Aabid terkesiap. Ia bangun dari tidurnya. Aabid mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Menyadari tempat ia berada, Aabid mengusap wajah dengan kedua tangan. Dia hampir tak percaya saat mendapati tempat ia berada.
"Apa aku tidak salah. Aku tidak sedang bermimpi kan?" gumam Aabid.
Sesekali ia mengusek matanya.
"Neha...." ucap Aabid tiba-tiba saat teringat istri ketujuhnya itu.
Aabid langsung loncat dari tempat tidurnya. Ia mencari keberadaan Neha. Aabid tak merasa lelah karena melangkah cepat kesana-kemari. Dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Mulai kamar mandi, balkon, ruang tamu, ruang tengah, taman sampai dapur. Semua ia tilik. Namun Nihil. Neha tak di temukan. Aabid kian panik. Segala prediksi buruk pun berseliweran di fikirnya. Jangan...Jangan. Kata ini yang menghantui perasaan Aabid.
"Neha...! Neha...!' ucap Aabid panik.
Sementara itu, di ruang pribadi Maryam. Neha tengah duduk di hadapan perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Kerudung warna biru yang menutupi kepalanya menambah kecantikan pengantin baru,Neha. Matanya begitu teduh menatap wajah Maryam.
"Ndok...ibu bahagia kamu yang menjadi istri Aabid. Semoga kalian bahagia selalu" ucap Aabid.
"Keenam istri kak Aabid lainnya..." ucap Neha terhenti saat Maryam menatap wajah Neha.
"Darimana kamu tahu? Apa Aabid yang memberitahu mu?"
"Ya, ibu...."
Maryam menghela nafas. Matanya sendu. Kemudian Neha pun menceritakan kejadian malam tadi. Bagaimana bayangan hitam besar hadir dari dalam tubuh Aabid. Hingga tersebut tentang ikatan janji darah. Wajah Maryam mendadak berubah. Wajahnya pasi.
"Ikatan janji darah...? Apa semalam bulan purnama" ucap Maryam.
"Ya, Bu..."
Deg.
"Astaga...aku lupa. Maafkan ibu, Aabid, Neha..." batin Maryam.
"Ikatan janji darah itu apa, Bu?" ucap Neha.
"Jangan kau bicarakan kepada siapa pun tentang kejadian semalam. Juga tentang ikatan janji darah. Belum saatnya kamu tahu. Sekarang pergilah temui Aabid. Sepertinya ia tak bisa jauh dari mu. Baru ditinggal sebentar sudah mencari mu seperti itu..." ucap Maryam diakhiri guyonan.
"Ah, ibu ada saja..." ucap Neha sesaat sebelum berlalu.
Langkah Neha begitu cepat menemui Aabid. Tak perlu susah untuk menemukan Aabid, karena sejak tadi pun suara Aabid terus terdengar memanggil namanya.
"Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" ucap Aabid menilik cemas setiap inci tubuh Neha saat berhasil menemukannya.
"Tidak, Kak. Neha baik-baik saja " ucap Neha.
"Syukurlah..." ucap Aabid sambil merengkuh tubuh Neha dan mendekapnya erat.
Melihat situasi tersebut, beberapa asisten rumah tangga yang melewatinya menyimpan senyum. Mereka pun mempercepat langkahnya. Fikir mereka tak ingin mengganggu romansa tuan mereka yang baru mereka dapati kembali setelah sekian lama.
"Tapi bagaimana bisa tidak terjadi apa-apa semalam? Bukankah semalam bulan purnama? Lalu siapa yang membuka ikatan ku?" ucap Aabid menatap wajah cantik Neha.
"Cukup aku dan Tuhan yang tahu apa yang terjadi semalam. Kakak tidak perlu tahu..." ucap Neha sambil berisyarat meledek.
Neha membuka telapak tangan nya dan meletakkan ujung ibu jari di ujung hidung sambil mengeluarkan sedikit lidahnya. Setelah melihat reaksi Aabid, Neha memilih langkah seribu. Ia melangkah cepat menuju taman belakang diiringi tawa renyahnya.
Sementara itu, mendapati canda Neha, Aabid mengikuti langkah cepat Neha. Ia berusaha menghentikan langkah Neha. Sedikit ancaman canda pun ia lontarkan.
"Awas ya...." ucap Aabid dibarengi tawa.
Jadilah acara kejar-kejaran pagi itu. Senyum dan tatapan para asisten rumah tangga tak Aabid hiraukan. Ia hanya ingin bahagia bersama Neha, istri ketujuhnya itu.
Hos.
Hos
Hos.
Nafas keduanya memburu. Tubuh pun hingga terbungkuk-bungkuk karena lelah. Kemudian keduanya terduduk pada rumput tebal berwarna hijau. Ada tawa yang terhimpun di sela desah nafas keduanya. Dan tawa keduanya itu terdengar hingga kamar Maryam di lantai dua. Maryam yang tengah berdiri di balkon mantap keduanya. Ia tersenyum mendapati kebahagiaan yang terlihat jelas di wajah anak laki-laki satu-satunya itu.
Kemudian mata Maryam menerawang jauh. Entah kemana. Ujung tatapan perempuan yang sudah lima tahun ditinggal mati suaminya itu tak terukur. Yang ada hanya bulir bening yang mulai mengerubuti kedua matanya. Lama kelamaan bulir itu terjun bebas tanpa diperintah lagi.
"Mas, kau lihat tawa anak kita itu. Sepertinya hatinya sudah memilih Neha sebagai pendamping hidupnya. Tawanya menandakan bahwa ia bahagia. Dan tak kan ku biarkan kebahagiaannya rusak oleh ikatan janji darah mu itu..." ucap Maryam.
"Kakak tidak ngantor?" tanya Neha.
"Ngantor. Kenapa? Apa kau tidak suka bersama ku?"
"Bukan begitu. Aku tidak ingin kakak terlambat saja..."
"Hei, kau lupa siapa suami mu ini..."
"Ya, Tuan Aabid...." ucap Neha sambil tertawa renyah.
"Nanti malam kau harus perlakuan aku seperti malam tadi..." bisik Aabid.
Deg.
Jantung Neha serasa berhenti. Sesaat fikirnya kembali pada kejadian semalam. Neha bergidik. Ia tak tahu jadinya jika harus mengalaminya tuk kedua kalinya. Neha terdiam. Ingatannya sedang bermain. Menyulam kembali keping peristiwa semalam yang membuatnya kecut bak nafas di ujung lidah. Sementara hatinya menimbang apa dan bagaimana jika harus mengulang menghadapi peristiwa semalam.
"Neha.....!" sebuah suara menyambangi telinga Neha.
Bersamaan dengan itu ada angin yang menerpa wajah Neha. Memaksa perempuan cantik itu untuk memejamkan mata sesaat. Neha bergidik. Suara itu menyerupai suara Aabid. Suara yang terdengar begitu dekat di telinga.
Karena terasa begitu dekat, Neha menilik Aabid. Ia ingin memastikan kebenaran telinganya. Ya, kali saja benar Aabid yang melakukannya. Namun alih-alih memastikan, justru Neha menjadi kecut. Dari reaksi yang tampak, tak sedikitpun menunjukkan bahwa Aabid lah yang telah menyebut namanya barusan.
Sekali lagi Neha memastikan. Ia menatap Aabid yang tengah asyik mengotak-atik ponselnya. Hati Neha mulai ragu. Mustahil rasanya jika Aabid bersuara seperti itu. Jika demikian, siapakah si empunya suara itu? Begitu fikir Neha.
Neha merinding disko. Peluh mulai mengembun. Menimbulkan rasa dingin di sekujur tubuh. Sosok hitam itu tiba-tiba saja muncul dan menariknya untuk mengikuti langkahnya.
"Ikutlah..." ucap sosok itu dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri.
Bak di sihir, Neha mengikuti sosok hitam itu. Menyusuri sebuah lorong panjang hingga di sebuah pintu kayu, Neha berhenti. Pintu pun terbuka begitu saja.
KREEEK....!
Begitu suara yang ditimbulkan. Neha pun melangkah ke dalam ruangan setelah sebuah suara kembali menuntunnya. Ruangan itu cukup gelap. Hanya cahaya dari lampu minyak menjadi sumber penerang satu-satunya. Suasana terasa mencekam. Ditambah alunan musik tradisional yang entah darimana asalnya mengisi ruangan tersebut.
Neha terus melangkah. Tak sekejap mata pun Neha berpaling untuk sekedar menilik ruangan. Tatapannya tertuju pada sebuah tempat di sudut ruangan. Sebuah meja berpenutup kain hitam. Di atasnya ada beberapa sesajen dan benda-benda yang digunakan sebagi ritual, keris, sebuah cawan tanah dan kembang tujuh rupa. Neha pun duduk bersila di depan meja tersebut. Entah mengapa ia melakukan itu.
"Neha.....!"
Sebuah suara kembali terdengar. Dari belakang tubuh Neha, sebuah tangan muncul. Tangan itu merayap perlahan dari balik punggung Neha hingga bahu. Neha bergidik. Ingin rasanya ia lari, namun tiada daya. Tangan hitam itu menggerayangi leher Neha dan sebagian wajah Neha hingga matanya saja yang terlihat.
Membulat sempurna penuh ketakutan mata Neha. Tubuhnya gemetar hebat. Dan dengan mengumpulkan segenap kekuatan Neha pun berteriak.
"Aaaaakkh....!!!" teriak Neha sejadinya.
"Neha, Neha...Neha...." panggil Aabid berulangkali.
Aabid mengguncang tubuh Neha. Istri ketujuhnya itu terlihat bak raga tak bernyawa. Tiada gerak sedikitpun. Hanya matanya saja yang menatap ke suatu tempat pada bagian rumah tersebut. Aabid cemas akan kondisi Neha. Ia memeluk erat tubuh Neha yang terasa dingin itu.
"Ibu.....!!" teriak Aabid sambil mengangkat tubuh Neha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments