RABANIA My Wife
" Mas Ghifa kan?"
" Iya, kamu...?"
" Raba, sedang apa disini?"
Ghifa tampak mengamati, gadis yang baru saja menyebutkan namanya itu tersenyum. Ghifa melihat dari atas hingga ujung sepatu, dia mencoba memastikan dengan ingatannya yang kadang-kadang mendadak hilang.
" Ah benar kamu Raba, bisa bicara?" ucapnya, setelah melihat sudut bibir yang terangkat, Ghifa menemukan ciri khas sahabat adiknya. Lesung di pipi sebelah kanan.
Raba tampak heran, " Saya harus pergi ke suatu tempat. " jawab Raba, dia melihat jam tangan kecil di pergelangannya.
Ghifa berpikir sejenak, sudah satu jam lebih dia menunggu Raba di sini. Halaman sekolah menengah pertama tempat Raba bekerja. Tentu saja Ghifa tak mau menunggu dengan percuma.
" Akan ku antar, kemana kamu akan pergi. Kita bisa berbicara di mobil"
Raba terlihat tambah bingung. Ada apa dengan kakak sahabatnya ini, lama tak pernah bertemu dan tiba-tiba muncul di tengah hari yang terik dan mengajaknya bicara. Meski enggan, karena iba melihat wajah rupawan itu berkeringat, Raba menyetujuinya.
" Baiklah,"
Ghifa bergegas membukakan pintu untuk Raba. Raba cukup merasa curiga dengan sikap aneh pria dewasa di depannya ini.
" Jalan saja, nanti ku beritahu di mana tempatnya, " kata Raba, saat Ghifa bersiap mengemudi.
Ghifa tak menjawab, matanya fokus pada jalan yang sedikit padat.
Keduanya saling diam, menikmati roda mobil yang berkali-kali berhenti di setiap menit, macet seperti biasa. Bunyi klakson yang silih berganti, menemani lima menit yang telah berlalu.
" Katakan Mas, sebentar lagi aku harus turun. Jika tidak, kita bicara lain waktu" Raba menatap Ghifa sekilas, pahatan wajah Ghifa terlalu membosankan jika memandangnya lebih dari satu menit. Kesan yang tak berubah dari pertama kali Raba melihatnya.
" Menikah lah dengan ku, "
Raba kontan melotot, tak percaya apa yang di katakan Ghifa secara tiba-tiba.
" Siapa, maksudnya Mas Ghifa melamar ku?" tanya Raba terbata.
" Ya, anggap saja begitu "
" Tidak ada angin tidak ada hujan, Mas mengajak ku menikah seperti ini ?" tanya Raba masih tak percaya.
Ghifa tampak berpikir, " Bantu aku, ada banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, Bunda terus menjodohkan ku, aku tidak bisa menikah dengan pilihannya, "
" Saya terburu-buru Mas, dan soal tadi kita bahas lain waktu. Saya percaya Mas sedang frustasi dengan banyak hal, jika butuh saran dan teman curhat Raba akan sisakan waktu di akhir pekan ini. Dan terimakasih telah mengantar...."
Raba membuka pintu mobil, menutupnya dengan cepat. Tak sedikitpun menunggu atau sekedar melihat wajah lawan bicaranya.
Dia sedikit berlari, jika di lihat dari tempatnya Raba mengisi les privat di rumah ini. Jika tidak salah ingat Ghifa pernah ke rumah Raba dulu, dan ini bukan alamatnya.
Masih terlihat sosok Raba dari jendela mobilnya, ada rasa kesal karena di abaikan begitu saja, Ghifa mengacak rambutnya asal. Dia kembali teringat perdebatan kecil tadi pagi bersama ayahnya. Hampir setiap di pertemuan ia akan marah dan di marahi oleh ayahnya.
Tak mau langsung pergi, Ghifa menyandarkan punggungnya sejenak. Berusaha mengurai rasa kesal yang kadang muncul secara tiba-tiba. Bosan dengan pembicaraan tentang pernikahan dan keturunan, bosan dengan bujukan sang bunda untuk berkenalan dengan anak teman-temannya. Belum lagi masalah usahanya yang di ambang kebangkrutan.
Radeva Adam Al Ghifari, pria berumur awal tiga puluhan itu sedang pusing memikirkan banyak hal akhir-akhir ini. Dia belum bisa keluar dengan belenggu masa lalu dan kepahitan masa kini nya. Terjatuh dari ketinggian yang hampir menyentuh langit, rasanya ah tentu saja habis asa untuk bangkit.
Dia pikir menyentuh bintang akan menyenangkan, ternyata saat mulai menggapainya ia lupa bumi sangat jauh dari langit. Kebahagiaan yang perlahan ia kumpulkan terhempas begitu saja, apa yang bisa ia lakukan jika impiannya mati.
Ghifa telah mengakhiri masa berkabungnya, kekasih yang menemaninya selama lima tahun pergi begitu saja menuju surga tanpa tanda-tanda. Ghifa tak mampu lagi mendeskripsikan dan menggambarkan betapa porak porandanya hati dan jiwanya saat itu dan sampai saat ini. Orang lain tak kan tau.
Dua tahun telah berlalu, Ghifa masih saja berkubang di duka dan keputusasaan. Hari ini dia berencana mengakhiri cerita yang di anggap pilu oleh banyak orang dan kedua orang tuanya. Jika dengan menikah mereka akan berhenti menggangunya maka dia akan melakukannya.
Tin.... Tin...
Ghifa terkejut, dia tersadar jika sedang parkir di depan pintu gerbang rumah orang. Dia bergegas maju, meninggalkan tempat lamunannya itu. Sempat berhenti, membuka kaca jendela dan meminta maaf sebentar. Sampai ia melajukan mobil itu ke jalanan yang lebih ramai.
***
" Iya bunda,?"
" Pulang lebih awal ya mas, kita ada pertemuan penting hari ini"
" Jika sempat ya bun, masih ada kerjaan"
" Sebentar saja mas, setengah tujuh malam harus pulang ya"
" Iya, "
Ghifa meletakan asal ponselnya di meja kerja, dia tau bundanya sedang mengatur janji dengan anak gadis temannya lagi, seperti kemarin-kemarin.
Tumpukan berkas kontrak, tumpukan proposal, dan dokumen penting yang telah di kembalikan klien, di tolak lebih tepatnya. Entah mengapa kepergian Sovia begitu menyesakan semua perkara hidupnya.
Perusahaan yang ia rintis dengan Sovia juga ikut runtuh perlahan seiring lamanya kepergiannya. Ghifa seolah hilang arah, tak memiliki tempat kembali.
Ponselnya berdering lagi.
" Kenapa lagi Ar?"
" Kita udah habis, tidak ada lagi harapan untuk melanjutkan bisnis ini. Jelas-jelas pemborong telah berpindah tidak menggunakan jasa kita di proyek besar mereka"
" Ah...... Sial. Kenapa bisa begitu?"
" Panjang ceritanya, kita bicarakan nanti"
Telpon dari Ardi teman sekaligus sekretaris nya berakhir. Bertambah menguap emosi Ghifa tak tertahan lagi, ia memukul meja dengan kepalan tangannya. Seolah tak di beri kesempatan bangkit, Ghifa terjatuh begitu dahsyatnya.
Kepalan tangannya mengurai, dia berusaha memikirkan dengan keras agar tak terpuruk seperti ini. Dia sendiri sudah muak dengan situasi yang menyulitkan dan mencekik seperti ini. Dia beranjak dari tempat duduknya, beralih menatap keluar kaca jendela kantornya. Panas mentari yang telah melebur dengan jingga di langit barat, sedikit mengalihkan kepenatan otaknya. Ghifa menarik nafas begitu dalam, menghembuskan perlahan.
" Sovia, aku rindu, "
Ucap Ghifa dalam hatinya.
Puas memandang langit senja, Ghifa memutuskan pulang. Meninggalkan kantornya yang mungkin saja akan segera di tutup. Kenangan terakhir yang mungkin saja tak bisa ia genggam seperti selama ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
hai kak, aku singgah disini semoga kakaknya mau singgah juga di karyaku
2023-12-01
0
Lye
👍
2023-11-17
2
Lasmi Aisah
👍👍
2023-10-17
1