Saat mobil yang dikendarai Adnan hendak memasuki gerbang perumahan, saat itu juga motor yang dikendarai Kaluna keluar. Adnan berhentisejenak sebelum memutuskan mengikuti. Membuntuti dari jarak aman agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sampai akhirnya dia melihat kendaraan yang diikuti berhenti di pelataran salah satu rumah makan.
"Kebetulan yang benar-benar kebetulan," gumam Adnan menyungingkan senyum. Turun dari mobil, Adnan lebih dulu merapihkan penampilan. Tiba-tiba di tersenyum merasa geli sendiri kemudian melanjutkan langkah memasuki rumah makan.
Setiap meja hampir tidak ada yang kosong. Adnan masih celingukan mencari orang yang merasa dia kenal. Entah lagi-lagi kebetulan atau tidak, dia melihat Luna melambaikan tangan. Spontan Adnan melakukan hal yang sama. Dengan penuh percaya diri dia melangkah mendekati meja Luna.
"Ayah!" Seruan itu membuat Adnan semakin melebarkan senyum. Apalagi saat Vano terlihat berlari ke arahnya.
Sayangnya senyum itu tak bertahan lama. Saat ternyata Vano berlari melewati dirinya yang sudah merentangkan tangan.
Adnan menoleh ke belakangan di mana ada laki-laki dan perempuan yang tersenyum hangat menyambut Vano.
Di depan sana dia melihat senyum tipis di bibir Luna. Sepertinya perempuan itu puas melihat dirinya merasa malu. Untung saja tidak ada pengunjung gabut yang memperhatikan Adnan.
Tidak ada lagi niat untuk menghampiri. Adnan membalik badan membawanya ke dalam mobil. Mobil itu mulai melaju dan berbaur bersama kendaraan lain.
***
Perlahan mata Adnan terbuka saat sorot lampu kendaraan mengenai wajahnya. Dilihatnya orang yang dia tunggu akhirnya datang. Namun anehnya perempuan itu pulang seorang diri. Entah di mana Vano.
"Luna tunggu!" Adnan cekal pergelangan tangan yang hendak menutup pintu itu. Dia tidak peduli dengan tatapan tajam dari pemiliknya.
"Maaf, Pak. Saya harus masuk, harus istirahat juga." Luna menatap sejenak pada mata Andan lalu mengalihkan tatapan pada tangan yang masih dipegangi pria itu.
"Maaf... maaf. Vano mana?" Dia benar-benar menujukan rasa cemas. Dia yakin Vano tengah bersama dua orang yang tadi dia lihat di rumah makan. Namun yang dia cemaskan adalah takut kalau anak itu ternyata bukan anak dirinya seperti kata Luna.
"Bukan urusan anda." Luna menghentak tangan hingga cekalan di tangannya lepas. Buru-buru dia masuk dan menutup pintu. Tak peduli Adnan akan menunggu atau pulang. Itu bukan urusannya.
Di luar, Adnan mendongak menatap langit gelap tanpa bintang. Kilat petir sesekali terlihat, rupanya malam ini akan turun hujan. Akan tetapi dirinya tidak berniat pulang.
Benar saja, rintik hujan mulai berlomba-lomba menyentuh bumi. Menyejukan tanah yang kering karena kemarau panjang. Namun tidak menyejukan panas bara yang membakar hati. Meski begitu dia tetap menunggu di dalam mobil.
"Hai!" Adnan melambaikan tangan saat melihat Luna mengintip dari celah gordyen.
"Dasar keras kepala," decak Luna saat dia masih melihat mobil Adnan ada di sana. Dia pun mematikan lampu dan naik ke pembaringan lalu tidur. Dengan harapan semoga besok dia tidak lagi melihat Adnan berkeliaran di sekitarnya.
Benar saja, saat pagi tiba dan hangatnya matahari pagi mulai terasa, mobil Andan sudah tidak terlihat lagi. Luna pikir pria itu kapok, kesal, marah atau apalah. Dia tidak peduli. Yang penting hari-harinya tidak terganggu karena keberadaan Andan. Dengan semangat empat lima dia memulai hari dengan memasak dan mencuci. Kemudian duduk di depan mesin jahit dan mulai mengerjakan beberapa pesanan.
Ponsel yang tak pernah jauh darinya terlihat berkedip. Luna pikir itu dari Aas karena semalam Vano ingin ikut mereka tapi yang dia lihat ternyata nomor baru.
"Halo selamat pagi," sapanya ramah saat benda pipih itu mulai ditempelkan ke telinga. "Iya betul. Ada yang bisa saya bantu? ... Oh boleh ... Ya nanti siang bisa. Kita akan bertemu di mana? ... Oh baiklah saya akan datang tepat waktu."
"Alhamdulillah calon pelanggan," kata Luna semangat. Tentu telepon dari calon pelanggan baru membakar semangatnya berkali lipat. Hingga pekerjaan yang kemarin terbengkalai, bisa di selesaikan hari ini tepat pukul sebelas.
***
Motor luna berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Sekali lagi dia cek ponsel dan mencocokan alamat yang dia terima dari calon customer yang menghubunginya tadi pagi. Tidak salah lagi, dia memang harus datang ke kantor ini.
Setelah menyimpan motor di tempat parkir, Luna menghampiri petugas resesionis yang menyapanya ramah.
"Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya sudah punya janji dengan Ibu Gisha. Beliau meminta saya untuk datang ke kantor ini." Luna menunjukan isi pesan percakapannya dengan orang yang bernama Gisha.
"Oh Ibu Gisha, anda Ibu Luna?"
"Benar."
"Ibu Gisha sudah menunggu Anda di lantai lima belas. Silahkan naik menggunakan lift di sebelah sana."
Luna menaiki lift yang ditunjuk petugas resepsionis tadi. Menekan angka 15 hingga lift berndeting dan pintu terbuka di lantai tujuan.
"Ibu Luna?" Seorang perempuan cantik, menghampirinya. Tubuhnya yang ramping dibalut pakaian formal membuat wanita itu terlihat berkelas di mata Luna. "Mari ikut saya."
Langkah mereka berhenti di depan pintu yang bertuliskan ruangan CEO. Gisha mempersilahkan Luna duduk sementara dia pamit mengatakan akan menyediakan minuman lebih dulu.
Duduk di sebuah ruangan yang memiliki desain cantik nan elegan. Mata Luna tidak berhenti mengagumi keindahannya. Luna tenggelam dalam kekaguman yang membuat dirinya tidak menyadari kehadiran seorang pria yang dia hindari. Suara orang berdehem jelas membuat dia terkejut. Sekarang Luna dapat melihat Adnan tengah bersandar di dinding dekat pintu. Menatap ke arahnya dengan posisi kedua tangan tenggelam di dalam saku celana. Tidak ada lagi perempuan bernama Gisha yang seharunya dia temui.
"Anda?" Luna tekan rasa kesal agar tidak berteriak.
"Ya, saya," jawab Adnan santai.
Dia mendekat, semakin dekat sampai Luna merasa ini adalah ancaman terbesar dan paling menyeramkan yang ia hadapi. Tubuhnya menegang, saraf dalam tubuh seperti di hentikan saat itu juga. Tangan mendadak tak bertenaga hanya untuk menjauhkan tubuh Adnan darinya. Seperti de javu. Luna benci jika mengingat hal itu.
Hembusan nafas lega terdengar dari Luna saat Adan menjauhkan tubuhnya. Pria itu duduk di sofa dengan bibir yang terlihat puas. Kemudian mengangkat tangan dan mempelihatkan benda yang baru di ambil dari Luna beberapa saat lalu.
"Ponselku?" Luna meraba saku dan tasnya namun jelas tak menemukan benda itu karena kini ada di tangan Adnan. "Tidak sopan," dengus Luna hendak mengambil kembali ponsel tersebut.
"Tenang Luna, ponsel ini akan saya kembalikan. Duduk! kita harus bicara. Sekarang kamu tidak bisa menghindar lagi." Hanya dengan cara seperti ini Adnan dapat menahan dan bicara dengan Luna. Sebab jika menunggu hati Luna melunak itu seperti dia menunggu bintang jatuh. Tidak ada yang tahu kapan waktunya.
"Pak, Anda sangat keterlaluan."
"Benar, saya sangat tahu itu, tapi kamu terlalu keras kepala membuat saya harus mengambil jalan ini. Sekarang katakan aoa yang ingin saya ketahui dari kamu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments