Suara adzan berkumandang, mengadakan panggilan pada umat muslim untuk menunaikan kewajibannya. Mora mengguncang tubuh bik Inah pelan, mengajaknya ikut salat berjamaah bersamanya, bik Inah juga sangat senang memiliki teman saat ini, teman bercerita walau dia memiliki kekurang tapi wanita cantik itu bisa membantunya.
Mereka menunaikan salat dengan khusuk bik Nah lah sebagai imam dan Mora sebagai makmum. Selesai salat mereka lalu bergegas ke dapur, menyiapkan sarapan pagi walau hanya roti panggang yang di olesi selai.
"Nama kamu siapa, Neng? Dari kemarin bibik mau tanya kok lupa terus," celetuknya. Bik Nah menyeduh susu tanpa menatap kearah lawan bicaranya. Percuma saja menatap toh yang di tatap datar tak ada respon.
"Mora Cantika. Saya cuma anak yatim-piatu yang di rawat oleh nenek saya, setelah nenek saya tiada saya tinggal bersama bibik saya. Tapi ya nasib saya tidak seberuntung wanita lain," jelas Mora dengan raut sedih. Ia seolah lupa bahwa kemarin dia juga menceritakan hal ini pada bik Inah.
"Sudah ga masalah. Anggap aja Bibik sebagai keluarga kamu. Terus sebenarnya nyonya baik, hanya saja dia belum terbiasa jika dengan orang baru." Kata bik Inah lembut, tanpa mereka sadari sepasang mata menatap mereka. Juna menatap mereka nanar, ada rasa sesak pada hatinya.
Wanita cantik itu menuju kamar mandi, di usia kehamilan yang semakin hari semakin membuatnya payah bergerak. Memasuki bulan ke tiga. Rasa iba Juna tiba-tiba datang pada gadis buta itu, biasanya dia tidak peduli sama sekali bahkan jika melihat orang yang sedang kesusahan di jalan saja ia enggan menolongnya.
"Bik. Dia kenapa?" Tanya Juna pada asisten rumah tangganya yang sedang mencuci piring di wastafel. Bik Inah sedikit kaget dengan kedatangan Juna yang tiba-tiba ada di dekatnya dan spontan bertanya.
"Ah. Ngagetin aja, Den." Bik Inah melihat majikannya itu dengan rasa heran. Tak biasanya dia suka ikut campur urusan orang lain.
"Oh itu. Dia lagi hamil muda, Den. Kasian banget di usir dari kampung. Mana ibu dan bapaknya ga ada," ujar wanita itu dengan menyeka sudut matanya yang mulai berembun. Mengingat bagaimana Mora mengisahkan hidupnya yang amat sangat perih. Jika orang yang kejiwaan lemah mungkin bisa saja sudah gila, bersyukur Mora masih kuat hingga detik.
"Serius, Bik?"
Juna menatap manik mata bik Inah dalam. Ia ragu jika bik Inah akan berbohong. Tapi satu sisi bik Inah tak pernah berbohong, dia tahu wanita itu sudah sangat lama bekerja di rumahnya bahkan sudah di anggap seperti keluarga oleh mamanya.
"Iya. Dia cerita sambil menangis, Den. Bibik ikut nangis denger cerita dia. Pokonya sedih banget, Den. Adik ibunya juga tidak pernah sayang sama dia, cuma manfaatkan tenaga dia doang," jelas bik Inah panjang lebar.
Hati Juna terketuk, ingin berbuat baik pada Mora, menebus segala dosanya. Dia bergegas masuk kedalam kamar, rasanya seperti sudah kenyang mendengar perkataan bik Inah tadi.
Bagaikan belati yang menusuk kedalam jantungnya, ada luka yang tidak bisa ia gambarkan, ada rasa bersalah yang teramat dalam. Merasa dirinya bukan manusia yang sebenarnya, dia merasa dirinya serendah binatang. Juna terus saja merutuki dirinya.
"Juna," panggil seseorang di luar sana. Suara wanita yang teramat ia sayangi.
"Iya, Ma," jawabnya. Mengusap air matanya yang berderai begitu saja. Kini hatinya melemah, merasa dirinya laki-laki bajingan yang tak pantas untuk bahagia.
Juna mendekat kearah pintu dan membukanya pelan, melihat sosok wanita yang melahirkannya berdiri sambil melipat tangan di dada.
"Sarapan. Kamu ga kuliah?" Tanya Rani sambil mengintip kearah dalam kamar anaknya, ia curiga jika anaknya melakukan sesuatu. Wajar saja, insting seorang ibu itu kuat.
"Iya, Ma. Juna cuma masih ngantuk aja, semalam banyak tugas," elaknya. Sebenarnya bada tugas atau tidak dia sama sekali tidak peduli. Toh kuliah hanya paksaan mamanya saja. Juna sudah pernah memberi tahu pada wanita yang melahirkannya jika dia ingin masuk kelas musik, namun ibunya melarang. Juna hanya bisa pasrah tapi sesekali dia tetap ikut kelas musik privat.
"Ya, ayo turun!"
Wanita yang telah melahirkannya turun terlebih dahulu, sementara Juna membersihkan diri terlebih dahulu baru menyusul ke lantai bawah. Di dalam kamar mandi, memandang wajahnya dengan penuh rasa bersalah dan Mera jijik pada diri sendiri. Dirinya saat ini melebihi preman yang bejat, melebihi orang yang kurang kasih sayang. Padahal mamanya selalu memberikan dia kasih sayang sepenuhnya, bahkan memberikan apa yang dia mau walau tidak bisa menemaninya setiap harinya.
Biasanya anak broken home yang hidupnya terlantar cenderung mencari kasih sayang di luar, bahkan orang seperti itu tidak merasa iba sama sekali jika orang lain dalam masalah.
"Aku harus tebus kesalahanku pada Mora," lirihnya.
Usai mempersiapkan segala kebutuhannya untuk berangkat ke kampus laki-laki berwajah manis bak Korea turun ke lantai bawah untuk menyantap hidangan sederhana yang bi Inah buat.
Duduk di samping wanita yang telah melahirkannya, mengambil roti panggang dan selai lalu mengoleskan pada roti. Memasukkannya kedalam mulut, tapi matanya tertuju pada Mora yang sedang membersihkan buah-buahan lalu mencucinya di wastafel.
"Kamu lihatin dia terus, Jun. Suka?" Rani menyenggol bahu putranya pelan.
"Ga lah, Ma. Gimana keadaan dia. Masa ia suka sama gadis buta," cibirnya. Namun masih memandang gadis itu tanpa mengalihkan pandangan kearah mamanya.
"Cinta mengalahkan segalanya. Mama juga udah sayang sama dia tau. Setelah cerita bik Inah semalam sama Mama, awalnya Mama kira sepupu Mama itu bohong. Nyatanya beneran. Bi Inah sampai nangis denger cerita dia. Andai anak mama yang melakukan perbuatan terkutuk itu, mama ga akan anggap dia sebagai anak mama lagi," jelasnya panjang lebar. Juna yang mendengar kalimat terakhir tersedak dan terbatuk-batuk.
"Pelan-pelan," ujar Rani lalu menyodorkan susu untuk putranya.
"Ma. Juna berangkat," ucap Juna lembut lalu mencium takzim tangan wanita yang mehirkannya.
Sebelum berangkat dia meletakkan piring di wastafel, berbicara sedikit pada Mora. Berharap Mora tidak takut dan tidak mengenal siapa dirinya.
"Mau aku belikan apa nanti saat aku pulang dari kampus?" Tanya Juna pelan. Dia sebenarnya malas sok kenal dan sok dekat dengan orang baru, terlebih wanita itu memiliki kekurangan fisik. Mora menggeleng pelan, ia sungkan pada laki-laki yang baru ia kenal, bisa di bilang majikannya.
"Jangan salah paham. Aku ga ada maksud menggodamu apa lagi merayumu. Aku cuma mau kamu jaga janin kamu. Walau bagaimanapun dia juga butuh gizi, butuh orang yang selalu ada untuknya. Katanya sok bijak.
Sejak kapan dia peduli pada sesama mahluk, anak kucing saja kedinginan dia biarkan sampai mati. Tapi mungkin Allah mengetuk pintu hatinya melalui Mora.
"Terserah, saya apa saja akan saya makan. Seandai racun yang anda berikan saya juga tetap memakannya. Karena saya di kasihani, lagian saya tidak bisa melihat," jawabnya sambil tersenyum.
Masih tersimpan senyum dalam duka. Walau jutaan air mata bahkan ribuan luka telah menusuk jantungnya, memporak-porandakan isi di dalamnya. Senyumnya masih menghiasi bibir ranumnya.
"Oke." Juna berlalu meninggalkan meja makan. Sementara Rani dan bik Inah saling menatap, heran dengan sikap Juna saat ini, biasanya laki-laki bertubuh atletis itu hanya makan dan menaruh piring juga gelas kotor bdi atas meja.
Rani melanjutkan sarapannya sementara bik Inah kembali membereskan apa saja yang terlihat berantakan. Mengepel lantai yang terlihat berminyak.
"Bik. Mora mau tanya sesuatu," celetuk Mora saat mereka istirahat sambil menyiram tanaman hias di kebun belakan rumah.
"Apa aku berdosa. Sampai Allah menghukumku sejauh ini?" Mora duduk di bangku santai di taman.
"Banyak istighfar, Neng. Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya. Berprasangka baiklah pada Allah, anggap ini ujiannya untuk masa yang akan datang agar lebih baik," jawab bi Inah. Walau bi Inah wanita kampung tapi dia tahu soal agama sedikit-sedikit.
"Iya, Bik. Kadang aku merasa Allah itu tidak adil."
"Istighfar, Neng. Ini ujian dari Allah," jelas bi Inah. Meletakkan selang lalu berjalan kearah Mona yang sedang menangis tergugu. Bik Inah memeluknya erat.
"Saya takut. Jika anak ini lahir, saya tidak bisa merawatnya."
"Ada Bibik. Doakan sama Allah supaya Bibik panjang umur dan sehat selalu. Agar kita terus bersama," lanjut bik Inah. Terus mengusap punggung Mora lembut. Sosok ibu yang hilang kini hadir dalam wujud bik Inah.
"Terimakasih, Bik."
"Kalau seandainya Bibik sudah pensiun dari sini, apa Neng Mora mau ikut Bibik pulang ke Bandung?" Tanya bi Inah serius. Matanya menjatuhkan bulir bening yang tidak dapat dia bendung lagi.
Rasa kasiha dan ibanya terlalu dalam, seorang anak yang terlantar dan tersisihkan. Komnas perlindungan anak dan perempuan tak peduli padanya, mungkin tak ada yang melaporkan apa yang ia alami. Tapi kini bik Inah jauh lebih menyanyi Mora. Gadis itu hanya mengangguk lemah, jika menolaknya tak ada lagi orang yang setulus bik Inah saat ini bersamanya.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments