Ghifa duduk di sebelah sang bunda, sejak tadi di kantor dia sudah beberapa kali di minta pulang. Bukan sekali dua kali, hal ini terjadi dan ia sudah bisa menebak kemana arah perbincangan di makan malam ini.
Hamdan menyelesaikan makan terlebih dahulu, mengamati putranya yang masih saja terlihat berantakan setelah patah hati. Ketika suapan terakhir dari Ghifa habis, terdengar ia menarik nafas. " Jadi kapan akan menuruti apa kata Ayah?"ucapnya pada Ghifa.
" Menikah, maksud Ayah ?"
" Ya, menikah itu penting apa lagi kamu sudah begitu dewasa. "
Meski ini bukan pertama kali, Ghifa merasakan kesal setiap kali pertanyaan ini terlontar dari ayahnya. " Menikah lah Ghi, Bunda bantu cari calon istri ya, apa kata Ayah itu benar Nak. Lagi pula, kamu harus melupakan Sovia, sudah cukup kamu menghabiskan waktu untuk mencintainya. Kamu perlu berubah, "
Bagi mereka, mencintai kekasih yang sudah pergi memang tak perlu. Tetapi, baginya kenangan lima tahun bersama Sovia adalah hal terindah yang tidak mungkin ia lupakan. Ghifa diam saja, tidak berniat menyela perkataan keduanya.
" Aku hanya butuh waktu, " jawabnya setelah membisu beberapa saat.
Hamdan menghela nafas lagi, kali ini ia tidak berkata lagi. Dia pergi begitu saja dari meja makan.
" Besok, kita pergi ya. Bunda kasih jalan keluar dari masalah ini, " ucap Nia, kemudian dia juga pergi dari sana.
Di tengah kebingungan dan kekesalannya Ghifa hanya bisa mengacak rambutnya, frustasi dengan tekanan yang semakin menjadi.
Dengan Malas Ghifa mengikuti sang bunda, menemui gadis yang sudah ia duga sebelumnya. Kali ini bundanya tak banyak bicara hanya memberikan isyarat jika gadis ini putri ustazah yang biasa mengaji dengannya.
" Bun, kayaknya Ghifa nggak bisa, " ucap Ghifa memberanikan diri mematahkan semangat sang bunda.
Nia, bunda Ghifa itu berpaling mengamati wajah putranya dengan kecewa, " Kenapa, kali ini gadis baik, Bunda juga menyukainya, dia tidak mirip dengan Sovia kok, jauh sekali bedanya, " ucapnya.
Ghifa terdiam sesaat. Sovia itu jelas berbeda dengan wanita lain, masih saja bundanya membanding-bandingkan. " Bun, bagaimana jika Ghifa ada pilihan lain ?" ucapnya tiba-tiba.
Meski terkejut, sedetik kemudian ia tersenyum, " Bagus jika begitu, tetapi Bunda tak mempercayainya. Sudah bunda saja yang urus, " tegasnya.
" Ghifa serius, "
" Siapa Ghi ? Sudah Bunda saja yang cari ok, " ucap Nia ngotot.
Ghifa berpikir keras untuk hal ini, setidaknya jika ia segera mengatakannya, mungkin saja tidak akan ada masalah tentang desakan menikah yang menyebalkan ini. " Sudah, percayakan pada bunda. Kita berangkat sekarang, " ucapnya saat Ghifa terlalu lama diam.
"Bun... " panggilnya begitu pelan, " Raba, bagaimana jika Raba Bun?" ucapnya lagi tanpa ragu.
Nia berhenti melangkah, mengurungkan niatnya pergi. " Rabania, sahabat Amara ? " tanyanya tak percaya. Dan Ghifa mengangguk.
***
Suara riuh bahagia dan haru dari sekumpulan siswa-siswi SMA yang baru saja melaksanakan wisuda kecil ala mereka, memenuhi halaman sekolah. Mereka saling berpelukan melepas rasa rindu sebelum berpisah.
" Aku janji Ra, bakal ikut kamu kuliah di manapun, aku ngak mau sendiri " ucap Amara pada Raba sahabat nya.
Mereka bahkan tak saling menangis.
" Kamu bisa pilih universitas impian mu, jangan ikut aku, kemungkinan aku tidak di terima di sana, mungkin saja aku bekerja dulu baru lanjut "
" Ah kamu ini pintar Ra, sekali tes pasti di terima. Jika tidak, aku minta ayah kuliah kan kamu juga bersama ku"
" Am, kamu berlebihan. Meski om Hamdan bisa aku tidak akan mau, kita tetap bersahabat meski tidak bersama, tenang lah Am" bujuk Raba lembut.
" Aku tidak menangis karena tidak akan berpisah dengan mu, jika kamu mengatakan begitu aku tidak suka Ra, jangan tolak permintaan ku, "
Raba menggeleng ia tersenyum begitu hangat " Doa kan saja aku lulus tes, dan di terima."
" Tentu Ra, aku yakin itu"
Kedua karib itu meneruskan langkahnya, berniat menemui keluarga mereka yang sedang menunggu. Meski tidak ada acara resmi Raba dan Amara sepakat akan bepergian bersama dengan keluarga mereka, sekedar merayakan kelulusannya.
Kedua gadis sebaya itu bergandengan menghampiri mobil hitam yang terparkir rapi di halaman. Amara yang berhijab dan Raba yang bersanggul rapi. Riasan sederhana ala wisuda anak SMA begitu terlihat, sangat manis dan lucu.
Di balik kemudi hari ini, Ghifa bisa melihat gadis kecil yang sangat di idolakan adiknya dari sudut spion. Matanya bulat, wajahnya cantik dan manis, meski masih sangat muda ia terkesan dewasa di usianya. Ghifa sekilas melihat, sosok Raba dari sebelah sang adik, wajar saja jika Amara begitu menyukainya tentu saja karena sifatnya yang terkesan seperti kakak perempuan padanya.
" Raba, gimana. Mau lanjut kan?" pertanyaan itu datang dari Hamdan.
" Sedang nunggu hasil Om, kemarin tes pertama sudah lulus" jawab Raba hati-hati.
" Syukurlah, Amara juga akan lanjut di sana, dia tidak ingin jauh dari mu katanya" Hamdan tertawa.
" Doa kan saja dia di terima Pak, Raba ini cuma mengandalkan prestasi saja" tambah sang kakek dari tempat duduknya.
" Raba itu hebat Kek, lihat saja dia pasti bisa" Hamdan bahkan menengok kebelakang, mencari sosok Raba yang sedang di puji . Meski tak ikut berlarut dalam pembicaraan mereka, Ghifa bisa merasakan kenyamanan keduanya berteman.
Ghifa tersenyum kecil, mengingat pertemuan pertamanya saat Raba lulus SMA. Sudah bertahun-tahun, tak di sangka ia masih mengingatnya, keyakinan Ghifa semakin kuat menikahinya, dia yang dewasa dan tenang tentu bisa menjadikan teman, atau istrinya meski tak saling mencintai.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
for you🌹, semangat yok🤭
2023-12-01
1
Lasmi Aisah
semangat ya tor
2023-10-17
1