Malam pun menjelma, ada kehidupan yang perlu di perjuangkan, tak ada kepedihan yang tak bertepi. Pertemuan tak perlu di sesalkan. Begitu pepatah mengatakan.
Tapi nyatanya gadis malang yang saat ini mengandung bayi tanpa ada rasa cinta itu menyesali pertemuan dengan laki-laki yang sama sekali tak bisa ia lihat.
Jam menunjukkan pukul delapan malam, gadis itu belum melakukan salat isya, tubuhnya terasa sangat lemah jika di bawa untuk bekerja, terlebih dia tidak pernah periksa tentang kehamilannya kedokter atau sekedar untuk kebidan, alasannya karena dia tak punya uang.
Bukan mengada-ngada, nyata memang dia tidak punya uang sama sekali. Berharap di sini sia di gaji juga tidak mungkin, hanya menumpang hidup yang tak tahu harus sampai kapan bertahan. Pernah dia berpikir untuk pergi saja dari sini, tapi ia urungkan. Mengingat ada manusia lain yang harus ia jaga, neneknya pernah mengajarkan untuk memanusiakan manusia lain, siapa pun dia, bahkan orang gila sekali pun.
Meraba menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar, berwudhu lalu melaksanakan salat lima waktu sesuai perintah dari Tuhan-Nya. Memohon ampunan dan memohon di permudah segala urusan dunia dan akhiratnya, lalu membuka Al-Quran kecil jika dilihat dengan kasat mata tidak ada tulisan apa pun, jika di raba maka akan mengetahui bacaannya. Al-Quran khusuk untuk tuna netra.
Mendengar lantunan yang di bacakan Mora sangat merdu, menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Bik Inah ikut menyimak, padahal dari tadi dia sibuk bergosip ria di grup khusus emak-emak, matanya menatap Mora dalam, sekilas teringat pada putrinya yang jika masih hidup akan seusia Mora.
Gadis tuna netra itu menutup kitab suci yang ia pegang, beralih meraba rak yang tersusun buku-buku, agar mudah ia untuk mencarinya. Bik Inah yang dari tadi menatap gadis itu tanpa terasa meneteskan air mata lalu segera menyekanya dengan punggung tangan.
"Bibik kok belum tidur, emang jam berapa sekarang?" Mora mencari tempat tidur. Lalu berusaha berbaring dan di bantu bik Inah, walau sebenarnya dia bisa sendiri tapi rasa khawatir bik Inah tetap saja ada.
"Jam sepuluh udah, Neng. Bibik kangen anak Bibik yang seusia kamu jika masih hidup," jujur wanita paruh baya yang kini terus saja menatap Mora iba.
"Anggap saja aku sebagai pengganti anak Bibik yang udah ga ada, jadi kita impas," sahutnya. Bibirnya melengkung sempurna, tersenyum ke sembarang arah. maksud impas adalah, mereka sama-sama saling merasa kehilangan.
Jadi bik Inah pengganti ibu Mora dan Mora sebagai pengganti anak bi Inah yang telah tiada. Saling melengkapi, tak ada yang salah pada mahluk tuhan yang saling mengasihi demi sebuah rasa yang ingin di miliki.
Hanya tubuh saja yang terbaring, tapi hatinya berkelana. Mengingat tadi siang saat Juna memberikan makanan untuknya, dan susu khusus ibu hamil. Iba, itu yang ada pada pikiran Juna saat ini. Mora merasa heran saja pada sikap orang yang baru ia kenal hitunga hari tapi sudah sebaik Juna. Tidak mungkin jika Juna memanfaatkan dirinya karena apa kelebihan pada wanita buta dan sudah tidak suci seperti dirinya.
Sementara di kamar lain. Laki-laki bertubuh atletis itu memindai wajahnya di cermin. Menatap bibirnya yang telah memaksa apa yang tidak pernah menjadi haknya.
"Aku menyesal ya Allah," lirih Juna pelan. Baru kali ini laki-laki itu menyebutkan nama sang maha pencipta.
Orang tuanya terlalu memanjakannya hingga lalai apa yang menjadi kewajibannya, kewajiban sebagai orang tua mendidik anaknya akan ilmu agama, mereka hanya menuntut ilmu dunia pada Juna. Sepenuhnya ini bukan salah Juna juga orang tuanya ikut andil dalam dosa yang Juna perbuat.
Mencari sesuatu di aplikasi yang terhubung dengan dunia maya, mencari suasana agar tidak terus memikirkan Mora. Satu grub Tetang tausiah terlihat beberapa orang berkomentar juga tertera alamatnya di sana, ia tertarik untuk belajar mendalami agama. Mengingat dosanya yang begitu berat dan menghantui pikirannya.
Gegas ia mematikan gawai miliknya dan berbaring di atas tempat tidur, memandang langit-langit kamar. Terbayang wajah Mora kala ia menggaulinya, terbayang wajah gadis itu sedang menangis, dan kemarin dia tersenyum di hadapannya. Pikirannya kacau, buruk, hina dan kadang dia berpikir binatang saja ada yang setia pada pasangannya.
Pikirannya kembali berkelana jauh. Akankah Mora akan memaafkannya jika dia mengetahui bahwa dialah laki-laki bejat yang Mora benci.
___
Pagi menyapa. Mora seperti biasa usai salat dia selalu membantu bik Inah memasak dan apa yang ia butuhkan Mora sebagai asisten pribadinya bi Inah, dalam beberapa hari ini dia sudah terbiasa dengan dapur dan sudah menghafal apa saja dan di mana letak benda yang sekiranya bi Inah butuhkan.
Sementara Juna masih berbaring, mentari masuk melalui golden tipis yang terpajang, membuat matanya menyipit karena silau. Rasanya malas untuk bangkit mengingat hari ini dia libur. Ia tiba-tiba mengingat Mora, ingin menyapa dan sekedar bertanya hal-hal kecil padanya.
Bergegas ke kamar mandi lalu membersihkan diri lalu turun ke bawah, menuju dapur. Benar saja Mora ada di sana bersama bik Inah, akan sulit untuk dirinya sekedar bertanya pada Mora jika ada bik Inah. Memutar otaknya agar bik Inah bisa pergi sebentar supaya dia ada waktu untuk berbicara dengan Mora.
"Bi. Tolong belikan aku obat diare dong di apoteker seberang sana," dustanya. Berharap agar wanita paruh baya itu percaya.
"Loh, Den. Ke dokter aja," sarannya memasang wajah panik. Namun Juna justru terlihat salah tingkah dan sedikit gugup.
"Ga parah kok. Minum obat doang juga sembuh," jelasnya. Berharap wanita yang sudah lama bekerja dengan orang tuanya itu percaya.
"Ya udah. Bibik OTW. Tapi jangan buang air di situ," kekeh bik Inah membuat Juna terbahak, begitu juga dengan Mora yang tersenyum.
Wanita cantik itu banyak tersenyum dengan tingkah bik Inah yang kadang membuatnya merasakan kasih sayang seorang ibu. Mora meraba ingin duduk di lesehan dekat meja makan, tangannya meraba-raba, tanpa sengaja meraba tangan Juna yang sengaja ia letakkan di depannya. Mora terperanjat dan meminta maaf, ingatannya kembali pada perlakuan lelaki bejat padanya beberapa bulan silam. Mora mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terbentur dengan kulkas yang lebih tingga darinya.
"Pergi, jangan dekati aku!" Serunya. Membuat Juna panik. Dia menyimpulkan bahwa Mora benar mengalami trauma karena dirinya.
"Jangan lakukan itu," desisnya lalu meringkuk di lantai. Juna panik, takut jika seseorang datang atau mungkin mamanya yang akan datang akan menuduh dirinya melakukan hal buruk pada Mora.
"Aku Juna. Tolong jangan seperti ini," ucap Juna memohon. Matanya berambun menahan kesedihan, perlakuannya berdampak buruk untuk kejiwaan Mora. Traumanya masih ada, bahkan bersentuhan dengan lawan jenis membuatnya takut. Mora berhenti terisak, suasana hatinya sudah terkontrol.
"Maaf," lirihnya hampir tidak terdengar.
"Ya. Aku hanya ingin berbicara denganmu. Setidaknya kita bisa jadi teman baik," paparnya.
Ah, teman baik ya? Mora hampir lupa siapa temannya. Lupa siapa yang peduli padanya selain neneknya yang begitu menyanyinya.
"Aku boleh bertanya?" Juna mengangkat tubuh gadis itu pelan. Membantunya berdiri.
"Apa?"
"Kamu pernah pacaran? Eum maaf, mungkin aku keterlaluan. Aku hanya penasaran kenapa sampai kamu hamil," tanyanya membuat Mora semakin membenci laki-laki yang telah menodainya.
"Tanyakan sama Bik Inah aja. Saya udah cerita sama dia. Jika saya cerita lagi. Maka luka di hati ini tidak akan pernah sembuh dan untuk selamanya saya akan membenci orang itu. Saya sebagai manusia sudah sewajarnya memaafkan manusia yang khilaf," jelasnya membuat dada Juna semakin sesak seakan di himpit jutaan batu besar.
Sesak, itu yang Juna rasa saat ini. Matanya melihat kearah perut Mora yang terlihat masih rasa. Ia berniat ingin menebus kesalahannya selagi Mora tidak tahu kalau dialah pelakunya, harapannya lebih baik Mora selamanya tidak mengetahui kalau dia pelakunya agar Mora tak membencinya.
Tapi, sekuat apa pun kita menyembunyikan bangkai tetap akan tercium juga. Tidak cepat, mungkin lambat. Bik Inah yang pulang dari apoteker terdekat merasa heran pada sikap majikannya.
"Ada apa, Den? Perlu bantuan?" Ia mengira Juna sakit perut atau mungkin keram.
"Enggak, Bik. Cuma mau bantu Mora aja. Dia terlihat kesusahan," jelasnya. Ah, lucu sekali. Padahal dia sendiri yang ingin mendekati Mora tapi malah membalikkan keadaan.
"Bibik kira Den tambah parah sakit perutnya." Memberikan obat pada Juna lalu menuju ke arah Mora yang duduk di lesehan.
"Oke. Makasih, Bik. Mora bisa dong nanti temani aku jalan-jalan sebentar," ujarnya, mengambil segelas susu sambil berlalu menuju lantai atas. Mata bik Inah membulat, merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan majikannya.
"Ga biasanya, Dek bersikap kayak gini," celetuk bi Inah menatap kearah Mora, "kamu berhasil merebut hatinya dan mungkin bisa meluluhkan hatinya yang keras," lanjut bik Inah.
"Jangan berlebihan, Bik. Saya cuma tuna netra yang ga pantas untuk Den Juna," jawabnya.
Seperti halnya bumi dan langit yang tidak akan mungkin bersatu. Begitulah pandangan Mora, gadis tuna netra itu sadar kedudukan di rumah ini, hanya menumpang sebagai orang yang tak berguna sama sekali.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments