Sepanjang hari ini, Laura terus berada di dalam kamarnya dengan perasaan gusar. Ingin dia pergi ke luar, namun tatapan nyalang dari papanya, sudah cukup membuatnya menciut.
Dan saat ini, Laura mencoba menghubungi nomor telepon teman-temannya. Dan sialnya lagi, tidak ada satu pun yang mengangkat panggilan. Kebiasaan!
"Eric! Gue coba telepon dia!" Teringat akan Eric yang belum sempat Laura hubungi, dengan cepat Laura beralih menelepon Eric.
Lumayan lama menunggu. Saat didering ketiga, barulah panggilannya diangkat.
"Eric! Gue-" Laura menghentikan ucapannya saat terdengar suara-suara aneh yang begitu menjijikkan dari seberang sana.
"Eric? Lo ... lagi ngapain?"
"Gueh? Lagi solo sambil bayangin wajah lo, eungh!" Lagi-lagi terdengar suara erangan rendah yang berasal dari mulut Eric. Dan sialnya, hal itu membuat Laura panas dingin.
"G*bl*k lo! Berhenti gak!" Aneh. Eric yang melakukan, tetapi Laura jadi ikut-ikutan tidak nyaman. Tanpa sadar Laura menelan ludah.
"Laura desah!" Suruhan Eric, membuat Laura tersadar dari apa yang tengah dia lamunkan.
"A-apa?"
"Gue bilang, desah! Coba lo desah yang kuat! Gue mau denger."
"Enggak! Apaan sih, bye!" Laura buru-buru mematikan teleponnya sepihak. Demi apa pun, Eric benar-benar sudah gila! Menyuruhnya untuk mengeluarkan suara-suara aneh, disaat Laura sendiri rasanya sudah dibuat aneh hanya karena mendengar suara Eric.
"Emang gak waras tuh cowok!"
...****...
Pukul tiga sore, Anne terbangun dari tidurnya. Ketika perempuan itu hendak beranjak dari tempat tidur, kaki dan pinggangnya terasa mati rasa. Refleks dirinya berdesis menahan ngilu.
Gila!
Eric adalah cowok paling gila yang melakukan hal itu dengan begitu brutal. Rasanya seperti mau mati saat Eric belum juga menuntaskan hasratnya.
Tetapi, itu cukup baik. Setidaknya semua yang pernah menjadi milik Laura, sudah pernah Anne cicipi. Dan, ya. Laura hanya akan mendapatkan bekasnya.
Selama menjalin pertemanan dengan Laura, Anne tidak pernah berlaku tulus. Dia hanya ingin memanfaatkan harta kekayaan orang tua Laura yang juga adalah sponsor utama di sekolah.
Dekat dengan Laura, semua yang diinginkan terpenuhi. Gadis itu dengan bodohnya selalu mengiyakan ketika Anne maupun Juwita dan Vinca menyuruhnya untuk membayar belanjaan maupun sekadar makan di kantin.
Ketika mencoba membuka ponsel, beberapa panggilan tak terjawab tampak memenuhi kolom notifikasi. Nama kontak 'Laura', membuat Anne tanpa sadar tertawa singkat.
"Sekarang adalah saatnya berperan sebagai sahabat paling baik." Gerutu Anne, kemudian menghubungi Laura.
Tak berapa lama, panggilan teleponnya langsung diangkat. Dengan menarik napas dalam-dalam, Anne mengubah raut wajahnya. "Halo, Ra? Sorry, ya, gue gak sempet angkat telepon lo! Kebetulan guenya lagi tidur siang, hapenya dimode silent. Em, btw, lo ada apa teleponin gue berkali-kali?"
"Huwaaa, Anne! Gue ... gue mau dikirim ke desaaa!"
Anne mengernyit bingung dengan ucapan Laura. Sesekali dirinya akan tertawa pelan sambil menggaruk belakang kepalanya. "Desa? Maksudnya perkampungan?"
"Iya, itu! Males banget gak siiii!"
"Mau ngapain?" Tanya Anne. Terdengar bunyi decak sebal dari seberang sana.
"Ini semua tuh gara-gara Si Tukang Ngadu, Liora! Kalau bukan karena dia aduin gue yang tadi malem ke bar, gue gak akan diusir dari rumah! Mana besok gue langsung otw, lagi. Anne, bantuin gueee!"
Sungguh, mendengarnya saja sudah membuat orang kesal! Jika Laura pergi, terus bagaimana dengan nasib Anne? Masih banyak daftar keinginan yang belum terpenuhi.
"Lo ... gak akan lama 'kan di sana?" Mencoba tetap tenang, Anne lanjut bertanya.
"Gue disuruh tinggal selama satu semester, Anne! Massa percobaan gue sampe bulan januari! Kalau gue tetep gak berubah, gue akan tinggal selamanya di sana!"
"Bentar, bentar! Lo bilang satu semester? Sampe bulan januari? Tanya dulu, januarinya itu januari kapan? Tinggal selama satu semester keknya nanggung gak sih? Minggu depan kita udah kelas dua belas, dan kelas dua belas sekolah tuh gak sampe setahun penuh." Ucapan panjang lebar Anne, seketika membuat Laura tersadar.
"Iya juga, ya! Enggak! Gue harus tanya! Thank you, ya, Anne! Lo emang sahabat gue!" Anne mengernyit jijik mendengar celotehan Laura.
"Hm. Semoga lo gak jadi pergi, ya." Biar gue bisa terus manfaatin lo.
"Huhuu ... makasih! Doain!"
"Hm." Setelahnya, panggilan telepon benar-benar terputus oleh Laura yang mematikannya.
"Dasar!"
...****...
Saat yang paling tidak diinginkan terjadi. Sekalipun Laura tidak pernah mengemasi barang-barangnya, tetap ada ART yang senantiasa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Laura mendengus sebal saat jam baru saja menunjukkan pukul delapan pagi.
Di pagi-pagi buta begini, papanya sudah berancang-ancang mengusirnya dari rumah. Menyebalkan!
Dengan langkah berat tanpa berpamitan secara layak, Laura menyeret kedua kakinya menuju mobil. Untuk barang-barangnya sendiri telah dimasukkan ke dalam bagasi oleh supir pribadi.
Lagi-lagi Laura menghela napas. Ketika mencoba membuka layar ponselnya, tak ada satu pun pesan chat masuk ke nomornya. Berharap ada yang bertanya untuk memastikan, apakah Laura benar-benar dipindahkan ke desa atau tidak. Nyatanya, semuanya kosong. Hanya notifikasi dari yutub yang memenuhi kolom notifikasi ponsel Laura.
"Sial, sial, sial! Kalian tuh sahabat gue bukan, sih? Elo juga! Ngakunya cinta, tapi giliran gue bilang mau dipindahin ke desa langsung minta putus! Anj*ng lo!" Laura menggerutu sebal, masih dengan posisinya.
"Non, ayok!" Sahutan itu berasal dari sang sopir yang sudah stand by di mobil.
"Iihh! Iya, iya! Bawel banget!" Rasanya Laura benar-benar kesal dan muak saat ini. Sedikit pun kedua orang tuanya tidak mengucapkan selamat tinggal, maupun sekadar melihatnya di depan pintu.
Rasanya seperti, Laura benar-benar telah didepak keluar dari rumah mewahnya. Semua fasilitasnya berupa mobil mewah, tas mewah, sepatu mewah, dan koleksi super mahalnya, disita habis-habisan.
Yang Laura bawa ke dalam koper? Hanya pakaian sehari-hari yang tidak terlalu mewah, seragam sekolah, tas sekolah, laptop, dan rangkaian skincare serta make up.
Untungnya Laura punya tabungan rahasia. Dari jauh-jauh hari sekali, Laura sudah menjual beberapa atau mungkin puluhan pakaian, tas dan sepatu bermerek yang dia miliki.
Hanya menjadi pajangan dan berakhir bosan, jadilah dirinya jual secara diam-diam. Dan sekarang, hasil dari menjual barang-barang mewahnya telah lumayan menumpuk. Setidaknya, Laura tidak akan terlalu menyedihkan nanti ketika berada di desa.
"Nanti mampir ke ATM dulu." Ucap Laura, tepat ketika dirinya telah memakai sabuk pengaman.
"Siap!"
...****...
Laura refleks mengaduh sampai terbangun dari tidurnya. Kepalanya yang dia sandarkan di punggung sofa mobil, berakhir terbentur ke jendela kaca.
Sial!
"Aduhh, ada apaan sih? Kok, ngerem mendadak?" Laura sudah hidup sial, dan sekarang dirinya menjadi semakin sial lagi ketika sang sopir pribadi, sebut saja Pak Anto, bergegas ke luar dari mobil untuk mengecek sesuatu.
Dengan malas tingkat dewa, Laura melepaskan sabuk pengaman, lalu turut ke luar menyusul Pak Anto.
"Kenapa mobilnya? Awas aja kalau mogok! Mana jalannya sepi gini. Sawah semua, lagi. Heuhh!" Laura merogoh ponselnya yang dia taruh di dalam tas selempang. Niatan awalnya hanyalah untuk bercermin, tetapi ketika tidak sengaja menyalaka ponsel, bola matanya seketika melotot.
"Iihh, kok gak ada sinyal? Ini beneran udah masuk kampung halamannya Omah?" Laura berdecak sebal apalagi ketika mendengar gumaman pasrah dari Pak Anto.
"Pak Anto! Dari sini ke rumahnya Omah masih lama, nggak?"
"Hm, kalau jalan kaki bisa sampe dua puluh menitan, Non. Tapi kalau pake kendaraan mah paling lima belas menit juga sampe."
"Ya udah, buruan, keburu sore ntar makin mager, tahu nggak!" Laura sudah berancang-ancang hendak masuk ke mobil. Namun gara-gara mendengar suara helaan napas panjang dari Pak Anto, Laura tiba-tiba penasaran dengan apa yang terjadi pada mobilnya. Tanpa berpikir panjang, Laura mendekati Pak Anto yang masih sibuk memeriksa keadaan mesin mobil.
"Pak Anto! Mobilnya kenapa, sih?"
Dengan berat hati, Pak Anto kembali menghela napas berat seraya menatap tak enak hati pada anak dari majikannya. "Maaf, Non! Mobilnya mogok. Harus diperbaiki dulu. Pak Anto mau nyari tukang bengkel dulu, ya, seben-"
"Eeh, enak aja! Terus Laura gimana? Tungguin di sini, gitu?" Laura memotong ucapan Pak Anto dengan tergesa-gesa. Jujur saja, Laura takut diculik jika ditinggal sendirian di tempat asing ini.
"Kalau Non Laura ikut, terus yang jagain mobilnya siapa?"
"Iiih, gak mauuu! Nanti kalau ada yang nyulik Laura gimana?" Kesal dan muak. Laura rasanya ingin menangis dan mengadukan segalanya pada Tuhan lalu berteriak; kenapa nasibnya begitu sial begini?
Semua orang meninggalkannya. Keluarga, sahabat, pacar, bahkan Pak Anto juga mau meninggalkannya sendirian. Tidak tahukah jika Laura adalah tipe cewek penakut?
"Hm, gini aja, deh. Biar saya telepon Opah Galih saja, bagaimana? Suruh sopirnya biar jemput Non Laura." Laura tampak menimbang sejenak. Tak berapa lama, ia pun mengangguk.
"Ya udah." Ujar Laura, pada akhirnya. Tanpa pikir panjang, Pak Anto mulai mengeluarkan ponselnya. Ketika dia hendak membuka aplikasi telepon, tiba-tiba suara Laura menghentikan kegiatannya.
"Bentar, 'kan gak ada sinyal!?"
Kekehan dari Pak Anto membuat Laura mengernyit. "Kata siapa? Ada, kok! Cuman ya, gitu, Non. Harus pakai kartu tertentu dulu, baru ada sinyal. Sebentar, ya, Non! Mau telepon dulu Opah Galih."
"Hm."
^^^To be continued...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Ghania-chan
pdhl laura tulus bgt,tpi tmn"ny mlh kyk gini:(
2023-09-23
1
Ghania-chan
hehh dasar cowo sintinggg🙈
2023-09-23
1