Setelah kejadian malam itu, Kaluna selalu dilanda rasa takut. Takut jika Adnan datang lagi, takut jika pria itu kembali melakukan hal yang sama. Yang paling dia takutkan adalah bisa Adnan yang akan membuat perutnya membuncit selama sembilan bulan.
Tak bisa dibayangkan bagaimana marahnya mereka yang menjadi orangtua saat mengetahui anak permpuannya hamil di luar nikah. Saat itu Kaluna hanya berharap hal yang dia takutkan tidak terjadi. Karena pada siapa dia akan meminta bantuan. Adnan sudah jelas tidak akan bertanggung jawab. Bahkan malam itu setelah melepas hormonnya laki-laki itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Bahkan hanya sekedar ucapan terima kasih.
Kaluna sendiri tidak berani menceritakan itu pada majikannya. Ada jarak antara dirinya dengan sang majikan. Bagaimana mungkin dia bisa meminta bantuan pada mereka. Apalagi Adnan sangat dekat dengan majikannya. Mereka akan lebih percaya teman ketimbang pembantu.
Hari itu dan beberapa hari kedepannya di rumah hanya ada Luna seorang diri. Dia dititpkan untuk menjaga rumah selama sang pemilik pergi berlibur ke luar negeri.
Dia yang baru selesai mencuci piring menoleh ke pintu pintu karena bel yang berbunyi. Saat menoleh pada layar yang menampilkan yang ditangkap CCTV dia tahu kalau yang datang adalah Adnan.
Sempat ragu untuk menemuinya, tapi ini adalah kesempatan emas agar dia bisa meminta pertanggung jawaban. Enak saja Adnan dilepas begitu saja tanpa tanggung jawab. Terlalu enak bagi pria itu.
Saat pintu di buka dan tatapan mereka bertemu, Adnan bersikap biasa. Dia tahu ada CCTV di area itu.
"Pak Kamil dan keluarga sedang tidak ada di rumah, Pak," kata Kaluna.
"Saya tahu," balas Adnan santai. Dia masuk dan mendorong tubuh Kaluna ke arah yang tidak bisa dijangkau CCTV.
"Pak!"
"Diam! Saya hanya perlu bicara sama kamu." Sorot tajam itu membuat Kaluna menunduk.
Sebuah amplop coklat ditarik keluar dari saku celana Adnan dan diberikan pada Kaluna.
"Bawa uang ini lalu pergi dari sini. Itu cukup untuk mengganti apa yang saya ambil dari kamu malam itu," kata Adnan datar.
Kaluna hanya menatap lawan bicaranya. Sakit dalam hatinya membuat dia tak mampu mengeluarkan kalimat yang sudah dia susun dalam otak sejak tadi. Ini terlalu menyakitkan.
"Kamu tidak akan menuntut saya untuk menikahi kamu. Kejadian malam itu murni karena saya khilaf. Saya tidak akan menghianati istri saya untuk yang kedua kali. Pergilah! Urusan dengan Kamil itu akan jadi urusan saya."
Dengan perasaan berkecamuk, Kaluna pergi membawa uang yang diberikan Adnan. Dia tidak menampik uang itu meski tidak cukup untuk membeli harga dirinya. Namun betapa bodohnua jika uang saja tidak dia terima. Sama saja dia memberkan hal itu cuma-cuma. Uang yang diberikan Adnan juga tidak sedikit.
Dia tidak menangis namun hatinya memang teramat sakit. Niat dan mimpi untuk menjadi lebih baik terkubur bersama langkah yang membawa dia naik ke dalam bus. Dia pulang dengan tangan kosong. Bahkan lebih buruk dari saat dia datang.
Sampai rumah dia disambut hangat oleh ayah dan ibunya. Mereka tidak mempermasalahkan Kaluna yang menyerah. Iya yang mereka tahu Kaluna menyerah. Bapak dan ibunya masih membesarkan hati dengan mengatakan bahwa sukses tidak harus selalu di kota. Sikap mereka tidak berubah pada saat itu. Namun sering waktu sikap mereka berubah saat tahu putrinya hamil.
Pagi itu rumah kecil mereka heboh karena Kaluna yang muntah-muntah sejak subuh. Bapak yang khawatir putrinya sakit langsung memanggil bidan. Ya petugas kesehatan yang paling dekat memang hanya bidan.
"Sering seperti ini setiap pagi?" tanya Bidan bernama Yulis itu pada Kaluna.
"Baru-baru, Bu. Mungkin masuk angin." Kaluna memejamkan mata saat bidan itu tersenyum. Dia takut apa yang akan disampaikan bidan adalah hal yang tidak dia inginkan.
"Jadi Neng Luna teh sakit apa, Bu?" tanya Ibunya Kaluna yang terlihat khawatir.
"Mual muntah seperti ini memang biasa terjadi pada ibu hamil, Bu. Tidak usah khawatir seiring pertubuhan mualnya akan hilang."
Dan benar saja apa yang dia takutkan terjadi. Kaluna menunduk. Selama bidan itu masih di rumah dia aman dari amukan bapaknya.Tapi saat bidan itu pulang jelas Kaluna haus siap menghadapi tatapan marah dan kecewa dari kedua orang tuanya. Derai air mata sang ibu benar-benar pukulan keras bagi dirinya.
Aib seseorang akan menyebar cepat ketika berada di kampung. Kecepatannya bisa mengalahkan kencangnya motor balap. Setiap hari Luna harus melihat ibunya yang menangis diam-diam di belakangnya. Seharusnya mereka marah dan menampar Kaluna, sakitnya tidak seberapa dari pada sakit saat didiamkan dan melihat mereka menangis sembunyi-sembunyi.
Pak, Bu maafkan Kaluna. Seharusnya ini tidak terjadi. Bapak sama Ibu pasti kecewa tapi aku takut untuk cerita sama kalian. Aku akan pergi agar Bapak dan Ibu tidak menanggung malu atas perbuatanku. Sekali lagi maafkan aku.
Selembar surat Kaluna tinggalkan di atas bantal. Malam itu dia meninggalkan rumah dengan bantuan Aas. Saat itu pergi adalah hala terbaik menurut Kaluna.
***
Adnan bersandar di balik kursi kerja sambil menatap hasil tes kesehatannya. Dia memang mengalami masalah pada sistem reproduksinya tapi dokter tidak memvonis dia mandul. Dia mengalami kelebihan protein yang mempengaruhi kualitas sperm4. Bukan berarti mandul.
Dokter juga mengatakan bahwa kemungkinan memiliki keturunan itu ada. Asalkan cairannya ditabur di rahim yang kuat.
Bibrinya tersungging saat mengingat anak yang bersama Kaluna. Dia yakin itu adalah anaknya dan sikap Kalung merupakan sebuah benteng pertahankan diri. Apalagi dia pernah menyakitinya.
"Senja!" Dia memanggil asistennya ke dalam ruangan.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Kamu sudah menikah?"
Pipi Senja langsung menghangat dan menciptakan merah merona alami saat mendengar pertanyaan itu. Dengan senyum merekah dia menjawab pertanyaan atasannya. Ini yang dia tunggu-tunggu. Semoga saja kali ini atasannya mengajak dia menikah. Dia tidak akan berpikir dua kali jika itu terjadi.
"Belum, Pak."
"Tapi ada anak kecil di rumah kamu atau keponakan?"
"A-Ada, keponakan, Pak."
"berarti kamu tahu apa yang disukai anak-anak." Adnan bangkit dan mengenakan kembali jas yang tadi di simpan digantungan khusus. "Ikut dengan saya."
Kalau boleh saat itu juga Senja ingin berteriak meluapkan rasa bahagia yang sulit digambarkan. Akhirnya atasnya mengajak dia jalan. Senyum Senja tak pernah surut saat Adnan membawanya ke sebuah mall.
"Kamu tunjuk saja apa yang biasanya disukai anak-anak. Saya akan membelinya," kata Adnan menoleh pada Senja.
Hal itu semakin yakin kalau Adnan akan mendekati keluargannya menggunakan keponakan. Dia jadi gemas kenapa tidak langsung saja diutarakan. Toh dia tidak akan menolak.
Semua yang ditunjuk Senja dibeli oleh Adnan. Senja sampai melongo karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Kini barang-barang itu sudah ada di dalam mobil Adnan.
"Banyak banget, Pak." Senja menoleh ke belakang di mana berapa mainan besar yang masih terbungkus dan tentunya mahal itu berada.
Adnan menoleh dan bergumam, "semoga dia menyukainya."
"Pasti, Pak. Dia pasti menyukainya.
Mereka kembali ke kantor. Senja tidak sabar untuk segera pulang. Dia yakin kalau Adnan akan mengantar dirinya pulang.
"Senja!" Adnan kembali memanggilnya ke dalam ruangan. "Saya akan pulang cepat. Kalau ada jadwal meeting kamu bisa atur ulang jadwal."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments