Perawat Malang Untuk Tuan CEO

Perawat Malang Untuk Tuan CEO

Bab 1 Berani Membela Diri

“Mulai sekarang, berikan seluruh gajimu kepadaku!” pinta Bu Indri sembari menarik amplop yang berisi gaji Amara.

“Tidak bisa, Bu. Aku juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhanku!” Amara menarik kembali amplop itu.

“Kamu tau, betapa banyak uang yang sudah aku keluarkan untuk membesarkan dan menyekolahkanmu, hingga kamu berhasil menjadi seorang perawat?” bentak Bu Indri.

Bu Indri selalu menganggap bahwa uang adalah jasa terbesar yang telah dia berikan kepada Amara. Maka dari itu, dia selalu menuntut agar Amara membalasnya.

“Apa uang yang aku berikan setiap bulan masih kurang, Bu?” gumam Amara.

“Jelas kurang! Semua itu tidak ada sedikit pun dari uang yang telah aku keluarkan untukmu!” sembur Bu Indri.

“Ibu tidak perlu khawatir, suatu saat aku pasti akan membalas semua jasa ibu dengan uang!” tekan Amara.

Amara membalikkan badannya, dia pergi meninggalkan Bu Indri. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, Bu Indri menarik kuat rambut Amara.

“Akk, lepaskan, Bu!” Amara menyeringai kesakitan.

“Sudah berani kurang ajar kamu? Ibu belum selesai bicara, kamu main pergi saja!” bentak Bu Indri.

“Amara sudah cukup sabar menghadapi perlakuan ibu dan semua orang yang ada di rumah ini. Sekarang, Amara sudah dewasa, tidak bisa ibu perlakukan seenak ibu lagi!” tegas Amara sembari menatap Bu Indri.

Plak!

Satu samparan mendarat di pipi kiri Amara. Tamparan itu cukup kuat, sehingga membuat sudut bibir Amara mengeluarkan darah segar.

Amara memegang pipi kirinya sembari tersenyum. Pasalnya, ini bukan kali pertama dia mendapatkan tamparan dari sang ibu. Tamparan, cacian, dan omelan Bu Indri adalah makanan sehari-hari Amara.

“Kenapa cuma satu kali, Bu? Silakan tampar Amara lagi!”

Bu Indri kembali mengangkat tangannya, namun sayang Pak Galih – ayah Amara memegang tangan Bu Indri.

“Sudah, Bu. Jangan kotori tanganmu dengan menyentuh anak ini! Biar aku yang memberinya pelajaran!” sergah Pak Galih.

Pak Galih menarik paksa tangan Amara. Dia menyeret Amara ke dalam kamar mandi, lalu memasukkan kepala Amara ke dalam bak mandi dalam waktu beberapa detik. Membuat Amara kesulitan untuk bernapas.

“Kamu memang anak kurang ajar! Ayah sangat menyesal karena telah membesarkanmu!” ucap Pak Galih sembari melepaskan kepala Amara. Bagaimanapun juga, dia takut kalau Amara mati karena ulahnya.

“Perlu ayah ingat, aku ini dibesarkan oleh nenek. Meskipun ayah dan ibu memberikan uang bulanan kepada kami, tapi uang itu sangat lah sedikit dan tidak cukup untuk biaya hidupku dan nenek.” Jelas Amara dengan tatapan penuh emosi. “Aku bisa sekolah tinggi juga berkat bantuan nenek!” lanjutnya.

Sejak kecil Amara diasuh oleh Neneknya. Bu Indri dan Pak Galih tidak mengharapkan kehadiran Amara karena pada saat itu ekonomi mereka sangat sulit. Bahkan Bu Indri berniat menggugurkan kandungannya, tetapi dilarang oleh Nenek Suci – ibu mertuanya. Setelah Amara lahir, ekonomi mereka semakin sulit. Sehingga, Bu Indri dan Pak Galih memutuskan untuk merantau keluar negeri.

Meskipun sudah merantau keluar negeri, ternyata kehidupan mereka masih tetap sama. Justru mereka memiliki hutang yang cukup banyak.

Uang bulanan yang diberikan kepada Nenek Suci sangatlah sedikit, tidak cukup untuk biaya hidup dengan Amara. Akhirnya, Nenek suci memutuskan berjualan kue sambil mengendong Amara yang masih kecil.

Tahun demi tahun berganti, namun Bu Indri dan Pak Galih masih tetap tidak bisa menerima Amara. Setiap mereka pulang, mereka selalu menjadikan Amara pelampiasan amarahnya. Apa pun yang dilakukan oleh Amara selalu salah di mata Bu Indri dan Pak Galih. Kebenciannya kepada Amara sudah mendarah daging dihatinya.

Saat Amara berusia 7 tahun, Bu Indri kembali hamil anak keduanya. Dan perekonomian mereka sudah cukup baik. Mereka bisa membangun rumah di atas milik Nenek Suci.

Plak!

Kali ini tamparan dari Pak Galih yang mendarat di pipi kanan Amara. Tamparan keras dari Pak Galih membuat Amara terpental.

“Kurang ajar! Sekarang kamu sudah berani membantah ayah!” Pak Galih menatap Amara dengan penuh amarah.

Butiran bening melesat tanpa aba-aba dari pelupuk mata Amara. Dia menangis bukan karena sakit dan perih akibat tamparan dari ayah dan ibunya, tetapi karena perkataan orang tuanya yang seolah-olah tidak ikhlas karena telah membiayai kehidupan Amara.

“Andai dulu nenekmu membiarkan kami menggugurkanmu, pasti kami tidak mempunyai anak kurang ajar sepertimu!” bentak Pak Galih.

“Andai aku bisa memilih, aku pasti tidak akan memilih terlahir menjadi anak ayah dan ibu!” timpal Amara sembari terus terisak.

“Kalau kamu menyesal karena telah menjadi anakku, sekarang juga kamu boleh pergi dari rumah ini!” Usir Pak Galih sembari mendorong tubuh Amara, jika tidak ada tembok yang menopang pasti Amara sudah terjatuh ke lantai.

“Jadi, ayah mengusirku?” tanya Amara sembari menatap Pak Galih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!