..."Rasa ingin mengubur diri hidup-hidup itu ada, ketika kesialan dalam hidup datang silih berganti." -Laura Anatasha Relieska...
...****...
"Opah!" Laura memanggil Galih yang tengah menyeruput kopi hitam di depan teras rumah. Suasana di luar mulai terasa dingin apalagi ketika hari yang perlahan berganti senja.
"Hm." Galih menoleh sekilas lalu kembali menyibukkan diri dengan membaca berita harian di koran.
"I-itu, mini market di mana, ya?"
"Jam segini kamu mau ke mini market?" Galih menatap raut wajah cucunya lekat-lekat. Tidak salah? Pikirnya.
"Hm, mau beli cemilan buat ntar malem."
Galih melipat koran dan menaruhnya di atas meja seraya menghela napas. "Kalo jangan kaki emang lumayan jaraknya. Ada tepat di depan gerbang sekolah baru kamu. Kalau berani, kamu boleh ke sana jalan kaki paling lambat sepuluh menit. Tapi kalau nggak berani, tuh pake aja motornya Opah! Sering dipake sama Si Wulan buat belanja ke pasar."
Laura tampak berpikir sejenak. Helaan napas lantas ia embuskan. "Hm, tapi 'kan Laura gak bisa bawa motor,"
"Kamu gak bisa bawa motor?" Kedua alis Galih berkerut. Sementara Laura sendiri mengangguk beberapa kali.
"Yang bener aja kamu! Masa bawa mobil mewah bisa, giliran bawa motor matic nggak bisa. Ngaco kamu, Laura!" Galih terkekeh pelan, tak habis pikir dengan perangai dari cucunya.
"Terus aku gimana? Mobil Opah, deh, minjem."
Galih menghentikan kekehannya, lalu kembali menyeruput kopinya dengan santai. "Mobil Opah lagi dibenerin. Barusan banget dianterin ke bengkel."
Raut wajah Laura kian cemberut. Mulutnya berdecak seraya melirik ke arah layar ponselnya.
"Ya udah, aku jalan kaki aja."
"Yakin?" Pertanyaan Galih membuat langkah kaki Laura terhenti. Lagi-lagi gadis itu menghela napasnya. "Baru jam setengah enam, nggak akan lama, kok."
"Ya udah, tapi hati-hati!"
"Hm."
...****...
"Ck! Paling lama sepuluh menit apanya? Ini mah lebih." Laura menggerutu sebal seribanya di mini market. Entah sudah berapa kali gadis itu mendengus antara menahan lelah dan menahan kesal.
Saat tiba mengambil sebuah keranjang belanjaan, netranya melirik ke arah luar mini market. Tepatnya pada gerbang sekolah menengah atas yang letaknya benar-benar saling berhadapan dengan mini market.
Mau dilihat dari sisi manapun, sekolah lamanya tetap begitu mewah dengan seragam khas yang tidak dimiliki oleh sekolah negeri manapun. Laura jadi kesal sendiri ketika minggu depan nanti, seragam elitnya harus berganti dengan seragam putih abu biasa.
"Dahlah, males. Pokoknya, gue harus tetep tampil modis saat awal masuk sekolah nanti!"
Cukup lama gadis itu memilah barang belanjaannya. Banyak yang dia beli, seperti sabun mandi, sikat gigi, sampo, beberapa bungkus camilan ringan, minuman kemasan dan lain sebagainya.
Sebenarnya, Laura tidak terbiasa belanja kebutuhan kamar mandi di mini market seperti ini. Tidak ada satu pun sabun mandi maupun sampo yang sering dia pakai terpampang di etalase. Tetapi kalau beli di online pun juga percuma tidak ada. Harus beli langsung di official mart di mal. Sedangkan di sini tidak ada mal. Jadi untuk sementara ini, Laura akan mulai membiasakan diri dengan produk biasa.
Sekitar kurang lebih setengah jam, Laura selesai memilah belanjaan. Kedua kaki jenjangnya yang polos berbalutkan celana jeans mini di atas lutut, membuat beberapa orang yang berada di mini market memokuskan perhatian pada Laura.
Bisa dibilang, Laura adalah satu dari sepuluh gadis yang memakai pakaian minim diwaktu menjelang malam begini. Meski begitu, tak sedikit yang memuji kaki jenjangnya yang begitu mulus dan cantik.
"Ada membernya, Kak?" Seorang kasir bername tag Bayu, bertanya halus pada Laura. Tak ayal, laki-laki itu juga dibuat gagal fokus oleh pesona Laura. Apalagi ketika Laura tersenyum kecil sembari menggelengkan kepala. Hampir saja dia terpesona jika seseorang di belakang tidak berdeham keras untuk menyadarkannya.
Sekitar lima menit, proses scane dan pembayaran pun selesai. Laura menghela napas saat menyadari barang belanjaannya begitu banyak dan berat.
"Gila! Mana lumayan jauh lagi rumahnya Opah. Aah, harusnya gue nggak beli semua tadi." Sebelum benar-benar melangkah meninggalkan mini market, Laura menyempatkan diri melirik jam di ponselnya. Pukul 6 sore lebih 15 menit tertera di sana.
"Pantesan gelap." Gerutu Laura. Perasaannya mendadak tidak nyaman. Sebisa mungkin gadis itu meyakinkan diri sendiri untuk tetap tenang.
Dirasa cukup tenang, barulah Laura berjalan cepat menenteng barang belanjaannya. Jantungnya berdegup sangat kencang apalagi ketika melihat jalan menuju rumah opahnya tampak begitu sepi dan gelap. Hanya diterangi oleh beberapa lampu tiang di bagian pinggiran jalan.
Tetap saja hal itu membuat Laura takut. Kedua kakinya semakin gencar melangkah maju. Sialnya, entah karena Laura yang tidak cukup fokus, ditambah perasaannya yang terus menyuruhnya untuk cepat-cepat pergi, salah satu kakinya menginjak sebuah kerikil berukuran sedang sehingga mengakibatkan tubuhnya tidak stabil dan berakhir jatuh ke aspal.
Barang belanjaannya berceceran, namun beruntungnya keresek belanjaannya tidak sampai sobek. Namun sialnya, kedua lututnya tergores dan salah satu kakinya seperti terkilir.
Sial!
"Hari ini gue kenapa, sih? Dari pagi sampai sekarang siallll terus perasaan. Gak lihat apa sekarang udah malem? Mana sakit lagi, awh!" Laura meringis saat mencoba bangkit dari posisinya.
Beruntung lukanya tidak parah. Laura masih bisa berdiri bahkan kembali memunguti barang belanjaannya yang berceceran. Sayang, belum sempat Laura memunguti semuanya, perasaannya tiba-tiba labil. Bibirnya cemberut dengan sepasang bola mata yang entah sejak kapan mulai berkaca-kaca.
"Sialan! Udah diusir dari rumah. Sekarang? Gue jatuh dan nggak ada satu pun yang tolongin gue!" Gerutuan Laura berakhir menjadi sebuah tangisan melengking. Kedua tangannya dengan spontan memeluk lututnya seraya menunduk menyembunyikan raut wajahnya.
Kenapa semenyedihkan ini? Di mana letak salahnya? Laura hanya ingin bahagia, tetapi kenapa rasanya begitu sulit?
Kedua orang tuanya menentang dengan keras. Sahabat bahkan pacar yang Laura miliki memutuskan untuk meninggalkannya.
"Berengsek!"
"Heh! Waras lo?" Laura seketika mendongak tatkala mendengar sahutan rendah yang sanggup menyejutkannya.
Perasaan kesal bercampur takut seolah melebur ketika mengetahui siapa yang baru saja menyahutinya. "Gama?" Laura bergumam, lalu berusaha bangkit berdiri.
Apesnya, Laura lupa kalau salah satu kakinya baru saja terkilir. Tubuhnya kembali limbung sampai berakhir terjatuh ke atas aspal, lagi.
Melihat tampang Laura yang begitu menyedihkan, dengan terpaksa Gama berjongkok di hadapan gadis itu. "Lo gak pa-pa?"
Bukannya membalas, Laura malah menunduk sambil sesekali menyeka wajahnya. Jujur saja, Laura malu berhadapan dengan Gama disaat seperti ini.
Kenapa juga harus bertemu dengan Gama disaat Laura dalam keadaan mengenaskan? Menyebalkan!
Diam-diam Gama memerhatikan lutut Laura yang terluka, lalu beralih pada pergelangan kakinya yang terlihat tidak baik-baik saja. Helaan napas panjang lantas Gama embuskan.
Niat Gama keluar rumah saat ini ialah untuk membeli beberapa buah gorengan seperti permintaan papanya. Namun, semua itu diharuskan terurung karena pertemuannya dengan Laura yang cukup menyedihkan.
Gadis itu menangis di pinggir jalan yang begitu sepi. Suasana sekitar bahkan mulai berganti gelap. Entah karena apa gadis itu demikian. Yang pasti, Gama tidak bisa membiarkan gadis kota itu keluyuran dengan begitu menyedihkan.
"Sini, gue bantuin! Mana lagi yang sakit?" Gama menyentuh pelan kaki Laura, namun anehnya, gadis itu malah menangis kencang sampai berderai air mata.
Panik? Tentu saja!
Sekuat apa sentuhan tangan Gama sampai membuat Laura menangis seperti saat ini?
"Heh, lo nangis? Anj*r, jangan-jangan kaki lo patah? Coba lurusin kaki lo!"
"Enggak! Kaki gue nggak patah!" Rengek Laura, masih setia dengan tangisannya.
"Te-terus? Lo kenapa nangis, woi!" Takut berakhir seperti tadi, Gama memutuskan untuk semakin berhati-hati saat hendak menyentuh kaki Laura.
Untungnya, Laura tidak lagi menangis histeris seperti sebelumnya. Gadis itu hanya menunduk sembari menyembunyikan raut wajahnya yang kacau dengan rambut panjangnya.
Gama lagi-lagi menghela napasnya. Salah satu tangannya merogoh sesuatu yang berada di saku jaket. Gerak-gerik Gama diam-diam diperhatikan oleh Laura. Sudut hatinya menghangat ketika Gama membukakan sebuah plester untuk ditempelkan di lututnya yang terluka.
Tidak parah. Hanya tergores biasa. Darah yang keluar pun sudah mengering. Namun rasa perihnya masih terasa hingga saat ini.
"Awh!"
"Diem, kalau mau sembuh! Lagian lo jalan pelan-pelan aja kali, gak usah buru-buru amat, jatoh 'kan jadinya?"
"Kok, lo bisa tahu?" Gerutuan Laura membuat Gama menoleh. Kekehan ringan juga tampak menghiasi wajah tampan Gama yang mendapat pencahayaan minim.
"Menurut lo?" Tanpa diduga-duga, Gama menyentil dahi Laura sampai membuatnya memekik. "Ak! Apaan sih lo? Sakit, tahu!"
"Bangun! Gue anterin lo pulang."
"Hah?"
...****...
"Lho? Laura kenapa?" Omah Sonya mendelik tajam saat cucunya pulang ke rumah dalam keadaan pincang. Dan yang paling membuat Omah Sonya curiga adalah, Laura yang diantar pulang oleh Gama.
Dia nggak ngapa-ngapain cucuku 'kan?
"Laura jatuh, Omah. Tadi Gama yang bantuan Laura," terang Laura, sesaat ketika dia baru saja didudukkan di sebuah sofa.
"Kok, bisa?" Raut wajah Omah Sonya berubah cemas. Dengan cepat wanita tua itu mengecek kaki cucunya, sampai tidak memedulikan rengekan kesakitan dari Laura.
"Omah, Gama izin pamit dulu!"
"Eh, iya. Makasih, ya, Gama! Duh, seharian ini udah ngerepotin kamu dua kali. Em, gimana kalau kamu ikut makan malam di sini?"
"Makasih buat tawarannya, Omah! Tapi Gama disuruh Papa ke warung depan buat beli gorengan. Jadi, nggak bisa lama-lama." Tolak Gama halus. Laura yang sedari Gama dan omahnya mengobrol hanya bisa diam dan menjadi penonton.
"Gitu? Ya udah, tapi lain kali harus mau, ya!" Ujar Omah Sonya, yang dibalas anggukkan sopan oleh Gama.
"Iya, Omah. Pasti! Kalau gitu, Gama pamit dulu." Sebelum benar-benar pamit pergi, Gama menyempatkan diri melirik sekilas Laura yang tampak cemberut dengan wajah yang sedikit menunduk.
"Besok gue ke sini lagi."
^^^To be continued...^^^
...Laura⬇️...
...
...
...Gama⬇️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Ghania-chan
minimal gendonglah mas jgn cm nanya doang
2023-09-23
1