagi.
Keduanya beranjak dari meja makan, mereka hanya makan roti yang di olesi selai dan segelas susu hangat. Berbeda dengan Mora, wanita cantik itu masih mematung, bingung apa yang harus dia lakukan. Bulir bening terus saja berlomba turun dari pelupuk mata Mora tanpa aba-aba.
"Assalamualaikum. Den, Bibi pulang," teriak seseorang dari depan. Suara yang teramat ia kenali.
"Noh, di panggil. Panjang umur dia tuh," seloroh Rani sambil terbahak di ikuti suara tawa dari Juna yang membuat candu.
Mereka berbincang sesaat, menceritakan apa saja yang terjadi di kampung bi Inah, setelahnya bi Inah ikut pamit menju dapur untuk bersih-bersih mengingat dirinya sudah lama tidak ada di sini. Matanya membulat sempurna saat melihat seseorang wanita cantik menangis tergugu di pojokan dapur. Awalnya ia mengira itu setan yang menjelma jadi manusia, rasa takutnya akhirnya sirna saat melihat kaki wanita itu menapak di lantai dengan sempurna.
Bi Inah menyentuh pundak Mora pelan, gadis itu menoleh, bi Inah terkejut saat melihat wanita yang ada di hadapannya buta, bukan jijik atau marah, tapi lebih pada rasa iba dan kasihan. Wanita paruh baya itu mengajak Mora bercerita, bertukar cerita, sedikit bercanda ria lalu menanyakan prilahal kenapa ia bisa ada di sini. Mora menceritakan semuanya, awal permasalahan sampai akhirnya dia di usir dari kampung tempatnya tinggal selama ini.
Wanita paruh baya itu menjatuhkan bulir bening, menyayangkan atas perbuatan pemuda yang tega berbuat seperti itu pada Mora, gadis itu hanya terdiam. Mencoba memendam amarah yang suatu saat akan ia keluarkan. Suasana sendu berubah jadi gembira saat bi Inah menyemburkan kentutnya yang sudah dari tadi ia tahan. Gelak tawa keduanya pecah saat sedang membersihkan sayuran untuk makan siang.
"Maafkan Bibik, Neng," ucap wanita paruh baya degan suara kekehnya yang masih tersisa, tubuh yang sedikit berisi membuatnya gampang buang gas.
"Ga apa-apa, Bik," senyumnya mengembang, senyuman ini yang dulu pernah di berikan oleh mendiang neneknya. Menyuruh Mora tak selalu mengalah pada keadaan, tapi nyatanya Mora tetap saja kalah, keadaan saat ini sedang tidak berpihak kepadanya.
Mora tak pernah menginginkan apa yang terjadi pada kehidupannya saat ini, jalan hidupnya saat ini adalah ketentuan sang maha cinta, campur tangan Tuhan untuk tujuan yang lebih baik nantinya.
__
Semua sudah terlelap, namun wanita dengan wajah sendu itu masih terjaga. Hati dan pikirannya kacau, bayangan masalalu yang pilu terus saja berkelebat dalam angan. Juga memikirkan masa depannya nanti bagaimana dan harus berbuat apa. Sesekali si terisak lirih, sambil membekap mulutnya menggunakan bantal.
Wanita cantik berkulit putih dan berambut lurus itu tidak ingin teman tidurnya yang sedang nyenyak saat ini terganggu oleh ulahnya.
Meraba kearah kamar mandi lalu berwudhu, menunaikan salat lalu meminta ampunan pada Rab-nya atas segala kesalahannya dan meminta agar Allah melimpahkan nikmat untuknya, ia percaya bahwa Allah saat ini sedang mengujinya. Akan ada masa di mana dia akan merasakan bahagia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Ais Twin
semangat berkarya kak💪🤗
2023-09-30
1