Anne terkekeh sarkas mendengar ajakan itu. "****! Gue mau Eric!" Anne mendorong tubuh pemuda itu cukup kuat, sehingga membuatnya menyingkir dari tubuhnya.
Anne kemudian bangkit dari sofa. Berjalan penuh kharisma melewati beberapa orang-orang di bar untuk menyusul Eric.
"Eric!" Anne memanggil Eric yang ternyata tengah bersantai dekat pintu masuk bar dengan ditemani seorang wanita cantik yang menuangkannya sebuah minuman.
"Wtf!" Anne menggerutu sebal, kemudian memilih menduduki salah satu kursi di depan Eric. Tangan wanita cantik itu yang dengan sembarangan membelai dada bidang Eric tepat di depan matanya, membuat Anne sedikit tidak rela.
"Eric!" Anne kembali memanggil nama Eric dengan begitu manja.
Eric yang tengah menyesap rokoknya hanya menoleh sekilas. "Kenapa?"
"Sama gue, ayo!" Eric sempat dibuat terbatuk oleh ajakan ambigu dari Anne. Tanpa pikir panjang, Eric menyuruh wanita yang tengah menemaninya itu untuk pergi. Tak lupa memberikan tip.
"Maksud lo?"
Anne tidak menjawabnya dengan lisan, melainkan dengan gestur tubuh serta ekspresi nakalnya. Eric yang paham pun terkekeh seraya mematikan rokoknya.
"Cepe, mau?"
"Gue gak jualan. Gue cuman mau have fun!" Ujar Anne, diakhiri menggigiti bibir bawahnya.
Jika sudah ada tawaran menggiurkan begini, siapa juga yang akan menolak? "Gas! Gue akan buat lo inget, gimana rasanya kalau lo berani mancing-mancing gue."
...****...
Sesampainya di rumah, Laura langsung meraih ponselya. Melirik waktu yang telah menunjukkan pukul satu dini hari. Diam-diam Laura mengembuskan napas lega. Pikirnya, di jam segini kedua orang tuanya pasti telah tertidur. Tanpa pikir panjang, Laura mulai merogoh kunci pintu. Membukanya perlahan sampai akhirnya terbuka sepenuhnya.
Sebelum benar-benar masuk, Laura menyempatkan diri untuk menatap sekitar ruangan yang tampak begitu gelap. Lampu-lampu di berbagai sudut sudah hampir dimatikan semua. Karena takut salah injak, Laura memutuskan menghidupkan senter.
Aman. Batin Laura saat tak mendapati siapa pun di sana.
Dengan langkah tergesa-gesa, Laura berlari dengan kedua kaki yang berjinjit menuju kamarnya. Sesekali Laura terus memanjatkan doa, berharap semuanya lancar sampai dirinya tiba di dalam kamar.
Dan, sepertinya Tuhan memang sedang berpihak pada Laura. Sesampainya di kamar dan menutup pintu dengan perlahan, tidak ada tanda-tanda akan orang tuanya.
"Akhirnya bisa bernapas lega!" Gumam Laura, kemudian menyalakan lampu kamar.
Lagi-lagi Laura dibuat bernapas lega. Padahal, dia sempat curiga jika orang tuanya tengah bersembunyi di dalam kamarnya. Namun ternyata, semuanya tak lebih hanya ketakutannya belaka.
Untuk menghancurkan bukti, Laura bergegas mandi untuk menghilangkan aroma alkohol dan rokok yang melekat di tubuhnya. Walau sejatinya Laura tidak minum, terkadang tubuhnya ikut terpapar aroma dari alkohol, pun dari asap rokok yang paling dominan.
Tak hanya mandi, Laura pun mulai memasukkan pakaiannya ke dalam mesin cuci.
Malam ini, Laura tidak akan membiarkan siapa pun mengetahui jika dirinya baru saja keluyuran dari sebuah bar remang-remang.
...****...
"Laura! Buka pintunya! Mama tahu kamu di dalam! Laura!" Suara teriakan yang diiringi dengan gedoran kasar di balik pintu, membuat Laura mengerang dalam tidurnya.
Ketika mencoba membuka mata, pukul tujuh pagi tertera gamblang di dinding kamarnya. Pikir Laura, hari ini adalah hari sabtu, ngapain mamanya teriak-teriak?
"LAURA!" Nada teriakan mamanya terdengar meninggi. Dengan sangat terpaksa, Laura pun bangkit dari tempat tidur. Kedua bola matanya setengah terpejam.
"Laura! Kamu denger Mama nggak!?"
"Iya, bentar. Lagi mau buka kunci." Laura menepuk kedua pipinya secara bersamaan. Dirasa kesadarannya mulai terkumpul, barulah Laura membuka kunci. Belum sempat dirinya menarik knop pintu, pintu itu langsung dibuka dengan begitu tidak sabaran oleh mamanya.
"Anj*r!" Laura menggerutu spontan saat jidatnya dengan tidak aestetik membentur daun pintu.
"Laura! Semalam kamu ke club 'kan?" Saras, selaku ibu kandung Laura, bertanya dengan nada yang membentak.
Bukannya merasa takut, Laura malah menguap seraya menggaruk belakang kepalanya.
"Enggak." Ucapnya, santai.
"Bohong! Kamu kira Mama nggak tahu? Kalau bukan karena Liora yang ngasih lihat video live kamu sama temen-temen kamu semalam, Mama juga gak akan marah-marah hari ini!" Saras semakin membentak Laura.
Sungguh, kepala Saras rasanya sudah mau pecah gara-gara kelakuan putri sulungnya yang tidak pernah bisa berubah.
"Ck, dia ngaduin apa lagi?" Tatapan Laura berubah menusuk. Sejatinya tatapan itu bukan ditujukan pada Saras, melainkan pada Liora yang jelas memang tidak ada di tempat. Laura hanya refleks, karena dirinya yang sudah terlalu benci pada Liora, adiknya yang hanya berjarak dua tahun dengannya.
Plak!
Sebuah tamparan telak Saras layangkan pada pipi Laura. Amarahnya kian menggunung saat Laura terus saja menjelek-jelekkan Liora.
"Ngadu? Liora ngadu sama Mama juga gara-gara kelakuan kamu sendiri! Coba kalau kamu hidup kayak Liora! Mama gak akan tuh ngelarang-larang kamu. Sudah berapa kali Mama ingatkan, jangan berteman dengan para gadis berandalan itu! Mereka bukan anak baik-baik! Dan lagi, kamu masih berhubungan 'kan sama Si Eric? Tadi malem kamu diapain aja sama dia? Diper*wanin, iya? Suka jadi perempuan malam? Kamu itu-"
"SETOP!" Laura balas membentak, sehingga menghentikan cercaan Saras yang belum selesai diucapkan.
Air matanya luruh seiring dengan hatinya yang terus tergores karena mamanya yang lagi-lagi membandingkan Laura dengan Liora.
Liora, Liora dan Liora!
Soal teman dan pacar yang Laura pilih? Laura tidak merasakan apa-apa. Laura tahu betul jika mereka bukanlah orang-orang baik, tetapi Laura nyaman berada di lingkaran ini.
"Aku mohon, Mama keluar dari kamar aku!" Tanpa membahas lebih panjang, Laura menunjuk pintu keluar teruntuk mamanya. Sedikit pun gadis itu tidak melirik pada mamanya yang juga merasakan sakit hati yang teramat sakit.
"Mama tuh sayang sama kamu! Tapi kenapa kamu kayak gini?" Saras menatap putri sulungnya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Enggak, Mama tuh nggak pernah sayang sama aku, yang Mama sayang itu cuman Liora, LIORA! Sekarang Mama keluar, aku pengen sendiri." Tekan Laura, membuat Saras tidak dapat berbuat apa-apa selain pergi meninggalkan putrinya.
...****...
Di sebuah kamar kost dengan pencahayaan minim, Eric diam-diam terkekeh sarkas disela menyesap rokoknya. Tatapan nyalang kemudian jatuh pada Anne yang tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur.
Ingatan Eric tiba-tiba melayang pada hal-hal yang membuatnya kurang puas selama melakukan itu dengan Anne.
Otak gilanya dengan tanpa permisi membayangkan wajah Laura, padahal sudah jelas bahwa perempuan yang tengah melakukan hubungan malam dengannya adalah Anne, salah satu teman dari pacarnya sendiri.
Sial! Pasti semuanya gara-gara Laura! Si gadis sok jual mahal yang membuat Eric kian tertantang untuk segera menjamahnya.
"Ck! Gue balik. Pilihan gue tetep pengen Laura!" Pungkas Eric, lalu mematikan ujung rokoknya. Kemudian memakai kembali seluruh pakaiannya yang tergeletak di lantai kost-kostan Anne.
...****...
Saat ini, tepatnya di ruang keluarga, Laura tengah berusaha diintrogasi oleh papa dan mamanya. Sedangkan Liora, adiknya, gadis itu sedang mengurung diri di kamar.
Bukan tanpa sebab Liora memilih mengurung diri. Itu semua dia lakukan semata-mata karena sebelumnya, Laura memarahi dan membentaknya karena telah mengadukan dirinya yang pergi ke bar semalam.
Padahal, niat Liora sebenarnya baik. Dia ingin menyadarkan kakaknya, namun sepertinya, Liora salah memilih cara.
"Papa bener-bener kecewa sama kamu Laura!" Ditya, selaku papa kandung Laura, akhirnya bersuara setelah cukup lama beliau terus terdiam meratapi wajah Laura.
"Tujuan kamu berbuat seperti itu sebenarnya buat apa? Kamu mau balas dendam sama kami?" Laura masih tetap diam, sebanyak apa pun papanya terus bersuara.
"Minggu depan mulai sekolah 'kan? Pokoknya Papa gak mau tahu, mulai besok kamu akan tinggal di rumah Omah Sonya dan Opah Galih. Bukan untuk seminggu, tapi satu semester. Kalau sampai bulan januari nanti ketika Papa kembali menjemput kamu, tapi kamu masih tetap seperti ini, jangan harap kamu kembali ke rumah ini! Mengerti?"
"Papa bercanda 'kan?" Sungguh, Laura tidak ingin dikirim ke rumah Omah Sonya dan Opah Galih. Selain karena mereka tinggal di sebuah desa yang kumuh akan pesawahan dan perkebunan, di sana juga lumayan susah sinyal. Dan Laura benci itu!
"Ngapain Papa bercanda? Sekarang, kemasi barang-barang kamu, besok juga Papa suruh Pak Anto anterin kamu ke rumah mereka!" Putus Ditya, pada akhirnya. Dirasa selesai, Ditya bangkit dari sofa, meninggalkan istrinya pun putri sulungnya yang terdiam memaku dengan raut wajah memelas.
Saras menghela napas panjang. Ketika dia hendak bangkit, tangannya langsung ditahan oleh Laura. "Mah! Tolong Laura, Laura gak mau tinggal di desa!" Untuk pertama kalinya, Laura memohon pada Saras.
Dan sialnya, hal itu membuat Saras iba, sungguh! Tetapi, semua orang di keluarganya tahu seperti apa Ditya. Dia adalah orang yang keras. Jika sudah memutuskan sesuatu, jangan harap seseorang bisa mengubah keputusannya.
"Maafin Mama! Kamu tahu sendiri Papa kamu. Mama harap dengan keputusan Papa kamu saat ini dapat membuat kamu berubah menjadi jauh lebih baik lagi."
^^^To be continued...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Ghania-chan
barang murah emang cepet laku
2023-09-23
2