“Ayah! Ibu! Kakak! Kalian di mana? Huuuhuuu...” Isak tangis seorang bocah berambut coklat dengan tersedu-sedu.
Bocah itu menangisi rumahnya yang terbakar. Tak ada siapapun di dalam kamar yang membara itu. Ia memeluk erat sebuah tas kecil berwarna merah dengan hati-hati. Pandangannya yang terhalang genangan air mata, dada yang perlahan semakin berat disertai pandangan yang menari-nari, memperburuk kondisi bocah berumur 7 tahun itu. Bocah itu pun roboh dan tergeletak di lantai, namun pandangannya masih terjaga meskipun mulai memudar perlahan-lahan. Sorot matanya yang lemas menandakan seberapa buruk kondisi tubuhnya. Yang ia bisa hanya memeluk benda kesayangannya itu, karena ia sudah berjanji kepada kakaknya bahwa ia akan menjaga baik-baik benda itu. Pada akhirnya, bocah itu pun menutup matanya. Tergeletak di kamar tidur rumahnya, yang sedang dilahap oleh kobaran api.
Seketika, Nael membuka kedua matanya. Ia mengangkat badannya dan terduduk. Pandangannya yang kosong, menatap cermin dinding yang lebar dengan tinggi yang sama dengannya. Yang ia lihat adalah pantulan dirinya yang mengenakan tank top hitam dengan wajah yang penuh keringat. Rambut runcingnya yang kecokelatan menjadi lurus ke bawah karena cucuran dari keringatnya yang menetes tanpa ia sadari. Ia menghembuskan helaan napas yang panjang sambil melihat ke bawah, betapa basahnya sekujur tubuhnya. Nael menatap telapak tangan kirinya.
“Lagi-lagi mimpi buruk itu. Tapi kali ini tidak berteriak, ya..?” komentarnya, dalam hati. Ia menggaruk belakang kepalanya dan menapakkan kedua kakinya ke lantai. Meregangkan kedua lengannya ke atas dan ke samping sebanyak dua kali dan memutarnya secara perlahan, bergantian dengan kedua sendi tumit kakinya.
“Ah, benar. Seprai dan selimutnya basah karena keringat. Kupikir aku harus menggantinya, agar tidak merepotkan Ibu nantinya.” Nael pun melepaskan seprai serta selimut dari kasurnya yang berwarna biru tua.
Nael berjalan perlahan, mengambil handuk di beranda kamarnya. “Seharusnya aku meregangkan tubuhku di sini,” komentarnya dalam hati, begitu melihat cahaya matahari pagi yang bersinar dengan hangat. Ia berdiri sebentar selama 10 menit di sana, berpegangan pada dinding pembatas beranda kamarnya dan menatap ke bawah di mana orang-orang sedang berlalu lalang menjalankan aktivitas sehari-hari mereka.
Pandangan Nael fokus ke arah orang yang berlari kecil. Orang itu adalah cewek berambut panjang kecokelatan dengan ikatan ekor kuda yang mencolok. Tapi tidak se mencolok ukuran dadanya yang besar. Dada cewek itu memantul-mantul ke atas dan ke bawah. Menyadari ada seseorang yang memperhatikannya, cewek itu menatap
Nael yang sedang memperhatikannya dari balkon kamar tidur di lantai dua. Mereka bertemu pandang, Nael memerah.
“Oh! Kau sudah bangun, Nael!” Teriak cewek itu. Menyapa cowok berambut acak-acakan itu dengan senyuman.
Nael mencoba memandangnya dengan tenang. Ia pun membuka mulutnya.
“Seperti biasa, Gorilla sepertimu bangunnya pagi sekali.” Komentarnya, menanggapi sapaan hangat dengan balasan yang sinis.
“APA KAU BILANG!?” Lantang cewek itu, mengepalkan kedua tangannya dan memasang kuda-kuda bertarung. Ia memposisikan kaki kanannya ke belakang dan tinju tangan kanannya berada di pinggang sementara tinju tangan kirinya berada tepat di depan dadanya. “KALI INI AKAN KU DOBRAK PINTU KAMARMU!” Teriaknya. Cewek itu berlari ke pintu masuk depan dengan cepat.
Dengan perasaan panik yang melanda, Nael segera berlari ke arah pintu kamarnya yang terbuat dari kayu jati dengan warna biru tua. Sialnya, ia terpeleset dan tersungkur ke bawah karena jari kakinya tidak sengaja menyentuh penyangga pintu kaca geser di berandanya. Tapi ia tak menyerah semudah itu. Meski sakit, kakinya dengan segera bangkit dan melangkah ke depan, di hadapan pintu kamarnya. Tangannya berhasil meraih kunci kamarnya yang masih menggantung pada lubang kunci.
Tapi itu semua terlambat.
DRUAK!
Dobrakan pintu dari luar yang menghantam dirinya dengan sangat keras, datang tanpa permisi. Membuat Nael terbentur pintu kamarnya. Nael terpental beberapa langkah ke belakang, terkapar menahan sakitnya dobrakan barusan. Ia menutupi wajahnya yang perih dengan kedua telapak tangannya.
“Ugh! Gorilla itu benar-benar gila! Brengsek, sakit sekali!” Kesalnya dalam hati.
Cewek itu memasuki kamarnya tanpa diundang, mendapati dirinya yang sedang terkapar kesakitan.
“HAHAHA! ITU AKIBATNYA JIKA KAU BERANI MENGEJEKKU!” Teriaknya, dengan semangat membara. Badannya ia condongkan ke depan sementara kedua tangannya berada di pinggang.
Sayangnya, cewek ini tak menyadari keberadaan pria paruh baya yang menatapnya dengan tajam. Badannya yang tiga kali lipat lebih besar darinya membuatnya merasakan nafsu membunuh yang besar dari belakang, ibarat anak kucing yang dipelototi oleh harimau besar.
DUAK!
Nael melepas kedua tangannya dari wajahnya dan melihat cewek itu jongkok karena kesakitan. Cewek itu merintih sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.
“APA YANG KALIAN RIBUTKAN PAGI-PAGI BEGINI! CEPAT MANDI DAN SEGERA SARAPAN KE BAWAH!” Teriak pria paruh baya itu dengan keras.
“Baik...” Jawab mereka berdua, serentak sambil menahan rasa sakit di wajah dan di kepala.
...****************...
Nael masih memegangi hidungnya yang terasa nyeri. Terlihat hidungnya sedikit membengkak berwarna kebiruan, namun rasa sakit di hidungnya itu tidak sebanding dengan nyeri pada hidungnya. Sementara cewek yang berselisih dengannya tadi, masih memegangi kepalanya. Nael meliriknya diam-diam, namun ibunya yang sedang berdiri di hadapannya menyadari lirikan Nael. Sang ibu memeras handuk kecil berwarna putih dengan air dingin pada baskom yang ia letakan di meja.
“Di hari yang sibuk seperti ini pun kalian masih sering berkelahi?” Tanya sang ibu, memandang anak angkatnya dengan heran dan menempeli handuk putih yang ia pegang ke hidung Nael.
“Dia yang memulai Bu. Aku hanya memberinya pelajaran seperti biasa.” Cewek berambut cokelat berponi tail itu membela dirinya. Ia menghentakkan tangannya ke meja. “Dia memanggilku Gorilla!” Protesnya, memandang Nael dengan wajah yang geram.
Pria besar tadi memasuki ruang keluarga dengan gagah.
“HAHAHA! Kalau Rei itu Gorilla, berarti aku adalah Ayah Gorilla! HUAHAHA!” Ayah Gorilla memproklamasikan dirinya sendiri.
“Ugh, dia malah bangga dengan ejekan itu?” Nerei menggerutu.
“Baiklah, Ayah Gorilla bukannya harus berangkat sekarang?” Wanita yang dipanggil Ibu menyela dengan tawa kecil yang menghiasi wajahnya.
Dengan perasaan yang tertahan dan tak bisa ditampung lagi, Nael tiba-tiba berdiri dengan memasang wajahnya yang serius. Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut.
“Paman Neva, Bibi Marei, ada sesuatu yang ingin ku bicarakan serius dengan kalian!” Ujar Nael, mengepalkan tangan kirinya.
“Kenapa tidak nanti saja, Nael? Ayah sebentar lagi mau berangkat ker—“
“Tidak apa. Kantorku tidak seketat itu kalau berurusan dengan waktu. Mari kita dengar anak kita yang satu ini.” Ucap Nevaria dengan tenang. Ia mengambil kursi di sebelah Nael dan menjatuhkan badannya di sana. Sementara Nerei memalingkan wajahnya dari meja sambil bertopang dagu. Sorot matanya mengindikasikan bahwa ia tidak suka pembicaraan yang akan dimulai Nael.
Sebelum mengatakan sesuatu, Nael mengingat sosok pemadam kebakaran yang menggendongnya keluar dari
kobaran api dari kamarnya, 10 tahun yang lalu. Pria itu menerobos semua api dan menerima puing kayu yang berjatuhan di punggungnya. Tak terkecuali pipinya.
Nael menatap bekas luka bakar di pipi kanan Ayah angkatnya itu dengan serius. Ayah angkatnya itu masih memasang wajah yang serius dan penasaran, dirinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin anak angkatnya itu bicarakan.
“Sudah 10 tahun, aku berada di sini. Begitu banyak hal yang terjadi di antara kita berempat.” Nael menatap ke meja. Mendengar hal itu, Nerei memasang keseriusan di wajahnya dan menatap Nael. Ia mulai memahami ke arah mana pembicaraan ini berakhir. Raut wajahnya mengatakan bahwa ia tidak ingin membahas pembicaraan ini. Bibirnya ingin mengungkapkan sesuatu.
“Pertama-tama, izinkan aku mengucapkan TERIMA KASIH kepada kalian bertiga, telah memperlakukanku dengan baik dan menganggap ku sebagai keluarga sendiri!” Air mata Nael hampir tumpah ketika mengucapkan terima kasih, namun berhasil ia tahan dengan baik, meski semua orang di ruang itu menyadarinya.
“Hidup 10 tahun bersama kalian memang sangat menyenangkan, tapi ada hal yang harus kulakukan.
Aku harus menemukan keluargaku. Untuk itu, aku akan menjadi seorang Elementalist! Aku harus pergi dari sini, berkelana mencari mereka dan menanyakan kenapa mereka meninggalkanku bersamaan dengan rumah kami yang terbakar!” Nael menatap Ayah angkatnya itu dengan wajah yang serius.
Neva dan Marei memejamkan mata mereka seolah-olah mereka tahu bahwa kalimat ini akan muncul. Neva dan Marei sudah siap akan hal itu. Sementara Nerei, menggeretakkan giginya, ia tak tahan menahan perasaannya karena sangat menentang hal itu.
Mendengar pernyataan anak angkatnya, Nevaria berdiri dari kursi. Ia memutar badannya dan berjalan memasuki kamarnya. Nael yang memperhatikannya hanya bisa terdiam. Sementara Marei memegang kedua tangan Nael dengan lembut. Sorot matanya mengatakan bahwa ia sangat khawatir pada anak angkatnya. Ia telah benar-benar menganggap Nael sebagai anaknya sendiri, namun tak menyangka bahwa rasa sayangnya pada anak itu
tak bisa membuat anaknya lupa dengan keluarga aslinya. Marei harus bisa menerima kenyataan bahwa mereka tidak ada hubungan darah dan suatu saat nanti akan meninggalkannya. Nael sebenarnya menyadari hal ini, tetapi ia merasakan sesuatu dari lubuk hatinya terdalam. Ia harus menemukan keluarganya dan menanyakan sesuatu pada mereka, mengapa mereka meninggalkannya di dalam rumah yang terbakar itu.
“Tak peduli kau menganggap ku sebagai ibu atau bukan, yang jelas aku akan mendukung keputusanmu, Nael.” Ujar Marei kepada Nael. Memegang erat kedua tangan anak angkatnya itu dengan lembut.
“Apa yang kau katakan, Bu. Ibu akan selalu menjadi Ibu, yang merawat ku selama ini.” Balas Nael. Mencoba menenangkan wanita paruh baya di hadapannya itu.
Marei tersenyum tipis, mendengar ucapan anak angkatnya. Ia pun membawa baskom berisi air dingin yang perlahan mulai hangat beserta handuk kecil dari meja menuju dapur.
Nevaria kembali dari kamarnya. Ia berjalan ke arah Nael sambil membawa sebuah tas kecil berwarna merah pada tangannya. Ia meletakkannya di atas meja secara perlahan, menunjukkan betapa ia sangat menghargai masa lalu anak angkatnya itu. Ia pun duduk di tempatnya semula, sambil melipat kedua tangannya di dadanya.
Nael sangat kaget melihat benda itu. Ia tak menyangka bahwa tas merah pemberian kakaknya masih terjaga dengan sangat baik. Tak mengira bahwa benda ini masih selamat, bersama dengannya pada hari itu.
“Ini.., kukira sudah terbakar saat aku pingsan waktu itu!” seru Nael, kaget melihat tas kecil itu.
“10 tahun yang lalu, di malam hari ketika aku bertugas di Kantor Pemadam Kebakaran Pusat, Kota Navari, aku dan anggota unit ku mendapat panggilan dari seorang gadis yang melaporkan bahwa rumahnya kebakaran. Ia mengatakan bahwa adiknya masih di dalam.” Nevaria mulai bercerita tentang masa lalu Nael.
Nael tertegun, ingin memotong. Tapi ia tahu bahwa cerita ayah angkatnya itu belum selesai.
“Suaranya teriakannya yang nyaring dan panik melalui telepon, membuat kami harus sampai di sana secepat mungkin.” Neva memejamkan kedua matanya. Mencoba mengingat kembali kejadian yang ia alami pada hari itu. Ia kembali membuka mata dan bibirnya, melanjutkan ceritanya.
“Setelah tiba sampai di TKP, tim pemadam berusaha dengan maksimal untuk memadamkan api dari bangunan
yang kami duga adalah rumah si gadis itu. Kami juga mencari-cari adik dari wanita itu ke seluruh ruangan. Aku, Carl, dan James, kami bertiga mencari anak kecil yang dimaksud dan aku menemukanmu di lantai dua yang sepertinya ruangan itu adalah kamar tidurmu, karena aku melihat dirimu yang terbaring tak sadarkan diri dengan mengenakan pakaian tidur sambil memegang erat tas merah yang kecil ini.” Lanjut Neva, melirik tas kecil berwarna merah itu.
“Aku berhasil membawamu keluar meski harus menahan puing-puing kayu yang terbakar sedang menimpa wajah atau badan belakangku. Tapi itu semua tak penting. Keselamatan nyawa korban adalah yang utama, terlebih lagi korbannya adalah anak kecil berumur 7 tahun.” Neva menatap mata Nael. Nael masih memasang sorot mata yang penasaran. Neva pun kembali menatap meja.
“Begitu kami sampai di luar, unit pemadam yang seharusnya sedang menjalankan tugas mereka, menghilang entah ke mana!” Neva melotot, mengisyaratkan bahwa ia benar-benar tak percaya dengan kejadian yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Nael dan Nerei terkejut, membelalakkan kedua mata mereka bersamaan.
“Kemudian, aku melihat seseorang yang mengenakan jubah bertudung dengan warna hitam yang sedang menggendong seorang gadis berkacamata. Wajahnya yang pucat dipenuhi abu dengan rambut yang panjang kecokelatan sudah membuatku yakin bahwa gadis itu adalah kakak dari anak yang sedang ku gendong, karena rambut mereka berwarna sama.” Neva menelan ludahnya sambil mengatakan kalimat yang terakhir.
Nael menatap meja dengan tatapan kosong. Dirinya sependapat dengan Neva, karena deskripsi kakaknya sesuai dengan cerita Neva. Sekilas, ia mengingat senyuman kakaknya, dengan buku yang ia bawa dan kacamata bundarnya. Ia mengalihkan pandangannya kembali pada Neva.
“Orang itu menggendong kakakmu, dan bertanya padaku.” Ujar Neva, menatap Nael dengan sorot mata yang tajam.
‘”Apa kau melihat buku berwarna hitam di dalam rumah itu?’ Tanyanya, seolah-olah rumah yang terbakar itu tak menarik perhatiannya.” Neva mengubah raut wajahnya dengan penuh kekesalan.
“‘Buku? Daripada membahas itu, aku ingin kau melepaskan gadis itu sekarang juga!’ Kataku, menantangnya bertarung. Aku merasakan niat membunuh yang dingin dari sorot matanya yang tajam. Bola matanya yang berwarna merah takkan pernah ku lupakan. Wajahnya tertutupi oleh gelapnya malam sedangkan rambutnya tertutupi mantelnya yang berwarna hitam. Namun, mendengar suaranya yang begitu feminin langsung membuatku sadar bahwa orang bermantel itu adalah seorang wanita tulen. Mungkin sebaya denganku, karena aku bisa membedakan suara dengan cukup jelas karena latar belakangku yang bekerja sebagai pemadam kebakaran. Teriak demi teriakan orang yang sering kudengar di tengah-tengah kobaran api, membuatku bisa mendeskripsikan jenis kelamin, usia, dan keadaan orang hanya dari suara saja.”
“Tapi, ia menghilang secara tiba-tiba beserta gadis yang ia gendong dari pandanganku. Aku sangat panik saat itu. Meski badanku dua kali lebih besar darinya, tak bisa dipungkiri bahwa hanya seorang elementalist yang bisa membuatku ketakutan seperti itu. Yang kutakutkan bukanlah nyawaku yang terancam, tetapi yang kutakutkan adalah nyawa anak kecil yang berada di pangkuanku serta gadis yang ia gendong sedang dalam bahaya. Terlebih lagi, Carl, James dan tiga orang temanku yang seharusnya memadamkan api menghilang entah ke mana, membuatku semakin khawatir.”
“Tanpa sadar dan tak kusangka sama sekali, kepala belakangku dipukul oleh entah siapa. Mungkin orang bermantel itu yang melakukannya. Aku pun roboh. Namun, semangatku yang membara untuk bertahan hidup, lebih besar daripada rasa takutku saat itu. Bagaimanapun caranya aku tak boleh pingsan begitu saja, aku pun berhasil menyeimbangkan kesadaranku kembali. Dengan refleks yang belum tumpul, aku meloncat ke depan dan memutar badanku tepat ke hadapan di mana arah serangan itu berasal.”
“Beberapa saat setelah itu, di hadapanku muncul sebuah cahaya yang sangat terang disertai dengan suara berfrekuensi yang sangat tinggi. Kelihatannya wanita itu ingin membuatku menutup kedua telingaku dan mengalihkan pandangan darinya agar melepaskan dirimu yang sedang ku gendong erat. Aku tahu dia mengincar mu, namun aku berhasil menahan itu semua sampai suatu ketika seorang anak muda berambut acak-acakan kehitaman berdiri di depanku.” Neva mengernyitkan dahinya seolah-olah tak bisa melupakan momen itu menimpa dirinya.
“‘Refleks yang sangat bagus, Pak Tua. Tetaplah lindungi anak itu!’ Teriaknya, sambil membentangkan kedua tangannya seolah-olah melindungi ku dari serangan yang akan diarahkan padaku.”
“’Anak muda! Apa yang kau lakukan!? Cepat menjauh dari sana!’ Teriakku padanya. Tapi sepertinya sia-sia saja. Karena setelah itu sebuah ledakan yang hebat menimpa tepat di hadapan kami. Ledakan yang hebat menghujani anak muda itu. Ajaibnya, kami tidak terluka segores pun.”
“‘Orang biasa tak ada hubungannya dengan ini, kau tahu?’ Komentar anak muda itu. Baru saja kusadari, anak muda itu ternyata memakai kacamata bundar yang sama dengan kakakmu.”
“Kemudian seorang gadis berambut putih berkepang dua dengan mata hijau yang menyala terang, menghampiri kami dari arah mobil pemadam kami. Mata hijaunya yang menatap kami dengan tenang dan menyala terang di malam hari, sangat indah dan membuatku terpukau akan keindahan bola matanya bagaikan batu zamrud.”
“Seperti biasa, selalu gegabah saat dalam mode bertarung. Andai kata pelindungku tidak tepat waktu, bagaimana nasib bapak ini yang menggendong adiknya Julie? Kamu mau bertanggung jawab atas hal itu, idiot?’ tanya gadis bermata hijau itu.”
“Pak tua ini adalah pemadam kebakaran terbaik di kota ini, bodoh! Tidak mungkin dia akan mati semudah itu, apalagi dengan kondisi fisiknya yang luar biasa ini.’Balas pemuda berkacamata bundar.”
“Apa!? Kamu yakin hanya dari penilaian itu saja? Dasar otak udang! Dia bukan Elementalist, dasar idiot!’ Marah gadis bermata hijau itu.”
“Setelah itu, muncul seorang gadis berambut pendek berwarna hitam di belakang gadis berambut putih itu. Bola matanya sangat merah. Kurasa warnanya sama dengan warna batu delima. Mereka bertiga mengenakan baju yang sama. Sepertinya mereka satu sekolah. Dan kurasa, kau sudah tahu seragam sekolah berwarna hitam di kota ini milik sekolah mana. Karena, hanya sekolah itu saja yang mengenakannya di kota ini.”
“Seragam sekolah Elementary Academy!” Seru Nael dengan serius.
Neva menganggukkan kepalanya.
“Kelihatannya anak-anak itu bertarung menghadapinya, singgungan mereka yang mengatakan bahwa aku orang biasa menunjukkan bahwa mereka seorang Elementalist. Dengan berat hati, aku mengikuti saran dari mereka untuk menjauh. Ketika dua gadis itu menghampiri kami, gadis berambut putih itu mengarahkan ku ke tempat yang lebih aman. Dengan berat hati aku mengikuti saran dari mereka untuk menjauh dari wanita bermantel hitam yang berbahaya itu. Dan cerita ini berakhir dengan dirimu bersamaku di Rumah Sakit Navari. Setelah kutahu bahwa keluargamu menghilang tanpa kabar termasuk kakakmu yang bernama Julie, dan satu-satunya petunjuk yang tersisa hanya bertanya pada ketiga anak muda dari Elementary Academy yang menyelamatkanku, aku dengan senang hati mengadopsi mu bersama kami. Lagipula anak kecil seumuran Nerei di sini pada saat itu tidak memiliki teman dan tak ada yang mau berteman dengannya jadi kupikir akan sangat bagus apabila menjagamu di rumah kami.” Neva tertawa kecil sambil menatap anak perempuannya itu. Nerei mengangkat alis kanannya seakan-akan tidak mengakui itu.
“Lalu, ke mana mereka bertiga setelah rumahku terbakar? Mereka teman-temannya Kak Julie, kan?” Tanpa ragu, Nael menanyakan hal itu dengan gamblang.
“Mereka menyembunyikan informasi itu dariku dan sepakat untuk menjauhkan mu dari masalah ini. Sepertinya mereka bertiga masih mengajar di sana. Karena tahun lalu kulihat mereka muncul di TV.” Ujar Neva, memegangi dagunya.
“Itu artinya, aku tak boleh gagal dalam Ujian Seleksi untuk bisa menemukan kebenarannya dengan bertanya langsung pada mereka! Untuk itulah aku berlatih selama ini!” Nael menatap tangan kirinya dan mengepalkannya. Nerei memperhatikannya dengan seksama.
Marei berjalan menghampiri mereka, memberikan dua pucuk surat kepada Nael dan Nerei.
“Karena itu kalian memutuskan untuk mengikuti Ujian Seleksi ini, ya?” Tanyanya sambil memberikan dua amplop surat berwarna putih dengan cap bulat berwarna hitam kepada Nael dan Nerei.
“Rei, jangan bilang kau juga mau ikut!?” Nael membelalakkan matanya setelah tahu Nerei mengikuti langkahnya.
Nerei menghiraukan pertanyaan Nael dan membuka isi surat itu, ia membaca isinya dalam hati. Kemudian dia bertanya kepada Nael.
“Punyaku dinyatakan lolos seleksi administrasi dan masuk ke tahap Ujian Seleksi. Bagaimana denganmu?” Tanya Nerei, menatap amplop milik Nael.
“Punyaku juga lolos. Tapi, kenapa kau ikut juga?” Tanya Nael, heran. Ia tak menyangka, bahwa selama ini Nerei juga mengincar sekolah yang sama dengannya. Tentu ia tahu bahwa Nerei juga ingin menjadi seorang Elementalist dan mendapat dukungan penuh dari Neva dan Marei, hanya saja ia tak tahu bahwa tujuan sekolah mereka sama, padahal dirinya tak pernah memberitahu Nerei bahwa dia akan mengincar Elementary Academy.
Dengan wajah yang tenang, Nerei mengacuhkan Nael dengan berjalan melewatinya. Ia berjalan menuju tangga dengan perasaan yang mengganjal di hatinya. Tak ada yang tahu dari mereka yang berada di ruangan itu, bahwa sebenarnya dirinya tidak ingin hal ini terjadi. Usia adalah musuh terbesarnya, yang mengacaukan kesenangan hari-harinya yang ingin ia jalani selamanya. Hal ini terjadi karena ia sangat membenci perpisahan.
...****************...
Sebulan telah berlalu, Nael masih mempertanyakan keadaan Nerei yang membisu sejak hari di mana ia menyatakan ingin menjadi seorang Elementalist dan mencari keluarganya yang menghilang. Ia mengenakan tank top berwarna cokelat pada malam hari ini. Kebiasaannya yang tidur dengan mengenakan tank top adalah karena untuk membuat dirinya terhindar dari mimpi buruk yang melandanya tiap malam. Nael terduduk di kasur, menapakkan kedua kakinya di lantai dan membungkukkan badannya. Dagunya menempel pada kedua punggung tangannya yang terlipat.
“Keluarga, ya?” Tanya Nael dalam hati. Merebahkan punggungnya ke kasur yang ber seprai putih. Pandangannya menatap langit-langit kamar. Ia meletakan lengan kirinya ke dahi. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah, Ibu dan Kakak? Kenapa mereka tak memberitahu kabar mereka kepadaku? Apa yang sebenarnya mereka coba rahasiakan dariku?” Lanjutnya, terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri dan menenangkan pikirannya dengan mencoba mencari teori kenapa keluarganya meninggalkannya.
Tok tok!
Nael mendengar seseorang mengetok pintu kamarnya.
“Nael, kau masih bangun?” Tanya Nerei dengan pelan dari balik pintu.
“Ya, masih. Ada apa Rei?”
“Boleh kubuka pintunya?”
“Masuklah.”
Nerei membuka pintu kamar Nael yang kokoh itu. Hanya keluarga Skia lah yang menjadi saksi bisu, bahwa Nerei menjadikan pintu itu sebagai benda pelampiasan karena menjadi gerbang penghalang baginya untuk meninju Nael jika Nael membuatnya kesal, dan hal ini bisa terjadi 10 kali dalam sehari. Pintu yang kokoh itu adalah salah satu kenangan menyebalkan namun berharga baginya. Nerei mengusap pintu kamar Nael dengan wajah sedih.
“Ada apa?” Nael membangunkan badannya dari kasur, dan terduduk seperti sebelumnya.
Nerei mengambil kursi belajar Nael yang ada di sebelah kasurnya, dan duduk di sana dengan menghadapkan pandangannya ke Nael. Nerei menghela napasnya dengan panjang. Nael memerah karena area dada pada tank top merah yang dipakai Nerei membesar begitu dia menghela napasnya.
“Cewek ini, benar-benar punya dada yang besar!” Komentar Nael, sambil memalingkan wajahnya ke samping dengan segera.
“Apa kau mau bertarung denganku sekali sebelum kita berpisah?” Tanya Nerei dengan sorot mata yang serius.
“Hah?”
Nael membelalakkan kedua matanya dan memasang wajah herannya tanpa ragu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments