Laki-laki Penghuni Hutan Tanggamus
Alunan musik tradisional mengisi udara pernikahan Aabid bersama seorang gadis cantik. Neha namanya. Walau baru dipertemukan kurang dari sebulan, namun keduanya terlihat serasi. Duduk berdampingan sambil sesekali menyalami tamu-tamu yang hadir. Pesta pernikahan itu begitu meriah.
Neha yang tengah duduk menikmati alunan musik dan gemulai seorang penari tiba-tiba saja perhatiannya beralih. Tatapannya terpaut pada sosok laki-laki yang berdiri di belakang tamu. Pakaiannya serba hitam. Dan di tangannya tergantung sebuah cawan yang mengepulkan asap. Cawan itu diayun berulangkali hingga meninggalkan jejak asap di bekas ayunannya.
Neha memperhatikan dengan cermat polah laki-laki itu. Lama-lama rasa takut menyelimuti hatinya. Terlebih saat pendengaran Neha, tiba-tiba menjadi samar.
Hingga suasana menjadi sunyi. Bunyi tetabuhan pun menghilang. Juga dengan riuh suara bincang tetamu yang hadir. Neha bingung dengan apa yang tengah dialaminya.
Antara takut dan penasaran, dua hal yang hanya berbatas se-kulit ari. Tangan Neha menggenggam erat ujung kerudung panjangnya. Rasa takutnya kian pekat saat matanya menangkap sosok laki-laki berpakaian serba hitam. Laki-laki itu menatapnya lekat bak singa mengintai mangsa.
Neha bergidik saat seringai muncul dan menghiasi wajah laki-laki itu.
"Bersiaplah...." kata laki-laki itu.
Neha jadi kecut. Bukan karena katanya, namun lebih pada cara ia mengucapkan kata lah yang membuat Neha bergidik ketakutan.
"Ber-bersiap un-untuk appa...?" ucap Neha terbata.
"Bersiaplah. Haha....!" ucap laki-laki itu diakhiri dengan tawa.
Tawa yang tentu saja sukses membuat nyali Neha ciut karena takut. Terlebih saat laki-laki misterius itu menghilang bak asap ditiup angin. Neha celingukan mencari sosok laki-laki tersebut. Namun nihil.
Bersamaan dengan itu waktu bak ditarik kembali. Neha merasa seperti berada pada kemudi putar. Semua terasa berputar di mata Neha. Perempuan cantik itu memejamkan matanya. Berharap dapat menetralisir rasa pusing yang menderanya. Dan...
ZEEEEPH....!
Neha pun kembali berada di tengah keriuhan pesta. Bunyi tetabuhan, riuh canda dan tawa tetamu kembali terdengar. Nafas Neha memburu seiring bulir bening yang mengembun di keningnya.
"Neha...." panggil Aabid setengah berbisik.
"Egh...Ya" ucap Neha gamang.
Mata Aabid berisyarat. Rupanya seorang tamu sudah tepat berdiri di hadapan Neha. Bak terbangun dari tidur, Neha pun buru-buru Neha menerima uluran tangan sang tamu sambil mengumbar senyum.
"Kenapa?" bisik Aabid.
"Aku pusing, Kak. Sepertinya kurang enak badan..." Keluh Neha sambil menyeka keringat yang mengembun di sekitar keningnya.
"Tahan. Sebentar lagi..." pinta Aabid setengah berbisik.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Pesta sudah di penghujung. Tetamu dan sebagian keluarga pun sudah beranjak meninggalkan lokasi pesta. Karena hari memanglah sudah merangkak malam.
Setelah membersihkan diri, Aabid memilih merebahkan diri di tempat tidur berhias itu. Ada gelisah yang menduduki jiwanya. Pun demikian Aabid berusaha memejamkan mata. Namun gagal. Fikirannya benar-benar berkelana menapaki peristiwa demi peristiwa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Aabid duduk menyandar pada sisi tempat tidurnya. Ingatannya kembali menerawang pada peristiwa bagaimana keenam istrinya mati mengenaskan di malam pertama di hari pernikahannya. Dan yang paling memilukan adalah bahwa keenam istrinya itu mati di pangkuannya.
Aabid kian gusar saat teringat istri ketujuhnya, Neha. Perempuan cantik yang baru ia nikahi. Perempuan pilihan ibunya, namun sudah berhasil menarik hatinya itu.
Aabid kembali gusar. Aabid khawatir jangan-jangan Neha akan bernasib sama seperti keenam istri lainnya.
Aabid duduk di tepi tempat tidur yang berhias bunga dan bertutup kain berwarna biru itu. Matanya menilik pintu yang masih tertutup itu. Rupanya ia tengah menantikan kehadiran istri ketujuhnya, Neha.
Sementara itu, pengantin wanita Aabid tengah duduk diantara keluarganya untuk dipamiti. Dan memang menurut kebiasaan setempat, acara pamitan pengantin hanya dihadiri oleh pengantin perempuan beserta keluarganya saja. Tanpa didampingi pengantin laki-laki atau pun pihak keluarga laki-laki. Hal ini untuk memberikan keleluasaan kepada dua pihak saat berpamitan.
Neha duduk di kursi panjang yang masih berhias bunga-bunga berwarna putih bersih. Matanya sembab, karena sudah beberapa kali harus mengurai air mata sejak waktu pernikahan ditetapkan sebulan yang lalu.
Tentulah Neha bersedih hati, niatnya menuntut ilmu hingga ke negri Cina pupus sudah. Hal tersebut karena sebuah pinangan dari keluarga Aabid yang jaraknya jauh berpuluh-puluh desa dari tempatnya tinggal.
Dan demi baktinya kepada ibu, maka Neha manut menerima pinangan keluarga Aabid. Terlebih setelah melihat kebaikan dan kesungguhan Aabid.
Neha mengusap air mata yang terus terjun bebas. Segala nasihat yang diberikan ibu dan handai taulan tak mampu dengan sempurna ia terima. Neha terlalu bersedih hati.
"Ndok...yang patuh sama suami mu. Turuti ucapannya. Suami adalah pemimpin. Yang kau gugu dan kau tiru. Berikan kasih sayang, niscaya kasih sayangnya akan berlimpah kepada mu. Jaga kehormatan mu dan suami mu. Ojo bangkang yo, Ndok...." ucap Darmi, ibu dari Neha.
Mendengar itu, Neha justru kian berurai air mata. Terlebih ia akan ditinggal sendirian bersama laki-laki yang baru ia kenal belum sebulan dengan jarak berpuluh-puluh desa jauhnya dari keluarganya.
"Sudahlah, Neha. Jangan menangis. Kau sudah punya keluarga yang baru. Keluarga terhormat dan terpandang. Kekayaannya saja tidak akan habis sampai tujuh turunan. Kau akan bahagia. Terlebih suami mu orang yang baik. Percayalah pada bude mu ini, Ndok..." ucap Tum, kakak dari Darmi.
Sementara itu malam merangkak naik. Gelapnya kian pekat. Tanpa bertabur bintang. Hanya bulan separuh yang menggantung di langit malam. Sepeninggalan ibu dan keluarga, Neha melangkah menuju sebuah kamar.
Langkahnya diiringi mbok Tarsih, salah satu asisten rumah tangga di rumah tersebut. Tak lama langkah keduanya terhenti di depan sebuah pintu besar berukir. Mbok Tarsih tersenyum seraya mengangguk takzim sesaat sebelum meninggalkan Neha.
KREEEK.....
Neha mendorong pintu yang nyatanya tak dikunci itu. Cukup lebar pintu terbuka, hingga mata Neha mampu leluasa menjelajahi sebagian isinya. Sedikit ragu Neha melangkahkan kaki kanannya seperti yang diajarkan ibunya sesaat lalu. Ini adalah adat kebiasaan yang sudah turun temurun. Bila seorang hendak memasuki pintu untuk memulai kebaikan, maka dimulai dengan langakh kaki kanan. Dan itu Neha lakukan.
Mata Neha terus menilik lebih jauh seisi ruangan yang temaram itu. Bisik hatinya mengatakan bahwa ia tengah mencari sosok laki-laki yang kini telah menjadi suaminya.
"Kemanakah kak Aabid...?" batin Neha.
Matanya belum lelah mencari Aabid. Bahkan kamar mandi pun ia sambangi demi menemukan Aabid. Namun sejauh pencariannya, Neha belum menemukanya.
Hingga kemudian perempuan cantik itu memutuskan duduk di tepi tempat tidur yang indah itu. Tangan Neha berulangkali mengelus kain penutup berwarna biru yang indah itu. Fikirnya, tidaklah dusta apa yang dikatakan ibu dan keluarganya bahwa Aabid adalah orang terpandang dan kaya raya. Terbukti kain penutup tempat tidurnya saja begitu halus dan ternilai mewah.
Neha pun melepas kerudung yang melilit kepalanya. Juga segala aksesoris yang ada. Perempuan cantik itu mengurai rambut hitam panjangnya. Dan membiarkannya tergerai.
Kemudian, Neha pun segera menyambar handuk yang tersedia di atas tempat tidurnya dan menuju kamar mandi.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Malam kian jauh. Neha kembali duduk di atas tempat tidurnya setelah membersihkan diri. Mata Neha kembali menyisir ruangan. Kalau-kalau Aabid sudah berada di dalam ruangan tersebut.
Alih-alih menunggu Aabid, mata Neha terus saja mengagumi kemewahan dalam ruangan tersebut. Dan hal tersebut membuatnya tak menyadari kehadiran sosok laki-laki yang sedari tadi terus memperhatikannya.
Laki-laki itu begitu lekat menilik Neha. Dimulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan tentu ia meniliknya dari sudut ruangan yang cukup terlindung dari cahaya. Senyum pun terbit dari ujung bibirnya. Walau hanya sedikit saja.
"Kau cantik, Neha....." ucap laki-laki itu.
Suara khasnya menggema dan sukses membangkitkan rasa takut Neha. Terlebih gema itu dihantarkan bersamaan dengan semilir angin yang menerobos masuk dari jendela yang baru saja terbuka.
Mata Neha langsung beredar ke seluruh ruangan. Ia mencari sumber suara. Namun pandangannya terbatas karena minimnya cahaya pada ruangan tersebut. Dan si empunya suara pun gagal ia temukan.
"Ya, Tuhan...." gumam Neha.
Matanya menatap daun jendela yang terbuka dan menampakkan sisi gelap luar rumah. Ada kecut yang menggerayangi jiwanya. Menggodanya agar segera berlari keluar dari ruangan tersebut. Namun Neha berusaha menahannya. Ia meyakinkan diri untuk tidak melakukan hal yang bisa jadi akan membuatnya malu. Neha memilih untuk bertahan.
Mulut Neha komat-kamit di tengah rasa takutnya itu.
"Ya, Tuhan. Tolonglah aku. Lindungi aku Kuatkan aku menghadapai rasa takut ini. Mohon dengan sangat ya, Robb..." doa Neha.
Kemudian dengan sedikit ragu, perempuan cantik itu turun dari tempatnya berada. Hati-hati sekali ia melangkah. Langkahnya jelas menuju jendela yang terbuka.
Angin kembali sukses menerbangkan ujung rambut panjang Neha saat ia tepat berdiri di jendela. Juga ujung gorden berwarna biru muda. Neha mengusap tengkuknya. Bulu kuduknya meremang. kemudian dengan cepat, tanpa ba-bi-bu lagi, Neha langsung menarik daun jendela itu.
KREEEK.....!
Suara derit jendela terdengar menyayat. Dan saat jemari tangan Neha berusaha mengunci daun jendela itu, sosok yang semula ada di balik keremangan ruangan kini mendekati Neha.
Neha kian ciut saat ada bayangan yang mendekatinya. Perempuan itu mendekap mulutnya. Ia menahan suara tingginya.
AKH...!
Teriak tertahan Neha saat sebuah tangan memgang tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Dewi Nurlela
nyimak
2024-07-01
0