Nerei kecil memejamkan kedua matanya sambil duduk bersila, ia sedang membayangkan energi yang ada pada dirinya. Sambil bercerita, wanita tua memandu Nerei agar bisa merasakan Energi yang ada pada dirinya. Untuk itulah alasan mereka berdua duduk bersila saling berhadapan.
”Dalam catatan kuno, Energi Elemental adalah Energi (Internal) yang tersimpan dalam jiwa seseorang yang menyatu dengan partikel-partikel Elemen (Eksternal) yang tersebar di muka bumi. Keduanya menyatu dan menghasilkan Energi Elemental.” Jelas wanita tua itu pada Nerei kecil yang berada di hadapannya.
“Tahap yang paling awal untuk menggunakan Energi Elemental adalah seseorang harus mampu merasakan Energi yang ada pada jiwa mereka masing-masing. Energi itu tersimpan dan berpusat di pusar. Ketika kau mampu merasakan dan menemukannya, kau selangkah lebih maju untuk bisa menggunakan Energi Elemental. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk memvisualisasikannya dengan baik.” Lanjut wanita tua, mempertahankan ketenangannya dengan sangat baik.
Nerei kecil merasakan sesuatu yang bergerak pada perutnya, tepat di atas pusar. Sesuatu itu tak memiliki warna, bentuk, ataupun berat. Yang ia rasakan hanyalah rasa hangat pada perutnya yang semakin lama semakin terasa hangatnya.
“Sesudah aku menemukannya, apa yang harus kulakukan?” Tanya Nerei kecil dengan jujur, sambil memejamkan kedua matanya.
“Jelaskan apa yang kau rasakan saat ini.” Jawab sang wanita tua.
“Uhmm, ada sesuatu yang menghangatkan perutku. Sesuatu itu tak berwarna, bentuk, atau berat. Seperti awan, namun juga seperti uap. Ah! Tidak, sekarang sesuatu itu perlahan menghilang!” Seru Nerei dengan panik. Ia kehilangan konsentrasi meditasinya sehingga tidak dapat merasakan Energi miliknya lagi.
“Itu artinya kau perlu latihan lebih banyak lagi, Rei! Hahaha!” Wanita tua membuka kedua matanya dan menertawakan Nerei kecil yang memasang wajah sedih dan kesal. Mulutnya yang kecil ia majukan, sehingga membuat pipinya bulat tanpa ia sadari. Wajahnya yang mengalihkan pandangan dari wanita tua membuat kesan yang imut bagi wanita tua itu sendiri. Wanita tua itu pun tersenyum ketika selesai menertawakan gadis kecil di hadapannya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Neneknya sendiri.
Berhari-hari, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, Nerei kecil tak pernah menyerah untuk terus berlatih di bawah bimbingan neneknya. Rambutnya yang sebelumnya pendek sebahu, perlahan mulai memanjang. Hingga pada akhirnya rambut itu ia ikat agar tidak mengganggu latihannya bersama neneknya.
“Sudah siap untuk menguasainya, Rei?” Tanya sang nenek.
“Sudah, Nek!” Serunya. Nerei segera duduk bersila di tanah, dan kembali memusatkan konsentrasinya untuk bisa bertahan lebih lama merasakan Energi miliknya.
Tiba-tiba, sang nenek mengalirkan Energi Elemental miliknya pada tangan kanannya, dan memukul perut Nerei dengan telapak tangan kanannya itu.
“UGHH!”
Nerei terhempas ke belakang dan berguling-guling beberapa kali. Baju latihannya yang sebelumnya putih bersih karena susah payah ia cuci, kini warnanya bercampuran dengan tanah dan rerumputan dan tentunya ia sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Yang kini ia pertanyakan adalah mengapa sang nenek tiba-tiba saja memukul perutnya. Dalam benaknya sempat terpikir bahwa alasannya adalah karena ia kehilangan konsentrasi sejak awal.
Sang nenek menghampirinya dengan berjalan perlahan sambil mengangkat tangan kanannya setinggi dada yang diselimuti Energi Elemental.
“Apa kau bisa melihatnya sekarang, Rei?” Tanya sang nenek, memandang sinis cucunya sendiri.
Nerei mengernyitkan dahinya karena tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tangan kanan sang nenek kini terselimuti oleh energi yang selama ini hanya bisa ia rasa dan bayangkan dari latihan meditasi yang diajari oleh sang nenek. Energi itu tak memiliki warna, bentuk, dan berat. Namun, terasa hangat. Tentu, Nerei bisa merasakan sesuatu yang hangat pada tangan kanan neneknya itu.
“I-itu.., apa itu yang disebut Energi Elemental, nek?” Tanya Nerei menunjuk-nunjuk tangan kanan neneknya dan masih memasang wajah yang kaget.
Sang nenek memejamkan kedua matanya. Ia melepaskan Energi Elemental yang menyelimuti tangan kanannya dengan kehendaknya sendiri sehingga Energi Elemental itu dengan sendirinya menjulur ke ujung jari-jari kemudian menghilang ditelan udara dan lenyap tak bersisa. Nerei yang menyaksikan itu pertama kali, terlihat sangat takjub.
“Jika kau memang bisa melihatnya, maka kau sudah berhasil melewati tahap Pelepasan dalam menggunakan Energi Elemental.” Sang Nenek berjalan mendekati Nerei, memangku kedua tangannya di punggung.
“Pelepasan?”
“Ya. Dengan menyelimuti Energi Elemental pada tangan dominan seorang Elementalist dan menghempaskannya ke pusar yang menjadi pusat dari berasalnya Energi pada tubuh Non-Elementalist, jika berhasil maka Non-Elementalist itu akan menjadi seorang Elementalist. Selamat Rei. Sekarang kau telah menjadi seorang Elementalist!” Jelas sang Nenek sambil menghela napas lega dan memejamkan kedua matanya.
Nerei kecil takjub mendengarnya. Ia berulang kali menatapi kedua telapak tangannya. Perasaan yang senang dan bangga atas latihan kerasnya akhirnya terbayarkan. Kemudian, dia memasang wajah yang penasaran dan membuka mulutnya.
“Bagaimana dengan orang yang gagal?” Tanya Nerei, mendongakkan wajahnya.
Sang Nenek hanya bisa terdiam. Kemudian ia membuka mulutnya dan mengalihkan topik pembicaraan.
“Pelepasan adalah kunci untuk menggunakan Energi Elemental bagi orang yang telah menguasai Energi pada jiwa yang berputar-putar di pusar mereka.” Sang Nenek menyentuh perut Nerei.
“Pusar...” Nerei menyentuh pusar miliknya.
“Apa kau masih ingat terdiri dari apa Energi Elemental yang ku tunjukan tadi?”
“Eh, kalau tidak salah Energi yang berasal dari tubuh kita dan partikel elemen yang bertebaran di muka bumi, kan?” Nerei mengangkat alis kanannya.
“Ya, itu memang benar. Apa kau tahu mengapa kita harus memadukan Energi yang kita punya dengan partikel Elemen yang berterbangan di udara?” Sang Nenek memberikan pertanyaan yang tak mudah kali ini karena terlihat jelas dari sorot matanya yang sinis pada Nerei kecil.
“K-kenapa?” Nerei kecil hanya bisa menelan ludahnya sambil menunggu penjelasan dari sang Nenek.
“Itu karena—“
Nerei pun membuka kedua matanya sambil mengingat-ingat masa lalu dalam benaknya. Ia pun membuka kedua matanya dan menatap Nael.
Nael tak percaya dengan ajakan Nerei, ia mencoba mencari tahu alasan mengapa Nerei mengajaknya bertarung setelah sekian lama tidak melakukannya. Nael menggaruk rambut cokelat runcingnya dengan tangan kiri, dirinya sangat kesal karena tak kunjung menemukan jawabannya. Yang hanya bisa dilakukannya hanyalah bertanya langsung pada Nerei.
Sebelum membuka mulutnya, Nerei sudah terlebih dahulu menyadari gelagat Nael yang gelisah karena menggaruk-garuk belakang kepalanya. Tumbuh dewasa bersama Nael tentu membuatnya menyadari kebiasaan Nael. Nerei pun terlebih dahulu membuka mulutnya.
“Kita akan bahas lebih lanjut mengenai jawaban yang sedang kau pikirkan itu. Ikut saja denganku dulu.” Nerei bergegas menuju pintu kamar.
“Ke mana?” Tanya Nael, dengan setetes keringat di pipinya. Ia berdiri dan mengikuti langkah Nerei dari belakang.
“Sudah kubilang, ikut saja.” Ajak Nerei, melangkah ke tangga. Nael mengikutinya.
Begitu mereka sudah sampai di ruang tamu, Nevaria dan Marei sedang menunggu mereka. Nael terkejut karena melihat mereka berdua, seolah-olah menguping percakapan tadi.
“Ayah? Ibu? Apa kalian berdua menguping?” Tanya Nael, terheran-heran. Mengangkat alis kanannya.
Marei mengalihkan pandangannya ke samping. Ia memejamkan kedua matanya.
“Sebenarnya aku tak suka ini, tapi apa yang dikatakan Rei itu memang benar.” Komentar Nevaria.
Sang Ibu hanya bisa memasang wajah yang khawatir. Pipinya yang mulai berkerut menandakan bahwa yang bisa ia lakukan di usianya sekarang hanya bisa percaya kepada kedua anaknya itu.
“Ayah tak perlu khawatir, aku tak akan kelewatan kok.” Tenang Nerei, berjalan memasuki kamarnya untuk mengambil jaket berwarna abu-abu dengan garis merah di lengannya, yang biasa ia gunakan untuk lari pagi.
Nael menelan ludahnya, karena baru pertama kali ini melihat sosok Nerei yang sangat serius dari yang biasanya. Ketidakdugaannya membuat perasaannya sangat tidak nyaman malam itu.
Nevaria mengeluarkan mobilnya, Nerei menduduki tempat duduk di sebelah ayahnya sementara Nael seperti biasa, mengambil tempat duduk di belakang pengemudi.
Marei menatap mobil berwarna merah yang perlahan meninggalkannya bersama kesunyian malam. Ia berharap agar mereka baik-baik saja setelah kembali nanti. Marei pun kembali berjalan, masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
...****************...
Nael menatap Nerei yang sedang berjalan perlahan untuk mengambil posisi yang tepat di hadapan Nael. Jarak mereka berdiri berhadapan sekitar 5 meter dengan suasana malam yang sunyi. Nevaria mengawasi mereka berdua dari kejauhan dari dalam mobil.
Lapangan kosong dengan dataran rerumputan yang tingginya di bawah mata kaki, adalah tempat yang sangat pas untuk melakukan pertarungan.
Nerei menundukkan badannya dan mengambil rerumputan di sekitar kakinya dengan tangan kanan. Kemudian menatap rumput itu sambil tersenyum kecil, mengingat kenangan masa lalunya.
“Tempat ini adalah tempat berlatihku, saat aku masih kecil, sebelum aku bertemu denganmu.” Ucap Nina, menggenggam tanah dan rumput yang ada di telapak tangannya. Ia melemparkan tanah dan rumput itu ke samping.
“Kau belajar ilmu bela diri dari siapa, Nael?” Tanya Nerei dengan wajah yang serius.
Nael tertegun mendengar pertanyaan yang dilontarkan Nerei.
“A-ayah kandungku mengajariku. Sesekali Kak Julie yang menggantikannya untuk melatihku. Ah, bukan ilmu bela diri yang kudapat. Mereka hanya mengajari dan menyuruhku untuk bermeditasi sambil memperkuat energi elemental yang ada pada diriku.” Jelas Nael, terbata-bata.
“Memperkuat Energi Elemental? Berarti dia berhasil melewati tahap Pelepasan di umur yang belia sama sepertiku. Artinya, Ayah dan kakaknya sudah tahu masuk ke tipe seperti apa dirinya. Karena latihan memperkuat Energi Elemental hanya ditujukan pada tipe Pengubah atau Manipulasi. Tetapi, tipe Pengubah biasanya melakukan latihan fisik walau tidak sebanyak diriku yang merupakan tipe Penguat. Apa ini bisa disimpulkan bahwa Nael adalah seorang Elementalist bertipe Manipulasi? Tidak, masih terlalu awal untuk menyimpulkannya. Tapi, kalau memang benar berarti Nael...” Nerei membatin. Ia mencoba menganalisis kelemahan dan kelebihan lawan bertarungnya.
“Rei... Biar ku tegaskan. Aku tak akan segan-segan padamu begitu kita memulai pertarungan.” Nael memperingatkan Nerei, dalam sudut pandangnya Nerei akan kalah karena terlalu banyak bengong karena memikirkan sesuatu.
Nael melepaskan jaket biru yang ia kenakan, menyisakan tank top hitamnya. Ia memasang kuda-kuda bertarung. Menjulurkan telapak tangan kirinya ke depan beriringan dengan telapak tangan kanannya yang berada di dadanya dalam keadaan terbuka ke atas. Kaki kirinya bersiaga menopang berat badannya sementara kaki kanannya berada di belakang. Melebarkan jarak kaki kanan dan kaki kirinya dengan tujuan mempermudah langkahnya dalam bergerak. Nael memandang Nerei yang masih berdiam diri dan sama sekali belum memasang kuda-kuda bertarungnya.
“Fisik Rei berada jauh di atasku. Yang harus kuwaspadai adalah pergerakan kakinya yang sangat cepat. Serangannya juga sangat berbahaya. Aku sudah sering merasakan tinjunya dan menyadari satu hal yang penting. Di balik serangannya yang mematikan itu, kecepatan pukulan maupun serangan lainnya tidak secepat pergerakan kakinya! Aku bersyukur karena terlalu sering dihajarnya di rumah dan sudah beradaptasi dengan pergerakannya yang sangat cepat itu, haha!” Seru Nael dalam hati, tersenyum tipis hingga giginya terlihat.
Nael mengalirkan energi elementalnya pada kedua tangannya. Ia tak menyangka bahwa dirinya harus bertarung dengan saudara tirinya sendiri. Ia tahu, meski Nerei perempuan, dia adalah perempuan yang tidak biasa karena fisiknya sepuluh kali lipat lebih kuat dari dirinya, yang merupakan seorang laki-laki.
“Kita tak harus bertarung seperti ini, Rei! Kita bisa bicarakan di rumah baik-baik!” Teriak Nael.
Nerei bergeming. Ia sedikit memiringkan tubuhnya ke kanan. Kaki kanannya mengambil jarak yang cukup untuk menjauhi kaki kirinya sebagai tumpuan di depan. Badannya ia rendahkan, untuk memperkuat kuda-kuda kakinya yang ia buka selebar bahunya.
“Berbicara begitu tapi kau sendiri malah jauh lebih siap dariku? Lagipula, kalau sejak saat itu kau mau mendengarkanku, pertarungan ini tidak akan terjadi, tahu!” Seru Nerei dalam hati.
“Apa kau tahu alasan mengapa aku mengajakmu bertarung?” Tanya Nerei. Sorot matanya yang tajam menandakan bahwa perasaannya sedang bercampur aduk.
Nael sudah berulang kali memikirkan hal itu ketika berada di dalam mobil dalam perjalanan menuju ke tempat ini. Sayangnya, ia masih tak tahu jawabannya. Ingin sekali rasanya ia menggaruk belakang kepalanya, tapi itu tak bisa dilakukannya. Karena kedua tangannya kini sedang dialiri energi elemental.
“Kau saja tak mau mendengarkan permintaanku. Jangan harap aku mau memberikan jawaban dari pertanyaanmu itu. Berhentilah bersikap egois, Rei!” Teriak Nael. Rerumputan di sekitar kakinya menari-nari karena pengaruh dari energi elemental yang ada pada kedua tangannya. Energi itu makin membesar. Wajah Nael tertampar angin yang berhembus, ia sudah siap menerima serangan dari Nerei.
Nerei memejamkan kedua matanya. Ia tak tahan berdebat dengan Nael, yang masih keras kepala sejak kecil. Nerei tak menyangka bahwa kalimat awal yang Nael ucapkan yang seharusnya mendeskripsikan sifat Nael itu sendiri, malah dia lontarkan pada Nerei. Nerei pun membuka mulutnya.
“JANGAN MEMUTARBALIKKAN FAKTA, BAJINGAN!!!” Teriak Nerei dengan sangat keras, hingga bergema sampai membuat Nevaria yang berada cukup jauh dari mereka, memasang wajah yang sangat terkejut.
Angin berhembus sangat kencang di sekitar tubuhnya. Sekujur tubuh Nerei pun terlapisi oleh Energi Elemental yang memancar tajam namun sangat menyengat. Nerei bisa melapisi pakaiannya dengan Energi Elemental miliknya. Alasan mengapa Nerei mengikat rambut panjangnya dan melepaskan jaketnya adalah agar ia bisa bergerak dengan bebas dalam pertarungan.
Nael merasakan ada yang aneh dengan pancaran Energi Elemental milik Nerei. Ia meneteskan keringat di pipinya, membelalakkan kedua matanya karena tidak percaya apa yang sedang ia saksikan.
“Apa-apaan Energi Elemental miliknya itu!? Bagaimana bisa dia mengalirkannya ke seluruh tubuh dan pakaiannya!? Latihan apa yang dia jalani selama ini!? Tidak! Yang lebih penting adalah dari siapa dia mempelajarinya!?” Bertubi-tubi pertanyaan menghujani benak Nael. Tak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa Nerei lebih mengetahui cara menggunakan Energi Elemental daripada dirinya. Sekujur tubuhnya bergetar tak karuan begitu pertama kali merasakan luapan energi elemental yang dipancarkan Nerei. “Berengsek! Aku tak tahu bahwa energi elemental bisa digunakan seperti itu!” Lanjutnya, dalam hati.
Nael berniat menjadi penyerang pertama dalam pertarungan ini. Ia memusatkan Energi Elemental pada tangan kanannya sambil mengayunkannya ke belakang sementara tangan kirinya digunakan untuk membidik Nerei yang menurutnya sedang lengah karena terlalu fokus memusatkan Energi Elemental ke sekujur tubuhnya.
“Haaa....HA!” Nael menghempaskan Energi Elemental miliknya ke arah Nerei.
BLARR!
Energi elemental melesat dengan cepat ke hadapan Nerei. Tentunya, Nerei menyadari hal itu. Namun, ia dengan sengaja tidak menghindarinya dan malah menerima mentah-mentah serangan itu.
SPLASHH!
Hempasan energi elemental yang melesat sangat cepat itu tak berarti apa-apa bagi Nerei. Meski serangan itu mengenai wajahnya, Nerei tidak merasakan apa-apa, bahkan luka gores sekalipun.
“TIDAK MEMPAN!?” Nael membatin. Wajahnya yang terkejut membuat dirinya terlihat begitu menyedihkan di hadapan Nerei, yang merupakan seorang perempuan. Dengan gigi yang bergemeretak dan wajah yang emosi, Nael berlari ke kiri untuk melancarkan serangan berikutnya.
“Serius? Tipe Manipulasi sepertimu menerjang tipe Penguat sepertiku?” Nerei mengangkat kedua tangan dan bahunya, memanas-manasi Nael yang sedang mengarah padanya melalui arah kanannya.
“Tipe manipulasi? Apa maksudnya?” Batin Nael sambil berlari, bingung dengan apa yang diucapkan Nerei.
“Kau memang sangat lemah, Nael.” Ucap Nerei dengan pelan, yang secara tiba-tiba berada di kanan Nael. Ia melancarkan pukulan yang mengarah langsung pada wajah Nael.
“Siala—!?”
DUARR!!
...****************...
Nerei kecil membuka kedua matanya. Dengan pandangan yang samar, ia mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Pakaian tidurnya yang berwarna merah sedikit berantakan, terutama kancing pada bagian leher. Rambutnya yang kecokelatan juga tak mau kalah berantakannya. Ia menggosok-gosokan kedua matanya dan mendudukkan dirinya di kasur tidurnya yang beralaskan seprai bergambar meteor.
“Kenapa ribut sekali di bawah?” Nerei membatin, kesal karena tidurnya terganggu.
Nerei kecil berjalan ke arah tangga. Tepat di anak tangga terakhir, matanya yang mencoba beradaptasi dengan lampu ruang tamu yang menyala terang pada tengah malam, ia acuhkan karena tatapan matanya teralihkan oleh anak laki-laki yang seumuran dengannya. Anak laki-laki itu berambut cokelat, sedang terduduk lesu di sofa dengan pakaian tidur berwarna kuning yang sangat mencolok.
Nerei berjalan perlahan mendekati anak laki-laki yang sedang terlelap itu. Ia menatap wajah anak itu dekat-dekat. Nerei menyadari bahwa anak laki-laki itu terlihat sangat gelisah dari raut wajahnya. Anak itu perlahan membuka matanya.
“Kamu siapa?” Tanya Nerei, dengan wajahnya yang polos, menatap wajah anak laki-laki
itu dari dekat.
...****************...
Kepulan debu yang menutupi pandangannya, membuat Nerei risih. Setelah melancarkan pukulan langsung yang mengarah ke wajah Nael, ia tahu bahwa seharusnya pukulannya tepat sasaran. Tapi siapa yang menduga, bahwa Nael berhasil menahan pukulannya dengan kedua tangannya.
Dengan respons yang agak lambat, Nael melompat ke belakang untuk mengantisipasi serangan Nerei yang berikutnya.
“Seperti dugaan, kecepatan serangannya lebih lambat daripada pergerakannya!” Batin Nael, sambil melompat ke belakang. Ia mendaratkan kedua kakinya seperti kuda-kuda sebelumnya. Nael memperhatikan kedua tangannya. “Kalau saja aku tidak memusatkan Energi Elemental ke sini, aku bisa mati dalam sekejap!” Lanjut
Nael dalam hati, menatap Nerei hingga mereka saling bertukar pandang.
“Ada apa? Bukankah kau sendiri yang bilang tak’kan segan-segan melawanku? Tapi malah sebaliknya begini?” Ujar Nerei, mencoba memprovokasi Nael.
“Saat aku menghempaskan Energi Elemental milikku kepadamu, kau mengatakan aku ini tipe Manipulasi..., apa maksudnya?” Tanya Nael dengan wajah yang dipenuhi keringat.
“Kau tahu? Semakin kau bertanya, malah semakin membuatku kesal. HAA!!” Nerei memaksimalkan Energi Elementalnya, dimulai dari sini, ia akan segera mengakhiri pertarungan yang berat sebelah ini.
Nael melompat lebih jauh, semakin ia mundur semakin luas pandangannya untuk bertahan. Ia tahu, bahwa Nerei dapat menggunakan Energi Elemental lebih baik darinya. Dirinya sekarang ini bagaikan kerbau yang berhadapan dengan harimau buas yang kelaparan.
Nerei dengan santainya memperpendek jarak di antara mereka dengan berjalan perlahan. Ia sangat yakin, bahwa dirinya yang sekarang dapat dengan mudah mengalahkan Nael hanya dengan sekali pukulan.
Mau tak mau, Nael memundurkan langkahnya. Mencoba mencari strategi yang cukup untuk membuat Nerei roboh. Ia pun menyadari sesuatu.
“Huh? Kenapa kau berhenti mundur?” Tanya Nerei, heran dengan tingkah aneh Nael.
“Ternyata begitu.” Ucap Nael, mengkonfirmasi apa yang telah ia amati dari lawan yang berada di depannya.
“Sebenarnya aku tak tahu apa yang kau rencanakan, tapi aku akan menyerang mu lagi. Jadi bersiap-siaplah.”
“Gorilla ini.., memang tak setengah-setengah!” Seru Nael dalam hati dengan keringat kecil yang menetesi pipinya.
Nael merapatkan kedua kakinya selebar bahu. Ia menatap, kemudian menyalurkan Energi Elemental pada kedua kakinya sambil memejamkan kedua matanya. Mau tak mau, suka tak suka, ia mengingat kembali latihannya bersama Ayah dan Kakaknya saat kecil dulu. Konsentrasinya yang luar biasa mampu membuatnya
merasakan sensasi Energi Elemental yang menggelora, yang berasal dari Nerei. Sesuai dugaannya, Energi Elemental milik Nerei bertipe api. Ia membuka kedua matanya setelah mengetahui hal itu.
DUAKK!
Tetapi, sayangnya, Nerei membenturkan jidatnya ke kepala Nael tepat di saat Nael membuka matanya.
Benturan yang sangat keras dan cipratan darah yang berasal dari dahinya sudah cukup untuk membuat
Nael roboh. Nael harus mengakui kekalahannya, karena orang yang kehilangan kesadaran dirinya di tengah pertarungan tidak akan pernah disebut sebagai pemenang.
“Berakhir, kah?” Ucap Nerei dengan pelan. Dahinya ternoda oleh darah segar yang berasal dari Nael. Sesuai ekspektasinya, dahi orang yang keras kepala memang sangat keras. Jika bukan karena Energi Elemental miliknya, Nerei tak tahu apa yang akan terjadi pada kepalanya.
Melihat Nael yang tersungkur jatuh tak sadarkan diri membuat Nerei secara terpaksa harus menggendongnya masuk ke dalam mobil. Begitu ia mengangkat tubuhnya, seorang wanita tua dengan badan yang kurus berjalan muncul dan menghampirinya dari belakang. Nerei menolehkan pandangannya ke wanita tua itu.
“Kau benar-benar tidak pandai menahan diri, Rei.” Ucap wanita tua itu. Wajahnya memang penuh dengan keriput, tetapi sorot matanya yang tajam dan tegas mengindikasikan bahwa dulunya ia orang yang tegas dan disiplin. Bekas luka bakar yang membentang di punggung tangan kanannya adalah penghargaan yang ia dapat dari pertarungan di masa lalu. Keningnya yang menonjol lebar mencerminkan kecerdasannya. Wanita tua itu bernama Emily Skia, neneknya Nerei.
“Nenek!?” Teriak Nerei, membelalakkan kedua matanya karena kaget.
“Jaket kalian jangan sampai tertinggal!” Emily melemparkan jaket berwarna merah dan biru, milik mereka berdua. “Cepat bawa Nael ke dalam mobil. Kita harus segera pulang. Semakin larut kita berada di sini, semakin dingin!” Teriak Emily dengan tegas.
“Ba-baik, Nek!”
Nerei segera mengangkat Nael bagaikan sosok pangeran yang menggendong putri yang tertidur, hanya saja perannya terbalik.
“Sesampai kita di mobil, segera balutkan kepalanya dengan perban!” Seru sang Nenek.
Nerei terdiam, mengingat mereka pergi terburu-buru tanpa membawa apa-apa.
“Dan jangan bilang kau mengajaknya bertarung tanpa membawa kotak p3k?”
Nerei hanya bisa menerima omelan neneknya nanti. Untuk sekarang, ia hanya bisa mengalihkan kepalanya saja.
Begitu mereka mendekati mobil yang berhenti, secara kebetulan Nevaria berjalan menghampiri mereka. Reaksinya sama seperti Nerei, kaget melihat Ibunya berjalan di belakang anaknya. Nevaria pun menjalankan mobil miliknya tanpa basi-basi, mengingat bulan yang berada di atas kepala mereka semakin bersinar terang di
kesunyian malam.
...****************...
Nerei membuka kedua matanya. Matanya yang pulas sebenarnya masih menginginkan dirinya untuk kembali tidur, namun hati kecilnya berkata sebaliknya. Ia bangkit dari kasurnya, melakukan peregangan seperti biasanya dan mengikat rambutnya yang panjang sepunggung. Setelah membasuh wajahnya, perasaannya semakin membaik. Meminum segelas air hangat di meja makan saat tak ada orang dengan suasana embun pagi yang tenang, dapat meminimalisir gejala stress berlebih pada pikirannya. Ia pun mengganti baju tidurnya dengan pakaian olahraga seperti celana abu-abu panjang bergaris merah, dan sweater merahnya yang bergaris abu-abu. Mengencangkan simpul tali sepatu, dan melakukan pemanasan di halaman rumah yang dipenuhi tanaman-tanaman rindang yang dirawat sang ibu karena dapat membantu menenangkan hatinya yang mudah terbawa suasana. Lari pagi pun ia mulai sebagaimana biasanya.
Nerei mengambil rute pintas, di mana hal ini tidak seperti biasanya. Hal ini dikarenakan besok adalah hari terakhirnya untuk berada di rumahnya, karena ia sudah memutuskan untuk mengikuti Ujian Seleksi yang diadakan Elementary Academy, sebuah sekolah dengan julukan ‘Tempat Lahirnya Elementalist’ yang sangat terkenal di Navari, negara terkuat di sebelah selatan muka bumi. Sebenarnya ia ingin menikmati hidupnya sebagai orang yang biasa, tetapi seseorang mengganggu kehidupan tenang yang ia dambakan. Seseorang itu tak lain tak bukan adalah Nael Khwarezmi, saudara tirinya.
Ketika waktu berlari paginya selesai, Nerei berencana untuk membujuk Nael kembali untuk berhenti mengikuti Ujian Seleksi itu dan mengajaknya untuk meneruskan studi mereka di sekolah yang biasa, sebab Nael sama sekali tidak memahami dunia yang akan dia geluti nantinya jika masih bersikeras mengikuti Ujian Seleksi itu. Namun, kembali lagi pada Nael, jika ia masih keras kepala, maka Nerei mau tak mau harus mengikuti dan mendampinginya. Karena bagi Nerei, Nael adalah orang yang—
“Rei kecil?” Sapa nenek tua bertopi kebun, sedang menyirami tanaman di depan rumahnya. Rambutnya yang pendek berwarna putih terang dengan keriput di dahi dan pipi tak mengubah niatnya untuk selalu melakukan rutinitas paginya untuk menyirami tanaman rumahnya yang tumbuh dengan sangat baik di halaman rumahnya.
“Ah? Pagi, Nek Polly!” Balas Nerei dengan senyuman.
“Pagi, rei. Hari yang indah untuk lari pagi seperti biasa, ya?” Polly tua membalas senyuman Nerei.
Polly adalah teman dekat Emily ketika muda. Polly muda yang bekerja sebagai penjaga toko bunga saat itu, pernah ditolong oleh Emily muda yang bekerja sebagai Polisi Wanita dalam menangani Kasus Penangkapan Pembunuhan Schrodinger yang lolos dari penjara. Sejak saat itu, mereka sudah menjadi teman dekat.
“Begitulah. Hahaha,” Balas Nerei, tertawa dan menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Ada apa? Kau sangat berbeda hari ini. Raut wajahmu yang mengatakannya. Kalau tak keberatan, kau boleh menyantap teh hangat dengan kue buatanku yang sebentar lagi akan matang.” Kata Polly, meletakan penyiram tanamannya di bawah.
Nerei sebenarnya ingin menerima tawaran Polly, mengingat ini adalah hari terakhirnya bertemu dengan Polly, namun ia tahu bahwa dirinya saat ini tidak bisa membuang waktu karena kesibukannya mengurus barang bawaannya. Meski ada sedikit keinginan di hatinya untuk mencurahkan kegundah-gulanaan perasaannya saat ini.
“Ah, maaf Nek Polly. Hari ini aku cukup sibuk. Mungkin lain kali.” Nerei merapatkan kedua tangannya sambil memasang wajah senyum menolak.
Polly tua tersenyum.
“Kalau kau mengatakan itu, berarti kau sudah menemukan solusi dari masalahmu. Dan yang hanya bisa kau lakukan hanyalah menunggu waktu yang akan menjawabnya, benar kan Rei?” Polly tua memejamkan kedua matanya ketika mengatakannya.
Nerei berdecak kagum. Karena ia dengar dari Emily, bahwa Polly adalah orang yang sensitif terhadap perasaan orang lain. Dan bukan hanya itu, Emily juga mengatakan jika Polly adalah seorang polisi wanita seperti dirinya saat muda dulu, tak terhitung berapa banyak kasus kriminal sulit yang akan berhasil diselesaikannya karena Polly memiliki intuisi dan kecerdasan di atas rata-rata, yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk seorang polisi.
“Kau benar, Nek!” Seru Nerei, mengonfirmasi deduksi Polly tua yang mengejutkan.
“Aku sudah dengar dari Emily, kemarin. Katanya, kau ingin meneruskan jejaknya sebagai Elementalist. Apa benar begitu?” Polly tua bertanya dengan memasang raut wajah yang serius.
“Begitulah! Untuk saat ini, Rei ingin meneruskan harapan Nenek dan mengharumkan nama keluarga kami suatu hari nanti!” Jawab Nerei dengan lantang, namun juga spontan.
Polly tua memasang raut wajah yang tenang, karena ia seperti menatap dirinya saat muda dulu.
“Harapan, ya? Tak ada yang salah dengan harapan, ambisi atau keinginan. Semua orang berhak memilikinya. Tapi Rei, ada yang lebih penting daripada semua itu.” Ucap Polly.
“Lebih penting? Apa itu?”
“Jujur pada diri sendiri.” Ucap Polly sambil menatap langit pagi yang berwarna biru cerah. Hembusan angin yang sejuk menghujani mereka berdua.
Nerei bergeming, membeku beberapa detik. Sekali lagi, ia tertampar fakta yang dilontarkan Polly tua.
...****************...
Nerei terduduk di meja makan, menatap segelas air hangat yang ia letakan. Gelas kaca yang transparan, memantulkan bayangan wajahnya. Ia saling menatap dengan matanya yang berwarna kemerahan. Mata itu menatapnya dengan perasaan yang bimbang. Mata itu sedang memikirkan, bahwa apa yang diucapkan Polly tua tadi pagi menusuk tepat sasaran di hatinya.
Nerei terus tertunduk bengong, masih menatap pantulan sorot matanya dan tanpa sadar bahwa di hadapannya ada seseorang sedang menggeser kursi yang menatapinya dengan pandangan kesal. Ia pun menyadari kehadiran seseorang itu, menatapnya dengan wajah yang bingung. Orang itu menjatuhkan dirinya di kursi yang ia geser.
“Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padaku?” Tanya Nerei, menyeruput gelas di hadapannya.
“Tidak.” Bantah Nael, memalingkan wajahnya dari Nerei. Tingkahnya yang bertopang dagu semakin membuatnya terlihat berbohong.
Setelah menyeruput gelas yang berisikan air hangat dan meletakkannya di meja, Nerei memejamkan kedua matanya.
“Jujur pada diri sendiri, ya...? Mungkin ada benarnya juga. Kalau begitu, langsung frontal saja, kan?” Batinnya. Membuka kedua matanya dan menatap Nael dengan raut muka yang serius.
“Sebenarnya aku tidak ingin kau menjadi seorang Elementalist.” Ujar Nerei, berterus terang. Begitu mendengarkan komentar Nerei, Nael mengalihkan wajahnya pada Nerei. Ia menatap wajah Nerei yang sedang memandangnya dengan wajah yang serius. Baginya, Nerei menatap dan merendahkannya.
“Kau bicara begitu padahal kau sendiri juga mendaftar?” Komentar Nael. Tidak percaya dengan apa yang Nerei ucapkan.
Nerei memejamkan matanya sesaat, menghembuskan napasnya. Ia tahu bahwa untuk menghadapi orang yang tidak peka terhadap orang lain memanglah sulit. Namun ia harus bisa menahan emosinya sebisa mungkin, lagipula ia sudah cukup puas dengan pertarungan lusa malam, meski ia tidak boleh melayangkan pukulannya karena bisa membunuh Nael.
“Kita ini saudara. Kita tinggal serumah, mana mungkin aku tidak tahu. Justru karena aku tahu, makanya aku mengikuti mu.” Jelas Nerei. Nael memasang wajah yang kaget setelah mendengar penjelasan Nerei yang singkat itu. “Sebaiknya hentikan saja niatmu untuk menjadi seorang Elementalist, karena pekerjaan Elementalist itu sangat berbahaya dari apa yang bisa kau bayangkan.” Lanjut Nerei, menyeruput kembali air hangatnya. Ia memejamkan kedua matanya ketika menyeruputnya.
“Maksudmu orang lemah sepertiku tidak pantas untuk menjadi seorang Elementalist, begitu?” Tanya Nael dengan geram. Emosinya perlahan-lahan mulai menggelora karena menganggap Nerei semakin merendahkannya.
“Benar,” jawab Nerei tanpa ragu, sambil memejamkan kedua matanya dengan tenang. Walau sebenarnya ia berusaha untuk menenangkan dirinya ketika menjawabnya.
Sontak, Nael berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekati Nerei. Bibirnya ia dekatkan ke telinga kiri Nerei.
“Bukan kau yang menentukan masa depanku, tapi aku sendiri. Jadi, jangan mengekang ku. Selama ini aku salah mengira dirimu. Kau tak ada bedanya dengan Ayah dan Kak Julie.” Bisik Nael, pelan.
Dengan wajah yang kesal, Nael meninggalkan Nerei seorang diri di dapur. Ia perlahan berjalan menaiki tangga, untuk pergi ke kamarnya. Sementara Nerei tertunduk diam, kembali menatap pantulan mata merahnya di gelas yang berisi air hangat yang ia letakan tepat di hadapannya. Ia sudah menduga jika berbicara frontal, dirinya hanya akan menyakiti orang-orang di sekitarnya.
Nerei meluruskan kedua kakinya, mengangkat kedua tangannya dan meregangkan bahunya di tempat. Nerei menghela napas yang panjang. Terdiam beberapa saat sambil menatap langit-langit dapur.
“Sepertinya aku harus belajar banyak dari Nek Polly, tentang bagaimana caranya memahami perasaan orang lain.” Lanjutnya, dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments