“Jangan usir Kak Amara, Yah. Kalau dia pergi siapa yang akan masak dan membersihkan rumah?” sahut Shofia – adik Amara.
“Aku bukan pembantu kalian! Mulai sekarang, aku tidak sudi memasak dan membersihkan rumah!” tandas Amara. Gadis cantik itu lalu pergi, dia mengendarai motornya menuju ke sungai.
Ketika Amara sedang sedih, kecewa atau sedang banyak pikiran dia selalu mengunjungi sungai. Suasana yang sejuk dan tenang membuat Amara sangat nyaman dan betah berlama-lama di sana.
Tak jarang dia menumpahkan air mata dan meluapkan emosinya di tepi sungai itu.
“Tuhan, kenapa Engkau takdirkan aku terlahir di keluarga yang sangat jahat kepadaku?” teriak Amara sembari terisak. “Aku tidak kuat dengan semua ini! Aku ingin pergi dari dunia ini!” jerit Amara. Emosi dan tangisnya bercampur menjadi satu.
Gadis cantik itu menuangkan seluruh emosi, kesedihan, dan kekecewaannya. Setelah merasa hatinya tenang, barulah dia berhenti menangis dan berteriak.
“Percayalah Tuhan tidak akan pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya,”
Amara terlonjak. Dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Matanya membulat sempurna ketika melihat seorang pria tampan muncul dari balik pohon besar.
“Si-siapa kamu?” tanya Amara terbata-bata.
“Seperti yang kamu lihat, aku ini manusia,” sahut ketus pria itu. Wajahnya terlihat kusut, seperti baru bangun tidur.
“Maaf, apa kamu terbangun karena mendengar teriakanku?” tanya Amara, dia merasa tidak enak.
“Ya, teriakanmu mengganggu waktu istirahatku, padahal aku baru saja memejamkan mata!” umpat pria itu.
“Maaf, aku tidak tau jika ada orang di sekitar sini. Kalau begitu lanjutkan tidurmu, aku akan pergi dari sini.” Amara melangkahkan kakinya menjauhi pria itu.
“Tunggu! Apa kamu mau kopi? Sepertinya, secangkir kopi bisa membuatmu lebih tenang.”
Amara menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah pria itu. “Apa kamu penjual kopi?” tanya Amara.
“Iya. Apa kamu mau minum kopiku?”
Amara mengangguk pelan. “Ya, buatkan aku kopi yang paling enak!” titahnya.
Pria bertopi itu mengambil peralatannya. Dia lalu meracik kopi andalannya di gelas plastik.
“Minumlah! Aku yakin dengan meminum kopi ini, hatimu akan lebih baik!” Pria itu menyodorkan kopi racikannya di hadapan Amara.
“Terima kasih.” Amara menerima kopi tersebut lalu menyeruputnya.
Amara tampak sangat menikmati kopi itu. Suasana tampak hening, tidak ada obrolan ringan di antara mereka, hanya ada suara gemerisik dedaunan akibat diterpa angin.
“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” tanya pria itu.
Amara tersenyum sembari memandang pria itu. “Kamu benar! Secangkir kopi racikanmu bisa membuatku lebih baik.”
“Syukurkah!”
“Apa kamu setiap hari berjualan di sini?” tanya Amara.
“Tidak, aku keliling dari satu tempat ke tempat lainnya. Di sini hanya tempatku istirahat,” jelas pria itu.
Amara kembali merasa tidak enak karena telah mengganggu waktu istirahat pria itu. “Maaf karena aku telah mengganggumu, padahal kamu capek karena seharian berkeliling.”
“Tidak masalah, aku sudah melupakannya.”
Amara tersenyum masam. “Kamu pasti mendengar semua teriakanku ya?” ucap Amara sembari menyeruput kopinya yang tinggal setengah gelas.
“Aku tidak tuli, jadi aku mendengar semua teriakanmu itu. Orang tua memang aneh sekali!” cibir pria itu. “Kenapa kamu tidak pergi saja dari rumah itu?” tanyanya.
“Almarhum nenekku berpesan, aku harus tetap tinggal di sana selama aku belum menikah,” jelas Amara.
“Kalau begitu, menikahlah agar kamu terbebas dari orang tuamu!”
“Kamu kira menikah semudah itu?” timpalnya. “Aku harus menikah dengan siapa kalau pacar saja tidak punya?” lanjutnya.
“Gadis secantik kamu tidak punya pacar?” Pria itu tidak percaya. Pasalnya, dia adalah gadis yang cantik, tinggi bak seorang model tapi mengaku tidak punya pacar. Mustahil, ‘kan?
“Kamu mengejekku?” tanya Amara dengan nada kesal.
Pria itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku hanya bertanya.”
Tiba-tiba saja hening terjadi di antara mereka. Amara kembali menikmati sisa kopinya, sementara pria itu pandangannya fokus ke arah sungai.
“Oh iya, kalau boleh tau siapa namamu?” tanya Amara.
“Aku Kholil,”
“Aku Amara,”
“Ya, aku sudah tau namamu,” jawab Kholil singkat sembari merapikan kembali peralatannya. “Aku pergi dulu! Aku harus kembali berkeliling menjajakan kopiku,” pamit Kholil.
“Tunggu! Aku belum membayar kopiku,” teriak Amara.
“Kopi itu gratis untukmu, anggap saja sebagai tanda awal perkenalan kita.” Kholil tak menoleh sedikit pun, dia terus melangkahkan kakinya menjauhi Amara.
“Terima kasih, Kholil. Semoga lain kali aku bisa menikmati kopimu lagi,” teriak Amara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
El-Haa
Pasti kak, tolong ditunggu ya kakak 🥰
2023-09-26
0
Alan
🙏Tolonggg thor, update secepatnya!🙏
2023-09-26
1