Ardi tampak iba pada Ghifa, tak menyangka sosok di depannya ini terlihat begitu menyedihkan.
" Bang, jangan terlalu memaksa. Jika tak mampu menyerah tidak apa-apa, "
" Ah..... Tak ku sangka, menyedihkannya diriku yang sekarang" Keluhnya begitu putus asa.
Ardi membiarkan Ghifa mengeluh, meski tanpa solusi setidaknya dia bisa meluapkan isi hatinya.
" Bang, kenapa ngak ngomong aja sama om Hamdan, dia pasti bantu masalah ini "
Ghifa menatap tajam Ardi, " Ah, sudahlah. Lebih baik bangkrut saja, " jawabnya tak menerima saran Ardi.
Keduanya saling terdiam, bingung hendak berkata apa. Suara obrolan santai para pengunjung lain sedikit terdengar, kesenyapan kedua pria itu masih berlanjut hingga seseorang menghampirinya.
" Ngopi dulu, biar agak asik " dua cangkir kopi hangat tersaji.
" Makasih Bro, lain kali aku bayar sendiri, " Ardi tertawa.
Tama hanya menggeleng, kemudian ikut bergabung duduk di meja suram itu.
" Kusut amat Bang, kenapa?"
Ghifa tak menanggapi pertanyaan Tama, bocah rusuh yang tak jauh beda dengan Ardi. Kadang dia hanya mempersulit keadaan.
" Biasa, terlalu banyak rekomendasi calon istri. Lagi butuh yang bisa mengerti pakai hati, " tawa Ardi berhasil menyinggung Ghifa.
" Gak lucu, Ar"
Sedikit demi sedikit Ghifa mulai ikut pembicaraan amburadul dua temannya. Jika tidak ada mereka mungkin saja Ghifa sudah depresi sejak dulu. Mereka memang cukup pandai membuat mood nya sedikit membaik.
***
Di ruang pribadi ayah dan bunda Ghifa, keduanya sedang berbincang kecil mengisi waktu luang sebelum istirahat malam. Nia teringat ucapan putranya yang masih begitu mengganjal di hatinya, dan berniat bercerita dengan suaminya ini.
Dia tampak tak lelah, sedari tadi ia juga asik menyimak semua cerita keseharian dirinya. " Yah, Ghifari udah nemu calon" ucapnya di sela obrolan mereka.
Hamdan menoleh pada sang istri, meneliti kesungguhan ucapannya " Nemu di mana?" tanya ia tak percaya.
" Bunda berpikir dia tidak seriusan yah, masa iya dia menyebut Raba sebagai calon istri. Terlalu mudah untuk di tebak kan yah, dia itu bohong. Atau dia hanya ingin pura-pura menikah. Selama ini dia tidak dekat dengan Raba " Nia tak tahan dengan kegundahan hatinya.
Hamdan ikut berpikir, dia tau persis sifat anak sulungnya itu. Sama seperti dirinya tidak mudah berpaling dan kekeh dengan pendirinya. Hamdan tak menyangka jika kisah percintaan dan perjalanan hidup Ghifa bisa sepahit ini.
" Lihat saja dulu Bun, siapa yang tau soal rasa, bisa jadi mereka memang saling cinta selama ini. Harusnya bunda seneng dong, berarti Ghifa sudah sembuh dari keterpurukan, dua tahun Bun. Masa iya dia belum lupa sama Sovia?"
Apa yang di katakan sang suami ada benarnya. Jika Ghifa telah membuka hati pada Raba, itu adalah kabar baik. Dia juga tidak perlu lagi repot mencarikan Ghifa istri. Nia menganggukkan kepalanya pelan.
" Amara sudah tau?" tanya Hamdan lagi.
" Belum Yah, bisa kabur dari tempat dia nyantri jika tau soal ini, "
Putri kesayangannya itu sedang berada di pesantren, sejak lulus dari kuliahnya dia meminta di pondokan. Meski sedikit berat, ayah dan bundanya itu akhirnya merestui permintaan Amara. Dia akan pulang jika sempat, katanya di pondok itu sibuk, tak ada waktu untuk pulang.
" Kita tunggu saja, Ghifa bersungguh-sungguh atau tidak dengan ucapannya." putus Hamdan menutup perbincangan.
Nia tau jika suaminya ini tetap perduli dengan Ghifa, meski setiap bertemu terus saja bertikai. Ghifa yang keras kepala dan ayahnya yang juga tak mau mengalah. Terbukti jika mereka berdua bahkan sampai bersaing di bidang usahanya. Yang muda ngotot pengen punya usaha sendiri dan yang tua tak perduli jika tak mau mengikutinya.
Nia di tinggal tidur, suaminya itu sudah terlelap sejak dia berhenti bertanya.
***
Ghifa pulang di saat orang tuanya sudah terlelap. Menghabiskan kopi buatan Tama, pemilik Kafe sekaligus barista nya membuat pembicaraan sederhana mengalir begitu asik. Teman-teman nongkrongnya itu tak pernah menelisik kehidupan pribadi, hanya saling dukung tanpa mencampuri masalah masing-masing.
Selama ini hanya Ardi yang mengetahuinya lebih dalam, sebab selain teman dari kecil juga persahabatan sang ayah dan om Agus ayah Ardi. Ghifa juga cocok dengan sosok Ardi yang santai dan selalu mendukungnya.
Ghifa membuka pintu kamarnya, menyalakan lampu dan melepas switer hitamnya. Merebahkan tubuhnya di tengah ranjang. Menatap langit-langit yang tak begitu menarik.
Ghifa mengingat sosok Raba yang ternyata tak langsung menyetujui permintaannya, dia sudah terlanjur mengatakan pada sang bunda. Semakin rumit saja semuanya.
Ghifa menghembuskan nafas, tak tau harus berkata apa pada dirinya sendiri yang begitu kacau. Dia bangkit, memutuskan mandi sebelum tidur. Jika kedua orang tuanya tak begitu mengkhawatirkan keadaanya yang di anggap menyedihkan ini, Ghifa mungkin tak perduli dengan sosok istri atau pun kehidupan berumah tangga lagi. Baginya kegagalan dua tahun lalu bukan hanya sekedar cerita yang kemudian berlalu. Dia entahlah, tak bisa lagi bercerita.
Raba, iya dia. Setidaknya hanya dia yang bisa membuatku merasa tenang tanpa harus mengatakan baik-baik saja pada bundanya. Setelah mandi, kantuk belum juga menghampiri matanya. Bingung hendak melakukan apa, pria berusia tiga puluhan lebih sedikit itu berdiri di pinggiran balkon kamarnya mencari semilirnya angin yang mungkin saja bisa menenangkan hatinya.
Lelah berdiri, Ghifa kembali ke dalam kamar, mencoba berbaring memaksa terlelap. Tak lama terdengar notifikasi, pesan masuk ke ponselnya.
Mas, Minggu besok Am pulang
Jangan bilang bunda ya....
Pesan dari sang adik, dia tersenyum. Dari dulu adiknya ini sangat manis dan manja Ghifa bisa terhibur meski dengan melihatnya saja.
Mas jemput ya
Ghifa menunggu apa yang sedang di tulis oleh adiknya itu.
Tidak perlu,
Am janjian sama Raba
Ghifa melotot. Dia berpikir apa gadis itu akan menceritakan semuanya pada Amara. Dengan tergesa ia membalas pesan Amara.
Jam berapa kalian bertemu
Cukup lama Ghifa menunggu, dan sepertinya Amara telah keluar dari room chat nya. Ghifa sedikit gelisah takut Raba menceritakan semua pada Amara.
Mencoba mencari cara bagaimana menghubungi Raba, tetapi hanya bingung yang ia rasakan. Nomor telpon tak ada, alamat sosial media dia juga tak mengetahuinya, jika tau pun rasanya tak enak harus mengatakannya. Lagi pula di pertemuan terakhir dia masih sangat marah dan tersinggung karena permintaanya.
Malam semakin larut tapi Ghifa masih saja sibuk dengan pikirannya, kali ini sepenuhnya berpusat pada Raba. Bukan apa-apa Ghifa tentu akan semakin repot jika adiknya itu mengetahui niatnya, bundanya saja tak percaya apalagi dia. Terlebih dia satu-satunya orang yang tak bisa ia bohongi sama sekali.
" Oh Raba, bantu aku kali ini saja"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Lasmi Aisah
😂😂😂
2023-10-20
1