"Ibu ayo," teriak Vano girang saat akan berangkat ke sekolah. Sistem belajar yang hangat dan nyaman membuat dia senang dan jarang rewel saat dibangunkan untuk sekolah. Vano selalu terlihat ceria dan riang karena akan bermain bersama teman-temannya.
"Ok ayo," balas Kaluna yang menyusul dari dalam dan mengeluarkan motor. Helaan nafas kasar terdengar saat dia berbalik dan melihat pria yang beberapa hari lalu mendatanginya dan sekarang datang lagi. Mendekat ke arah mereka. "Apa saya masih punya urusan dengan Anda, Pak?"
Kali ini Kaluna tidak lagi menahan rasa tidak nyamannya. Dia sampaikan itu secara prontal. Didukung dengan ekpresi yang terlihat kesal atas kedatangan Adnan.
"Jelas, urusannya adalah kamu pura-pura tidak mengingat saya," kata Adnan bersedekap menghalangi jalan mereka. Bahkan menjegal motor yang hendak dinaiki oleh Vano.
Wajah yang cerah ditambah tersorot sinar matahari pagi semakin memancarkan pesona. Menggoda iman para perempuan muda yang melihatnya. Tetapi tidak dengan Kaluna. Perempuan itu justru tampak jengah.
"Kalau seperti kata Anda saya pura-pura. Lalu keuntungan untuk saya apa?"
"Karena kamu tidak ingin apa yang kamu sembunyikan diketahui oleh saya. Iya kan?"
Lengkung di bibir Kaluna membentuk senyum sinis. "Saya tidak punya urusan dengan Anda. Tolong beri saya jalan." Kaluna mendudukan Vano pada kursi khusuk untuk anak agar nyaman saat berkendara menggunakan motor.
"Satu lagi, saya merasa tidak menyimpan rahasia apa pun dari Anda. Karena kita tidak pernah saling mengenal." Kalimat itu diucapkan sebelum Kaluna benar-benar pergi meninggalkan Adnan yang mematung di tempat.
***
Untuk menjawab rasa penasaran, Adnan kembali mencari tahu tentang Kaluna pada orang-orang terdekatnya. Kata mereka selama Kaluna tinggal di komplek perumahan ini tak pernah melihat pria yang katanya suami Kaluna.
"Jadi dia pindah ke sini seorang diri?" Lagi Adnan bertanya.
"Waktu itu berdua sama perempuan seumuran dengan Mbak Luna tapi hanya beberapa bulan saja. Setelah itu tak terlihat lagi, Pak."
Jawaban itu semakin menguatkan dugaan kalau Kaluna memang berbohong tentang ucapannya waktu itu. Setelah mengucapkan terima kasih, dia masuk ke mobil dan meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah menyusul Kaluna ke sekolah Vano.
"Luna!" Adnan bergegas turun.
Luna menoleh sekilas. Tak berniat menemui Adnan yang memanggilnya.
"Luna kita harus bicara." Adnan cekal tangan Luna yang hendak melajukan motor. "Ikut! atau saya teriak memberi tahu mereka kalau kamu mencuri sesuatu milik saya."
Bibir Luna memang tak pernah tersenyum manis pada Adnan. Bibir yang merah alami itu selalu tersinggung sinis sejak Adnan mendatanginya.
"Lepas!" tatapan tajam itu mneyorot Adnan yang menggelengkan kepala. Pria itu pantang melepaskan sesuatu sebelum mendapatkan apa yang dia kejar.
"Oke." Luna menyerah dengan harapan setelah ini Adnan tidak lagi mengejar. Cerita masa lalu biarlah menjadi kenangan usang yang akan habis dimakan rayap hingga tak bersisa. Luna capek jika harus menggar atau mengenang kembali kisah pahit yang pernah dialami.
Sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah Vano menjadi tempat pilihan untuk mereka bicara. Kafe yang biasanya digunakan sebagai tempat nongkrong para ibu atau suster yang menjemput anak-anak pulang sekolah.
Adnan tak melepas tatapannya pada Kaluna yang justru terlibat gusar karena dia tak kunjung bicara.
"Jadi mau membahas apa lagi?" Suara Luna terdengar ketus.
"Kenapa kamu berbohong?"
Kini Luna menatap tajam lawan bicaranya, "Tentang apa?"
"Suami kamu yang sudah meninggal."
Terlihat jelas di mata Andan perempuan itu melengos.
"Anda masih mencari tahu tentang saya," kekeh Luna.
"Kamu tinggal di perumahan itu sudah lima tahun. Usia Vano beranjak lima. Itu artinya kamu pindah ke perumahan saat kamu sedang mengandung dia. Tapi yang jadi pertanyaan. Anak siapa Vano? Tetangga kamu bilang tak pernah melihat suami kamu sama sekali. Apa Vano anak saya?"
Luna tertawa pelan, "Anda merasa begitu? Memangnya kapan Anda menabur benih di rahim saya?"
Helaan nafas kasar dengan usapan kasar pada wajah dilakukan Adnan. Dia tak menyangka Kaluna yang dulu merupakan perempuan lugu kini jadi perempuan berani.
***
Usai membantu Vano mengganti pakaian sekolah dengan pakaian santai. Luna kembali duduk di mesin jahit yang menjadi pekerjaan selama ini. Dia tumpukan tangan disusul wajah yang menelungkup. Pria itu datang lagi, gumamnya.
Sesak dalam dada yang tak pernah mengurai bahkan melebur, selalu datang saat dia mengingat momen pahit dalam perjalanan hidupnya.
Enam tahun yang lalu, tepatnya saat berusia delapan belas tahun dan baru lulus sekolah. Dia datang ke kota membawa harapan yang tinggi. Tekadnya ingin bekerja agar bisa kuliah. Dia tidak ingin mengandalkan biaya dari orang tuanya dan menjadi beban. Kala itu dia berpikir mudah tapi pada kenyataannya butuh usaha yang besar untuk mendapatkan hal tersebut.
"Aku akan bekerja dan pulang menjadi sarjana." Kalimat itu pernah dia ucapkan pada orang tuanya yang tinggal di pedesaan. Kalimat itu juga selalu menjadi cambuk agar dirinya tidak mudah menyerah.
Usia yang masih remaja, belum memiliki pengalaman apa pun. Di tambah susahnya mencari pekerjaan yang menggunakan ijazah SMA, membuat Luna menerima pekerjaan apa pun. Kata dia selama itu menghasilkan uang halal maka dia akan bekerja dengan baik. Yang penting tujuannya tercapai. Tawaran untuk bekerja di rumah pun dia terima.
Malam itu di rumah majikannya tampak ramai. Beberapa bulan bekerja di sana dia sudah hafal beberapa kebiasaan orang kaya. Salah satunya berpesta sampai pagi. Tentu dalam pesta yang disajikan bukan hanya sekedar teh atau kopi. Karena Teh atau kopi tidak membuat mereka yang berpesta menjadi lupa daratan.
Kaluna juga mengenal beberapa teman majikannya yang sering datang ke rumah. Salah satunya Adnan yang katanya saat itu adalah pria beristri. Adnan selalu datang seorang diri. Katanya istrinya sibuk.
"Na, bawain ini ke lantai atas ya," titah majikannya yang diangguki langsung oleh Kaluna.
Buru-buru Kaluna kembali ke lantai bawah setelah mengantarkan permintaan majikannya. Aroma alkohol yang menyengat benar-benar membuat dia tidak nyaman.
Kaluna tak pernah menunggu sampai pesta selesai. dia dijinkan istirahat lebih dulu. Sebab saat pagi dia pasti repot membereskan sisa pesta. Sekitar pukul tiga, Kaluna terbangun karena tenggorokan yang terasa kering. Dia keluar kamar menuju dapur.
"Hah!" Kaluna berjengkit kaget saat melihat seorang pria dengan tatapan yang menyeramkan. Bau alkohol masih tercium saat pria itu mendekat. Memepet tubuh Kaluna hingga bersandar pada meja pantry.
Kaluna bergidik saat tangan pria itu menyentuh pipinya. Wajah yang sangat dekat membuat dia merasakan hangatnya nafas Adnan menyentuh wajah.
"Kamu cantik sekali." Suara Adnan terdengar berat. Di matanya terlihat kabut gairah.
Kaluna mendorong tubuh yang semakin menghimpit dirinya. Dia teriak tapi tidak ada yang datang menolong. Tak dapat dihitung berapa kecepatan Andan saat pria itu membawa tubuhnya masuk ke dalam kamar dan mengungkungnya. Membuat dirinya tak sempat menghindar dan melarikan diri. Malam itu menjadi malam paling mengerikan bagi Kaluna
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments