Kesibukan pagi ini berubah menjadi kepanikan. Neha yang tak sadarkan diri menjadi pusat perhatian seisi rumah. Sekaligus menjadi perbincangan segenap asisten rumah tangga yang menyaksikan langsung. Belum puas mereka menggunjingkan tuan besar mereka saat keenam istrinya mati mengenaskan, kini mereka gunjingan mereka bertambah.
Sementara di kamar pribadi Aabid, Neha terbaring lesu. Ia baru tersadar. Seorang dokter keluarga tampak teliti memeriksa Neha. Sesekali matanya menatap wajah cantik Neha yang terlihat lesu.
"Nyonya baik-baik saja, Tuan. Hanya kelelahan saja. Istirahat sebentar, nanti pulih kembali" ucap dokter itu sambil merapikan peralatannya.
Selembar kertas berisi resep pun ia berikan kepada Aabid sambil mengurai senyum. Namun senyum itu berangsur menghilang saat menatap wajah Aabid. Dokter itu mendadak buru-buru melangkah meninggalkan Aabid yang bermaksud mengantarnya.
"Terima kasih, Tuan. Tidak perlu diantar...." ucap dokter itu sesaat melangkah cepat.
"Astaga...Mengapa wajah tuan Aabid berubah-ubah seperti itu. Sungguh mengerikan..." batin dokter itu yang langsung memacu kendaraannya dengan cepat.
Setelah mengantar dokter walau tak sampai di halaman, Aabid kembali ke kamar pribadinya. Di sana Aabid di sambut senyum milik Neha.
"Kak Aabid tidak ngantor? Bukankah ada meeting?" ucap Neha mengingatkan.
"Hah, bagaimana mau ke kantor dan meeting, jika istriku saja sakit" ucap Aabid sambil duduk di tepi tempat tidur.
Tangannya membetulkan selimut yang menutupi sebagian tubuh Neha.
"O...co cuit, banget sih" ucap Neha.
Tangannya memukul-mukul perlahan lengan Aabid. Perlakuan tersebut sukses menerbitkan senyum di ujung bibir Aabid.
"Aku sudah baik-baik saja, Kak. Istirahat sebentar, nanti pulih lagi. Begitu kan kata dokter? Jadi, berangkatlah. Aku tidak ingin sakit ringan ku ini menghalangi sukses mu..."
"O...co cuit..." ucap Aabid menirukan Neha sebelumnya.
"Haha....kakak ih. Apaan sih..." ucap Neha.
"Hehe...Neha tak perlu khawatir, waktu meeting nya dimundurkan. Jam dua siang nanti. Jadi aku masih punya banyak waktu bersama istriku ini..." ucap Aabid sambil mendekap Neha.
"Kak, di rumah ini adakah ruang yang dirahasiakan?" ucap Neha saat ia masih dalam dekapan erat Aabid.
Mendengar itu Aabid melonggarkan dekapannya. Matanya menatap jauh ke dalam mata indah milik Neha. Entah apa yang dicari Aabid saat itu.
"Ruang Rahasia, maksud mu?" tanya Aabid kemudian.
Neha mengangguk mantap. Tiada keraguan yang terselip di pekatnya mata indah Neha. Kembali Aabid terdiam sebentar. Ingatannya kembali mencari tempat yang dimaksud Neha.
"Aku rasa tidak ada ruangan seperti itu. Em, kalau ruangan yang tak pernah dipakai ada. Walau tak pernah di buka atau dikunjungi, tapi itu bukan ruang rahasia. Kurasa..."
"Dimana itu?"
"Di sisi timur rumah ini"
"Dekat taman kah?"
"Ya, betul. Darimana Neha tahu?"
"Kemarin sempat Neha lihat..."
"Isinya?" ucap Aabid penasaran.
"Bukan. Pintunya saja. Hehe..."
"Aiih..." ucap Aabid sambil menarik hidung bangir Neha.
Gadis yang baru dua minggu menjadi seorang istri itu berusaha melepaskan apitan jemari Aabid pada hidungnya. Cukup lama ia dipermainkan Aabid, hingga akhirnya ia diam. Neha merajuk.
"Hei, maaf. Aku bercanda..." ucap Aabid.
Sebelah tangannya mengusap pucuk kepala Neha yang masih tertutup kerudung warna biru muda. Neha pun tersenyum atas perlakuan manis Aabid tersebut. Hatinya menjadi tenang. Pun demikian dengan Aabid. Berada di dekat Neha membuatnya tenang. Dan selalu kangen bila berjauhan. Karenanya Aabid selalu pulang lebih awal dari biasanya sebelum ia menikah dahulu. Atau Aabid akan pulang di siang hari untuk makan siang. Dan atau sekedar menyapa Neha, menanyakan kabar istri cantiknya itu melalui telepon. Aabid dan Neha rupanya benar-benar telah jatuh hati.
"Hei, mau kemana...."
"Menyiapkan keperluan kakak. Sudah jam sebelas..." ucap Neha sambil menggoda Aabid.
"Hei...awas ya" ucap Aabid.
Pun demikian, Aabid tak mengikuti langkah Neha. Ia lebih memilih menuju meja kerja nya di sudut kamar. Tak lama kemudian, ia pun sudah asyik dengan laptop miliknya.
Sementara itu, Neha yang tengah menuju dapur tampak menghentikan langkahnya. Matanya tertarik dengan sebuah ruangan yang ada di sisi timur rumah yang tengah ia lewati kini. Entah apa yang ada dalam fikiran Neha, langkahnya beralih keluar rumah. Melewati taman menuju ruangan yang baru saja ia tanyakan pada Aabid.
Sedikit mengendap, Neha melangkah menuju ruangan tersebut. Dan saat sampai di depan pintu kayu ruangan itu, Sekali lagi Neha menilik sekitar. Tangannya mulai memutar gagang pintu.
CEKLEK....
Neha memutar gagang pintu itu berulangkali. Bahkan sedikit mendorongnya. Tapi nihil. Pintu tak bergerak sedikitpun.
"Nyonya...Nyonya muda sedang apa?" ucap Bi Mis, satu diantara asisten rumah tangga di rumah itu.
"Oh, Bi Mis. Ini, Bi. Tadi saya mendengar suara kucing dari dalam. Kasihan kan Bi klo sampe lama terkurung..."
"Selama bibi bekerja di sini. Tuan besar tidak memperbolehkan siapapun mendekati ruangan ini. Apalagi masuk ke dalamnya. Terlebih saat tuan besar tiada, Nyonya besar makin melarang kami. Bahkan nyonya besar memasang kunci ganda, nyonya muda"
Mata Neha mengikuti arah telunjuk Mis. Ia menatap gembok besar yang ada di bawah. Gembok yang tak ia sadari keberadaannya.
"Mengapa pintu ini sampai di kunci dan digembok sedemikian rupa. Dan mengapa ada larangan untuk memasukinya. Apakah ada sesuatu yang dirahasiakan dalam ruangan ini?" batin Neha penasaran.
Neha pun kemudian mengikuti langkah asisten rumah tangganya itu. Ia kembali menuju dapur seperti maksud sebelumnya.
"Ibu mana, Mbok...?" tanya Neha pada salah satu asisten rumah tangganya.
"Nyonya besar sedang pergi, nyonya muda. Tadi sewaktu nyonya muda baru tersadar, nyonya besar buru-buru pergi bersama mang Diman..."
"Kemana ibu pergi. Mengapa tak berpamitan seperti biasanya?" batin Neha.
Pukul dua belas lewat lima menit. Makanan sudah terhidang. Neha pun kembali ke kamar. Saat itu gema adzan sudah menggema. Berharap Aabid sudah berpeci dan bersarung, atau tengah berwudhu. Namun harapan menjadi hampa, saat Aabid masih sibuk di depan laptopnya.
"Kak, Neha sholat dahulu ya..." ucap Neha.
Dengan harapan Aabid akan menimpali dengan kalimat yang menyejukkan hatinya, seperti ya, tunggu sebentar. Kita jamaah ya. Kalimat yang belum ia dapati sejak menikah dengan Aabid. Pun demikian, Neha masih bersabar. Ia tak pernah mengomentari keabsenan Aabid dalam sholat. Namun Neha hanya mengingatkan Aabid tentang shay lewat setiap ketika ia meminta izin untuk sholat.
Bacaan demi bacaan, Neha lantunkan. Gerakan demi gerakan, Neha tunaikan. Begitu tertib dan khusyuk. Hingga salam akhir dilaksanakan, Neha terkejut. Aabid telah berada di sebelah kirinya. Matanya menatap tajam Neha. Jarak wajah keduanya hanya beberapa inchi saja. Neha terkejut mendapati Aabid yang demikian.
"Siapa kau sebenarnya...?" ucap Aabid dingin.
"Kak...Aabid. Aku Neha istri mu"
"Neha...." ucap Aabid sambil memejamkan mata.
Kemudian tubuh Aabid lunglai. Kepalanya hampir menyentuh lantai. Namun Neha berhasil memberikan pangkuannya sebagai tempat jatuh kepala suaminya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments