Pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Malam mulai merangkak jauh. Langit begitu cerah karena berhias bintang dengan bulan menggantung bulat sempurna. Angin pun berhembus, asyik bermain pada dedaunan. Suaranya berisik, indah bak alunan musik.
Neha kembali ke dalam kamarnya. Ia membawa gelas dan teko kecil berisi air. Persediaan di kala malam kalau merasa haus. Perlahan Neha meletakan gelas dan teko di atas meja. Sembari meletakkan matanya selintas menyapa Aabid yang masih asyik dengan bukunya.
"Belum mengantuk, Kak...?" tanya Neha.
Aabid yang sesungguhnya memperhatikan Neha sejak tadi, langsung menanggapi. Laki-laki pemilik perkebunan sawit dan sejumlah perusahaan itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Tangannya berisyarat menepuk sisi kosong tempat tidurnya. Tempat istimewa yang dua minggu ini milik istrinya, Neha.
"Aku menunggu mu..." ucap Aabid.
Melihat isyarat yang bak perintah itu, Neha manut. Neha duduk di sebelah Aabid. Tepat di tempat Aabid menepuk sisi tempat tidurnya. Matanya sesekali menatap Aabid di sela langkahnya hingga duduk sempurna di samping Aabid.
SREKKKK.....!!
Aabid mengeluarkan sebuah pisau yang baru saja ia ambil dari bawah bantalnya. Ada kilau yang menyapa mata saat pisau itu keluar dari sarungnya. Melihat itu, Neha terkejut. Neha beringsut sedikit menjauhi Aabid.
"Mengapa kakak mengeluarkan pisau? Untuk apa?" ucap Neha cemas.
Aabid menatap mata pisau yang tajam itu. Ia menghela nafas dalam. Entah apa yang ada dalam fikiran Aabid saat itu. Kemudahan ia menatap Neha.
"Aku ingin kau menancapkan pisau ini kepadaku...." ucap Aabid tiba-tiba.
Neha tentu saja terkejut. Untuk apa ia harus melakukan itu? Bukankah Aabid suaminya? Mengapa ia akan tega melakukan itu? Ah, rasanya mustahil. Begitu fikir Neha. Neha bingung. Baginya ucapan Aabid sangat aneh dan tak masuk akalnya.
Aabid menghela nafas. Matanya menerawang jauh. Rupanya ia tengah menarik kembali peristiwa yang menimpa setiap istrinya itu.
"Keenam istriku mati mengenaskan di pangkuan ku di malam pengantin kami. Dan barulah kau saja yang masih bersama ku hingga dua Minggu ini. Tapi bulan telah menjadi purnama. Aku takut kau akan bernasib sama seperti keenam istriku yang lainnya..."
"Enam....?" ucap Neha.
"Ya. Ibu memilihkan gadis untuk aku nikahi. Entah mengapa harus dipilihkan? Apakah aku tak mampu memilih gadis ku sendiri? Namun karena bakti ku, aku manut atas semua pilihan ibu. Terlebih semua gadis yang dipilih cantik, baik, dan pintar. Tapi semua yang dipilih ibu dan aku nikahi, hanya Neha yang......berhasil menarik hati ku"
"Gombal. Lalu apa hubungannya cerita itu dengan pisau itu...?"
"Ah, ya. Jika terjadi sesuatu kepada ku, maka jangan ragu-ragu untuk menggunakan pisau ini kepadaku"
"Aku tidak mengerti maksud kakak..."
"Neha...aku kian sadar. Ada sesuatu yang aneh dalam diriku. Setiap bulan purnama, maka aku akan kehilangan kesadaran. Dan begitu sadar, aku pasti akan berada pada situasi yang tidak aku senangi..."
"Situasi yang tidak kakak senangi...? Mengapa?"
"Karena saat itu ada saja yang terbunuh. Entah binatang entah istri ku sendiri..."
Deg.
Neha menutup mulutnya. Matanya membulat sempurna karena menyimpan rasa terkejutnya. Ia tidak menduga sama sekali jika laki-laki tampan yang menikahinya bisa jadi seorang pembunuh.
"Lalu....mengapa kematian keenam istri kakak tidak diselidiki pihak berwajib?"
"Sudah. Dan aku dinyatakan tidak bersalah. Karena ini...." ucap Aabid sambil membuka bajunya.
Neha terkejut melihat luka parut yang ada di tubuh Aabid. Terutama bagian punggung. Sedikit bergetar tangan Neha menyentuh luka parut itu. Tanya pun kian mengisi kepala Neha.
"Di setiap peristiwa, maka aku pun akan mendapatkan luka di punggung" ucap Aabid sambil menutup kembali bekas luka itu dengan bajunya.
"Apa kakak tidak mencari pertolongan...."
"Sudah. Dan aku dinyatakan baik-baik saja"
"Kalau begitu mengapa harus khawatir..." ucap Neha.
"Neha...apakah kau tidak merasakan sesuatu hal yang aneh selama bersama ku? Atau selama di rumah ini?"
Deg.
Neha tertegun. Fikirnya menerawang. Ia kembali mengingat kejadian aneh atau pun mengerikan sejak hari pernikahannya. Dan Neha pun akhirnya menganggukkan kepala. Tanda setuju dengan pernyataan Aabid.
"Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada mu. Aku mencintaimu, Neha. Jadi terima pisau ini. Simpan di bawah bantal mu. Dan satu lagi..." ucap Aabid sambil meletakkan pisau di tangan Neha.
Aabid mengambil gulungan tali. Dan meletakkannya di pangkuan Neha.
"Untuk apa, Kak?" ucap Neha heran setengah bingung.
"Sekarang ikat aku..."
"Ikat....?! Ayolah, Kak..." ucap Neha.
Ia turun dari tempat duduknya. Tangannya meletakkan kembali dua barang yang diberikan Aabid barusan begitu saja di atas kasur.
"Aku tidak mau melakukannya, Kak..."
"Ayolah, Neha..." bujuk Aabid sambil mendekati Neha yang berdiri di bawah keremangan cahaya lampu.
"Aku tidak mau, Kak. Aku tidak mau melukai mu..." ucap Neha dengan suara sedikit bergetar menahan isak.
"Harus. Demi kita. Aku memintanya karena aku mencintaimu. Aku tak ingin terjadi sesuatu terhadap mu" ucap Aabid yang langsung merengkuh Neha.
Teng.
Teng.
Teng.
Dentang jam dinding menunjukkan waktu tengah malam. Aabid terkesiap. Buru-buru ia meraih tali dan kembali menyerahkannya kepada Neha.
"Cepat Neha, waktu kita tak banyak. Cepat....!!" ucap Aabid.
Mendapat situasi tersebut, Neha pun akhirnya menuruti keinginan yang merupakan perintah baginya itu. Neha pun mulai mengikat Aabid. Ia mulai dari kaki, badan hingga tangan.
"Yang kuat, Neha. Jangan sampai terlepas...." ucap Neha.
Neha menatap tak tega pada Aabid. Bahkan ada bulir bening yang mulai mengerubuti kedua matanya.
"Jangan terpaku begitu. Ambil pisaunya...!" ucap Aabid.
Lagi-lagi Neha terkesiap. Ia buru-buru mengambil pisau seperti yang diinginkan Aabid, suaminya. Laki-laki yang juga mulai mencuri hatinya.
"Maaf, membuat mu seperti ini, Neha...."
"Tidak...!Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja..." ucap Neha.
Sebelah lengannya mengusap bulir bening yang mulai terjun bebas. Sementara sebelah tangan lainnya menggenggam pisau yang di berikan Aabid. Perlahan tubuh Neha luruh menyentuh lantai. Ia terduduk lesu menatap Aabid. Sesekali tangannya mengusap bulir bening yang kian terjun bebas.
"Bagus, Neha. Seperti itu....Jangan menangis, sayang. Kuatlah. Jika memang aku harus mati di tangan mu, itu bukan salah mu. Dan aku rela. Paling tidak bukan aku yang membunuh istri ku..." ucap Aabid sambil tersenyum dan menatap Neha.
Tik.
Tok.
Tik.
Tok.
.
.
.
.
Entah berapa lama waktu berjalan. Namun saat ini Neha sudah mulai lelah. Ia terkantuk-kantuk dalam duduk. Aabid sendiri terlelap dalam ikatan kuat Neha.
Sebuah lolongan panjang srigala terdengar begitu menyayat. Suara binatang malam itu membangkitkan bulu kuduk dan kengerian. Neha terantuk lututnya. Ia terbangun sesaat. Hatinya kecut saat lolongan itu terdengar sekali lagi. Neha menutup telinganya kuat-kuat. Ia tak ingin mendengar sumber kengeriannya.
Alih-alih terbebas dari rasa takut akibat lolongan serigala, Neha justru dibuat kecut dengan keluarnya bayangan hitam dari tubuh Aabid yang terbaring. Bayangan itu begitu besar.
"Ehhhmmm....." geram nya membuat Neha ciut.
Pun demikian Neha menjadi waspada. Ia mengambil pisau yang tergeletak di dekatnya. Neha berdiri. Ia menodongkan pisau itu ke arah bayangan hitam itu.
"Neha......" panggilnya dengan suara besar dan menggema memenuhi ruangan.
"Apa yang kau lakukan padaku...? Aku tidak bisa keluar dari tubuh ini" ucap bayangan itu.
"Siapa kau?! Mengapa mengganggu suami ku?! Mengapa kau berada dalam tubuhnya" ucap Neha sambil menegaskan todongan pisau di tangannya.
Sesaat Neha merasa aneh. Fikirnya mulai bertanya mengapa bayangan itu tidak dapat keluar dari tubuh Aabid. Kemustahilan ini menjadi hal ajaib hanya dengan seutas tali, makhluk mengerikan itu tak berdaya. Neha waspada. Mungkin saja ini adalah trik makhluk itu agar Neha lengah. Bukan kah apa saja bisa dilakukan makhluk itu untuk memperdaya manusia.
Ingatan Neha mendadak menguat. Ia teringat dengan apa yang ia lakukan saat mengikat tubuh Aabid. Ditengah kegamangan dan rasa takutnya, ternyata Neha membacakan salah satu ayat dalam kitab suci. Neha membacanya berulang kali hingga ikatan itu selesai.
"Hah, sekarang aku tahu kelemahan mu. Aku akan melakukannya lagi. Bahkan lebih dari itu. Karenanya pergilah dari tubuh suami ku...!!"
"Aku tidak bisa...!! Jika aku binasa, maka suami mu pun akan binasa seperti halnya aku..."
"Dusta....!!" ucap Neha.
Neha mulai membaca kembali ayat suci yang sebelumnya ia baca. Sekaligus ia ingin membuktikan kebenaran dugaannya. Benar saja, bayangan hitam itu mulai bergetar hebat. Ia meminta ampun agar Neha menghentikan bacaannya. Tubuh besarnya mulai kian samar. Dan masuk kembali ke dalam tubuh Aabid.
Bersamaan dengan itu, Aabid pun merasa kesakitan. Ia mengerang hebat. Neha panik. Ia menghentikan bacaannya.
"Aku tidak bisa pergi. Ini ikatan janji darah....!!" ucap Aabid yang saat itu sudah kembali dirasuki makhluk itu.
"Akh....!" teriak Neha.
Neha terduduk lesu. Peluh membanjiri tubuh sebagai wujud kelegaannya. Pisau yang ia pegang dilemparkan begitu saja. Kemudian bahu Neha terguncang. Rupanya ia menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments