Ketenangan tak pernah Adnan rasakan lagi setelah bertemu wanita itu di pesta minggu lalu. Hampir setiap malam wanita itu datang dalam mimpinya. Sehingga setiap bangun tidur Adnan akan selalu cemas dan berkeringat.
Dia lirik ponsel yang disimpan di atas nakas. Sampai hari ini dia belum mendapat kabar dari orang suruhannya untuk mencari tahu tentang wanita itu. Mereka perlu bertemu lagi sebab Adnan merasa ada hal yang dia lewatkan bersama perempuan itu.
Setelah mengusap wajah secara kasar, Adnan bangkit dan menyambar handuk. Lima belas menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar. Bersamaan dengan itu ponsel di atas nakas berdering. Yang ditunggu akhirnya menghubungi lebih dulu.
"Iya yang saya tahu dia tinggal di Bandung. Heem ... kosong? ... Oh Oke."
Setelah memutus panggilan, Adnan langsung membuka aplikasi mobile bangking dan mengirimkan sejumlah uang sebagai bayaran pada orang yang tadi menghubunginya. Kemudian dia sendiri bergegas memakai pakaian, merapikan rambut serta menyemprotkan parfum. Setelah rapi dia turun ke lantai satu dan menyambar kunci mobil.
Kini mobil yang dia kendarai sudah bergabung bersama kendaraan lain yang lalu lalang di jalan raya. Tujuannya adalah kantor. Ya meskipun tentang wanita itu sangat penting untuk saat ini. Namun tanggung jawab sebagai pimpinan perusahaan tak bisa dibuat main-main. Aturan yang dia buat bukan hanya untuk mereka yang bekerja di bawahnya. Tetapi dirinya pun harus ikut serta mentaati.
"Pagi, Pak," sapa Senja dari balik meja kerja.
Adnan mengangguk sebagai balasan, pria itu tetap fokus pada tujuan utama.
"Ah Senja!" Adnan yang tadi sudah menghilang di balik pintu kembali mundur menemui Senja. "Jadwal saya dari makan siang sampai sore apa?"
"Sebentar saya cek dulu, Pak." Senja membuka catatan agenda kegiatan Adnan. "Jadwal dari makan siang sampai sore, kosong, Pak. Tapi jam sembilan Anda memiliki jadwal pertemuan dengan Peter Kang, Pak."
"Oke." Senja sudah biasa mendapat jawaban singkat seperti itu. Dia yang berharap banyak pada sang atasan lagi-lagi harus menelan kekecewaan. Adnan tak pernah melirik dirinya sebagai seorang wanita. Padahal dirinya juga cantik, bodynya seksi. Itu bukan pujian dari diri sendiri melainkan dari beberapa orang di sekitarnya. Termasuk karyawan kantor.
***
Mobil putih milik Adnan berhenti di depan pintu gerbang sebuah perumahan. Dari nama yang tertera jelas memang sama dengan apa yang di kirim oleh detektif swasta yang dia sewa. Dia pun turun dan bertanya pada satpam untuk memastikan.
Setelah mendapat jawaban dan benar alamat yang dia tuju ada di komplek ini, Adnan kembali ke dalam mobil dan diiizinkan masuk. Dengan syarat meninggalkan kartu identitas.
Cukup lama mobil yang dikendarai Adnan berputar-putar pelan di jalanan komplek. Rumah yang dia cari masih belum juga ditemukan. Dia kembali menghentikan mobil kembali bertanya pada warga yang saat itu tak jauh dari tempatnya. Dengan sukarela orang yang ditanyai menunjukan rumah yang dia cari.
Sebuah bangunan minimalis namun terlihat elegan kini ada di depan mata. Alamat nomor rumah sama dengan alamat yang dia dapat tadi pagi.
Adnan sudah mengetuk pintu beberapa kali tapi tak mendapat sahutan dari dalam. Namun dia yakin rumah itu tidak kosong. Sebab televisi di dalam rumah itu terdengar menyala.
"Permisi!" Adnan kembali mengetuk pintu untuk kesekian kalinya. Tak lama terdengar sahutan dari dalam. Orang yang dia cari muncul setelah pintu terbuka. Perempuan cantik seperti yang dia temui di pesta malam itu. Bedanya saat ini dia tengah memakai pakaian kebesaran khas ibu-ibu. Daster serbaguna.
"Iya, cari siapa ya?" perempuan itu bertanya setelah tadi terlihat terkejut.
"Ibu, handuknya mana?" terdengar suara anak kecil yang mendekat. "Ah malu," seru anak kecil itu menutupi bagian tubuhnya dan bersembunyi di balik tubuh sang ibu saat sadar ada orang lain di sana dan dirinya tidak menggunakan handuk karena baru selesai mandi.
"Sebentar ya, Pak. silahkan duduk dulu." Adnan dipersilahkan duduk sedangkan si pemilik rumah membawa putranya masuk ke dalam kamar. Memakaikan pakaian serta minyak telon pada putranya.
Tak sampai sepuluh menit, perempuan itu kembali menghampiri Adnan beserta anak kecil yang sudah rapi dan wangi. Yang membuat Adnan tersenyum adalah sikap anak kecil itu yang menghampiri dan mencium punggung tangannya dengan takdzim.
"Vano, tunggu sebentar di sana ya. Om ini ada perlu sebentar sama Ibu."
"Iya, Ibu. Em tapi aku boleh makan pisangnya?"
"Boleh ambil aja, tapi makannya sambil duduk ya."
Anak kecil itu berlari ke arah dapur dan kembali dengan dua pisang di tangan. Dia langsung duduk di depan televisi dan menikmatinya.
"Dia anak kamu?" tanya Adnan yang sejak tadi memperhatikan tingkah Vano.
"Iya, namanya Vano. Maaf kalau tadi tidak sopan pada Anda," jawab perempuan itu merengkuh.
"Bukan masalah. Kamu cukup pintar mendidik dia. Suami kamu di mana?"
"Ayahnya Vano sudah meninggal," jawab perempuan itu tersenyum tapi kelihatan sekali bahwa dia tidak nyaman. Apalagi ketika Adnan seperti menguliti dirinya. Memperhatikan begitu inten dari atas ke bawah. "Jadi siapa yang anda cari, Pak?"
Adnan mengerutkan kening, "Kamu gak ingat saya?"
Ibunya Vani terlihat berpikir, tak lama wajahnya berubah ceria. "Ah kalau tidak salah anda orang yang sama dengan yang ketubruk anak saya waktu di pesta ya. Ya ampun saya baru ingat. Sekali lagi saya minta maaf ya pak. Anda sampai repot-repot mencari kami ke sini."
Gelengan kepala terlihat jelas meskipun pelan dilakukan oleh Adnan. "Berhenti pura-pura Kaluna. Saya tahu kamu adalah Kaluna seseorang di masa lalu? Kenapa kamu ada di pesta pernikahan Meta malam itu?"
Lagi-lagi kerutan di kening perempuan yang dipanggil Kaluna itu terlihat. "Anda sampai mencari tahu nama saya," kekeh Kaluna menggelengkan kepala, "Kalau soal pesta ya jelas karena saya memenuhi undangan. Apa setiap orang yang datang ke pesta itu anda datangi seperti sekarang?"
Rahang Adnan terlihat mengeras, "Kaluna," geramnya. "Berhenti berpura-pura seperti tidak mengenal saya. Ayo selesaikan apa yang terjadi di masa lalu. Itu kan tujuan kamu muncul di hadapan saya."
"Maaf, Pak sepertinya Anda salah orang. Saya memang Kaluna tapi saya merasa tidak mengenal Anda. Apalagi memiliki urusan dengan Anda. Jika memang sudah tidak ada lagi yang perlu di sampaikan silahkan Anda pulang. Saya masih ada pekerjaan." Kaluna berdiri di ambang pintu, mempersilahkan Adnan Keluar.
Sebelum bangkit Adnan menatap lekat anak kecil yang tengah menikmati pisang sambil menonton tayangan kartun. Kemudian tatapannya beralih pada Kaluna yang berdiri angkuh di ambang pintu.
"Kamu yang datang kembali ke kehidupan saya. Maka jangan harap kamu akan bisa lari begitu saja," kata Andan menatap lekat manik mata Kaluna yang membalas tatapan tajamnya.
"Anda sepertinya sakit." Kaluna mencibir memperhatikan pria di hadapannya dari atas ke bawah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments