Pipipipip. Pipipipip. Pipipi—
Clek!
“Hoahhm....Ck. Hah! Sudah jam segini rupanya.” Ujar Nina, menatap jam wekernya yang menunjukkan pukul enam pagi.
Dengan tank top biru dan celana ketat abu-abu yang pendek, gadis berambut hitam yang pendek sebahu ini pun terbangun dari tidurnya yang kacau. Kantung matanya yang hitam memperjelas hal itu. Gadis itu terduduk sepuluh detik tanpa berpikir apa-apa, menjatuhkan punggungnya tanpa merasa bersalah sedikitpun kepada alarm yang telah membangunkannya tepat waktu. Ia pun memejamkan matanya kembali.
Tok tok tok
“Kak Nina, kau sudah bangun? Ibu menyuruhku untuk membangunkan mu! Kalau sudah, cepatlah turun dan sarapan!” Teriak seseorang yang memanggil dari balik pintu kamar Nina yang berwarna biru, tepat berada di kanan kasurnya.
“Ck. Berisiknya orang ini,” keluh Nina dalam hati, memiringkan tubuhnya ke kiri.
“Iya, iya, aku sudah bangun! Tak perlu berteriak di pagi buta begini dong.” Dengan melawan rasa kantuk yang luar biasa, mau tak mau Nina mendaratkan kedua kakinya di lantai dan segera berdiri dengan gagah. Namun, yang ia rasakan malah kepala yang berkunang-kunang disertai rasa kesemutan yang menjulur dari ubun-ubun kepalanya. Nina pun roboh sambil memegang kasur dan kepalanya.
“Sialan.., karena tidak sabar menunggu datangnya hari ini, aku hanya tidur tiga jam saja.” Geramnya, menggeretakan giginya kuat-kuat.
Nina bangkit dengan perlahan, kemudian segera merapikan seprai dan selimut putih pada kasurnya yang berantakan. Setelah selesai, ia berjalan ke tangga dan menuju ke lantai bawah, kemudian berdiri di westafel dan membilas wajahnya yang putih agar segar kembali. Ia menatap matanya yang berwarna biru dengan seksama. Sorot matanya menandakan bahwa kondisi mental dan semangatnya tidak pudar sejak semalam.
Setelah mengambil handuk, ia berjalan menuju kamar mandi. Mandi menggunakan air hangat di pagi buta, rasa kantuk dan lelahnya perlahan lenyap. Selesai mandi, ia menjemur handuknya di halaman rumah dan berjalan menuju ruang makan.
“Kenapa kantung matamu hitam begitu? Kamu tidak tidur?” Sang Ibu bertanya kepada anak sulungnya itu dengan heran. Ia meletakkan segelas air hangat di meja di hadapan Nina.
“Tidur dua atau tiga jam saja cukup kok Bu.” Jawab Nina dengan tenang, sambil menyeret kursi di meja makan dan menjatuhkan dirinya pada kursi itu.
“Bodoh! Sudah Ibu bilang untuk tidur yang cukup! Kamu memang sangat mirip dengan Ayahmu yang tidak pernah mendengarkan nasihat orang lain! Karena itulah sebenarnya Ibu menentang mu untuk ikut Ujian Seleksi yang sedang heboh dibicarakan itu. Menjadi Elementalist itu tak semudah yang kamu pikirkan! Terlebih lagi sekolah yang kamu pilih adalah sekolah yang terbaik. Ingat! Jangan sampai le—“
“Iya Bu, aku tahu. Tak boleh lengah, kan? Aku tahu kok. Ibu tak perlu sekhawatir itu. Aku tahu kewajiban serta apa yang harus kulakukan. Anakmu ini sudah dewasa, jadi jangan terlalu khawatir. Percaya saja padaku!” Nina menatap mata Ibunya dengan sorot mata yang membara. Mengingatkan sang Ibu dengan sorot mata sang Ayah.
“Ingat Nina. Kamu adalah anak pertama. Bukannya Ibu membenci keputusan yang kamu pilih ini, justru malah sebaliknya. Ibu tahu kamu mewarisi kecerdasan dan bakat dari Ayahmu, tapi Ibu tidak pernah memintamu untuk melakukannya. Kamu bisa menjalani hidup normal seperti masuk ke sekolah yang biasa dan melanjutkan studimu, kuliah, bekerja, menyukai seorang pria dan menikah, lalu memiliki seorang anak sehi—“
“Aku tak menginginkan kehidupan yang biasa seperti itu, Bu. Tenang saja dan serahkan padaku. Aku akan menemukan dan membawa Ayah pulang suatu hari nanti!” Nina mendongakkan wajahnya dan menatap mata Ibunya dengan serius. “Setahun berlatih dengan Paman Mark takkan sia-sia. Aku sudah sangat siap untuk hal ini.” Lanjutnya, meminum air hangat dengan tangan kanannya.
“Kalau begitu, jangan lupa satu hal ini.” Sang Ibu memegang pundak Nina dengan lembut. “Doa Ibu akan selalu berada di sisimu. Berjuanglah!” Lanjut sang Ibu sambil tersenyum.
Nina menatap wajah Ibunya. Perasaannya sedikit terguncang ketika Ibunya memancarkan senyuman yang ditujukan kepada anak sulungnya itu.
“Ah, sial. Seperti biasa. Ibu selalu seperti ini. Tak pernah berubah dari dulu. Padahal aku berusaha agar hal seperti ini tidak terjadi.” Dengan pemberian senyuman dari sang Ibu, mata Nina berlinang air mata. Air mata Nina pun tumpah karena tak kuasa menahan haru.
“Terima kasih....Bu.” Nina memeluk Ibunya dan menangis.
...****************...
“Tak ada yang tertinggal kan?” Tanya sang Ibu, melirik-lirik.
“Tidak ada, semua yang penting sudah kubawa kok.” Jawab Nina dengan siap.
“Sudah mau pergi? Hati-hati ya kak.” Sang adik memberi salam perpisahan.
Nina menatap wajah Gilbert, kemudian memegang bahunya dengan lembut.
“Gil, ku titipkan Ibu padamu, karena kau lah satu-satunya laki-laki di keluarga kita sekarang ini. Kabari aku kalau terjadi hal—“
“Iya, iya, jangan khawatir. Aku bukan Gil kecil seperti dulu. Lebih baik kau fokus dengan sekolahmu, kak.” Tenang Gil. Memejamkan kedua matanya sambil memasang wajah risih.
Nina menatap wajah adiknya itu dengan seksama, membandingkannya dengan Gil kecil yang pendek, pemalu, dan penakut, yang sejak kecil selalu ia usap kepalanya. Tetapi, sekarang dirinya kalah tinggi dengan adiknya yang tersayang itu. Nina pun mengangkat tangan kanannya. Mengusap kepala adiknya itu dengan kasar.
“Kak! Sudah kubilang jangan mengusap kepalaku lagi!” Lantang Gil, mencoba menyingkirkan usapan tangan kakaknya dari kepalanya.
“Waktu berlalu begitu cepat ya, dalam setahun saja tinggi badanmu sudah melebihi ku, hahaha!” Balas Nina, terus mengusapkan kepala adiknya sambil memasang wajah yang riang dengan gelak tawa yang sedih.
Nina menurunkan tangan kanannya. “Gil, walaupun kamu laki-laki, tapi kau sangat mirip dengan Ibu. Aku sangat bahagia memiliki adik sepertimu, karena kau memiliki sifat dan wajah yang mirip seperti Ibu, aku yakin kau pasti akan populer di kalangan cewek!” Puji Nina pada adik tersayangnya.
“Berhenti menggodaku!” Wajah Gil merah padam. Ia merasa kesal karena digoda kakaknya.
Sang Ibu hanya bisa tergelak, menyimak percakapan kedua anaknya itu.
Tiba-tiba, sebuah mobil berwarna biru berhenti di depan mereka.
“Perpisahannya sudah!?” Tanya seorang pria dari dalam mobil biru dengan jendela yang terbuka. Pria itu mengenakan topi fedora hitam bergaris biru.
“Paman Mark!” Seru Gilbert.
Mark mematikan mesin mobilnya, menarik pengunci dan membuka pintu mobil kemudian berjalan menghampiri Nina sambil melepas dan membawa topi fedora di tangannya.
“Semua barang-barang mu sudah kumasukkan ke bagasi mobil di belakang. Ayo cepat masuk ke dalam mobil, Nina. Kau tak ingin menjadi peserta ujian yang telat, bukan?” Tanya Mark, menunjuk mobil birunya dengan ibu jari.
Sang Ibu menatap adiknya, dan membuka mulutnya sambil berkata, “Mark, kumohon padamu tolong awasi Nina di sana. Hanya kau lah orang yang paling kuandalkan dalam hal ini.” Menggenggam tangan adiknya dengan perasaan dan khawatir.
Nina mendahului Mark, membuka pintu mobil dan mengambil tempat duduk di sebelah pengemudi. Sang Ibu dan Mark memperhatikan anak serta keponakan mereka.
“Seperti biasa, kak. Kau selalu seperti ini sejak kita kecil. Sikap lembut mu itu sangat mirip dengan Ibu. Kau jadi seperti dirinya lho sekarang ini.” Komentar Mark, menghela napas. Menyadari rambut kakaknya yang mulai memutih.
“Sebenarnya aku tak menginginkannya untuk mengikuti jejak Ayahnya. Hei, Mark. Jawab aku. Apakah aku gagal sebagai seorang istri dan seorang ibu?” Tanya sang Ibu. Sorot matanya yang penuh kekhawatiran, tangan yang mengepal dan bibir yang bergetar, membuatnya merasakan kembali ketiga hal tersebut sejak 10 tahun yang lalu. Ia takut hal yang sama akan terulang, menimpa anak sulungnya itu.
“Kau bodoh kak Marie.” Kata Mark. Marie pun menoleh. “Tentu saja sebaliknya. Hilangnya Kak Trent bukanlah tanggung jawabmu. Kalau kau setakut itu, seharusnya sejak awal kau tak menikahinya. Kau menikahinya karena kau mencintai, menaruh harapanmu dan percaya padanya. Tapi kau juga membayangkan hal buruk yang menanti anakmu seakan-akan kau mengharapkan hal yang sama akan terjadi padanya? Bukankah itu bertentangan dengan harapan yang kau percayakan pada Kak Trent? Lagipula, keputusan Nina untuk menjadi seorang Elementalist dan mencari ayahnya yang menghilang adalah bukti bahwa dia bukanlah perempuan biasa! Hanya perempuan hebat dan kuat lah yang mau memilih pekerjaan seberbahaya itu. Untuk itulah dia menjalani latihan yang keras selama setahun penuh denganku.” Mark mengenakan topi Fedora hitamnya dan melangkahkan kakinya.
“Hei, Paman Mark. Cepatlah!” Nina meneriakinya dari dalam mobil.
“Iya!” Jawab Mark. “Kak Marie, kau harus tahu hal ini. Saat kutanya kepada Nina alasan kenapa dia ingin menjadi seorang Elementalist. Nina mengatakan hal yang sama yang sering diucapkan Kak Trent.”
Marie bergeming.
“Nina menjawabnya dan mengatakan, ‘Aku sama sekali tidak terpaksa untuk menjadi seorang Elementalist. Tetapi, hati kecilku lah yang menginginkannya.’”
Marie seketika teringat masa lalunya dengan Trent, ketika dirinya mencegah kepergian
Trent dari tanggung jawab pekerjaannya yang sangat beresiko.
“Aku sama sekali tidak terpaksa. Hanya saja, hati kecilku lah yang menginginkannya. Terdengar aneh dan tak beralasan. Tapi aku tak membenci atau menentangnya. Biarkan saja mengalir alami, karena yang alami adalah bagian penting dari kehidupan.” Senyum Trent.
Marie memejamkan matanya, menatap Mark kemudian ia tersenyum. Kedua kalinya dirinya merasakan kelegaan di hati karena melepas kepergian orang yang berharga baginya. Memang tidak mudah, namun kali ini dia ingin percaya pada anaknya.
“Baiklah, aku paham.” Kata Marie dengan tenang.
Gil ikut tersenyum melihat rasa kekhawatiran Ibunya yang telah menghilang.
“Hei, Gil. Jaga Ibumu baik-baik. Dia sudah mulai tua. Kau lihat sendiri keriput di pipinya itu kan?” Komentar Mark, tertawa kecil sambil menepuk pundak Gilbert dengan pelan.
“Hahaha! Kau benar Paman Mark.” Ledek Gilbert, tertawa terbahak-bahak.
“Hei, kau juga sudah menua, Mark!” Marie mencubit pinggang adiknya.
...****************...
Mark merogoh celananya untuk mengambil korek api yang ia simpan namun rokok batangan yang menggelantung di bibirnya baru saja diambil oleh Nina dengan cekatan.
“Selagi aku duduk di sampingmu, tidak boleh ada rokok yang menyala.” Peringat Nina, melempar rokok itu ke dashboard mobil.
“Andai kau tahu, menyetir sambil merokok itu salah satu dari cara manusia untuk merasakan nikmatnya hidup tahu!” balas Mark sambil melepas Fedora dan memberikannya ke Nina. Nina memakainya tanpa ragu.
Sambil menyetir, Mark melirik keponakannya.
“Bagaimana kesiapan mental dan fisikmu?” Tanya Mark. Terlihat jelas bahwa Mark mengkhawatirkan sesuatu dari nada bicaranya.
Nina menyadari maksud Mark yang sebenarnya. Karena itulah dia memberikan jawaban yang pasti untuk meyakinkan Mark bahwa keponakannya tetap seperti keponakannya yang dahulu, tak pernah berubah. Tapi Mark menyadari bahwa kebiasaan seperti itu adalah kelemahan terbesar yang ada pada diri keponakannya itu. Karena itu Mark berusaha memberi tahu Nina bahwa kelengahan yang ada pada dirinya adalah kelemahan terbesar dirinya.
“Aku tahu maksudmu, Paman.” Nina melirik Mark. “Tenang saja, keadaan mentalku saat ini sedang membara dan itu tak bisa padam atau berubah dalam sekejap.” Lanjutnya, melongok ke Fedora yang ia kenakan sambil memeganginya.
“Berarti masalahnya ada pada kondisi fisikmu. Aku tahu kau kurang tidur karena kantung matamu yang mengatakannya. Kau yakin kondisi fisikmu tidak akan mempengaruhi performa dirimu? Mau tipe Penguat sekalipun, yang namanya pertarungan antar sesama Elementalist kalau kondisi badan tidak fit, akan memberikan peluang yang besar untuk lawan dan memberikan kesempatan yang tak boleh mereka lewatkan karena celah seperti itu akan mereka manfaatkan sebaik mungkin.” Jelas Mark dengan wajah yang sangat serius.
“Kelengahan mu adalah kebiasaan yang mengakar dari alam bawah sadar milikmu. Karena sudah menjadi kebiasaan, musuh akan dengan mudah memanfaatkan kesempatan itu. Walau tipe Pengubah sepertimu stabil dari segi fisik, tidak mengubah fakta bahwa kurang tidur akan menurunkan kewaspadaan dari seorang Elementalist. Dalam pertarungan sebenarnya, kau bisa dengan mudah kehilangan nyawamu.” Lanjut Mark. Penjelasan yang ia berikan berasal dari pengalamannya di masa lalu, saat ia masih menjadi seorang Elementalist.
Nina memejamkan kedua matanya, kemudian menatap Mark. Mark melirik Nina dan mereka bertemu pandang.
“Kalau kita memberikan segala yang kita punya di tiap waktu, energi pada jiwa kita akan cepat lelah dan jika kita tidak tahu pada saat kapan dan di mana saja kita memaksimalkannya, maka keseimbangan energi elemental milik kita akan kacau. Bukankah kau yang mengajariku tentang hal itu, Paman Mark? Ketidakefisiensian adalah hal yang tak berguna. Tentu aku akan memaksimalkan segala yang ku punya tapi tergantung pada situasinya terlebih dahulu. Hanya sekedar Ujian Seleksi kok, bukan masalah bagiku. Aku percaya dan yakin pada intuisi dan kemampuan yang ku punya untuk lolos dan menjadi murid di sana. Tenang saja, jangan khawatir.” Jawab Nina, menatap Paman sekaligus Gurunya itu dengan mata birunya yang membara.
Sekilas, Mark memalingkan wajahnya dari Nina. Ia tersenyum kecil ketika melihat wajah serius Nina. Mengingatkannya pada kakak iparnya dulu. Mark pun kembali menghadap ke depan, menatap jalan.
“Meski ada satu orang yang menjadi Murid Khusus?” Tanya Mark, melirik Nina karena penasaran seperti apa reaksi Nina ketika mendengar berita mengejutkan ini.
Nina memalingkan pandangannya ke Mark. Ia melepas Fedora milik Mark dari kepalanya dan meletakkannya secara perlahan ke dashboard mobil karena masih mencerna informasi di luar dugaan yang dilontarkan oleh Mark.
“Posisimu saat ini adalah sebagai peserta Ujian Seleksi yang memperebutkan 7 dari 8 kursi yang ada, bukan 8 dari 8 kursi. Malah, bisa jadi sebenarnya kau memperebutkan 4 dari 8 kursi yang ada. Perjalananmu untuk menjadi seorang siswa di Elementary Academy tidak semulus yang kau kira, Nina.” Ujar Mark sambil mengubah perseneling mobilnya.
“Mengatakan 4 dari 8 kursi sepertinya berlebihan, tapi Paman, 7 dari 8 kursi inilah yang kutanya-tanyakan. Dari mana kau tahu hal itu?” Nina memasang wajah yang penasaran. Mata birunya menatap Mark dengan tajam.
“Memiliki banyak kenalan di masa lalu adalah salah satu keuntungan terbesar dalam hidupku selama ini. Baru baru ini aku menyadari betapa nikmatnya mendengar keluh kesah dari orang-orang yang kukenal.” Mark memasang wajah bangga dan menepuk dadanya. “Aku mendengar teman lamaku bercerita. Namanya Kane. Dia salah satu dari 3 Penjaga Gerbang Elementary Academy. Sejak masih ingusan, bocah itu memang terkenal karena tidak bisa menjaga rahasia, hahaha!” Mark tertawa keras.
Nina tak mendapat jawaban yang ia inginkan. Ia mengecap lidahnya dengan keras. Mark sudah pasti mendengarnya.
“Dan, siapa Murid Khusus itu?” tanya Nina, penasaran. Matanya berbinar-binar namun ada sedikit kekesalan pada sorot matanya.
“Namanya Notoma Kahnwald. Kurasa, cuma kita berdua yang mengetahui hal ini. Dengar, Nina! Meski si bocah ingusan Kane itu sangat polos, setidaknya aku menganggapnya sebagai seorang teman! Umur kami memang terpaut jauh, tapi itu bukanlah halangan bagi kami untuk menjalin pertemanan. Jadi, rahasiakan hal ini dari siapa pun dan jika kau bertemu dengannya suatu saat nanti, kau harus bersikap ramah padanya!” Mark mengacungkan jari telunjuknya, mencoba memperingatkan Nina. ”Yah, itu pun kalau kau sudah resmi menjadi murid di sana sih,” komentar Mark, kembali menghadapkan pandangannya ke jalan.
“Ya, aku tahu!” Seru Nina dengan nada kesal. “Tapi, kau belum menjawab hal yang kuinginkan. Siapa sebenarnya orang ini? Apa dia anak dari orang berpengaruh? Dia anak orang kaya, politikus atau orang penting dari kerajaan negara lain? Ah, tapi namanya bukan nama orang asing sih.” Gerutu Nina, sambil bertopang dagu dan berpikir.
“Entahlah. Aku tak tahu siapa dia. Yah, selagi dia tidak menjadi batu yang menghalangi jalanmu untuk menjadi seorang Elementalist, kurasa bukan masalah. Yang jelas, dia menolak tawaran Murid Khusus itu dan bersedia menjadi peserta Ujian Seleksi biasa sepertimu.” Kata Mark dengan pelan.
“APA!?” Teriak Nina dengan sangat keras. Nina melongok, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mark.
Mark kaget setengah mati mendengar teriakan keras yang keluar dari mulut Nina. Ia tak menyangka bahwa keponakannya yang tidak pernah teriak sekencang itu, akhirnya melakukannya. Setir mobil yang dipegang Mark melenceng jauh ke kanan, hal ini membuat mereka hampir menabrak Truk yang melintas di samping mereka. Decitan ban mobil yang kehilangan kendali sempat membuat panik Mark dan Nina. Untungnya, Supir Truk punya refleks yang bagus dalam berkendara, mobil truk yang berada di samping mereka dengan cepat melakukan pengereman mendadak sehingga mereka terhindar dari kecelakaan.
Ketika keadaan sudah membaik, truk tadi berusaha menghampiri mobil biru yang dikendarai Mark. Supir truk membuka jendela mobilnya dan menyumpahi mobil yang ada di sampingnya. Mark membuka sedikit jendela mobilnya dan berteriak sambil meminta maaf kepada supir truk itu. Ia pun melotot ke arah Nina, namun Nina memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak tahu.
Nina mencoba mengalihkan suasana, dan menemukan topik yang bagus.
“Ini aneh, kenapa Elementary Academy yang sangat terkenal dalam memperlakukan semua murid di sana dengan setara, secara tiba-tiba melakukan hal seperti ini? Bukankah menjadikan seseorang sebagai Murid Khusus itu akan mengakibatkan kesenjangan sosial pada murid lainnya? Apa yang sebenarnya terjadi di sekolah itu?” Tanya Nina. Keringat di pipinya menandakan betapa keras dirinya berpikir.
“Demi mengendalikan suasana yang baik, mereka merahasiakannya dari publik. Mereka punya maksud tertentu dalam hal itu. Yang jelas, si Notoma Kahnwald ini kelihatannya sangat berbakat dan kuat.” Jelas Mark, memegangi dagunya. “Yah, pihak sekolah sendiri pasti dengan senang hati menerima orang kuat. Kuat di usia yang muda akan membuat dunia berputar dengan mudah di sekeliling kita, begitulah cara kerja dunia ini.” Komentar Mark, mengenakan Fedoranya.
“Kuat ya? Aku tak terlalu yakin dengan itu. Notoma Kahnwald. Aku penasaran orang seperti apa dia?”tanya Nina dalam hati. Rasa penasaran dan ketidaksabaran dirinya sedang memuncak. Nina masih membayangkan orang seperti apa Notoma Kahnwald, orang yang yang diberikan status sebagai Murid Khusus namun lebih memilih sebagai peserta Ujian Seleksi. Sambil memikirkan dan membayangkannya, Nina menatap ke jendela mobil.
...****************...
“Baiklah, aku mengantar sampai sini saja. Pihak sekolah seharusnya menjemputmu dari sini. Maafkan Pamanmu ini yang tak bisa menemanimu lebih lama lagi, karena aku juga disibukkan dengan pekerjaan. Untuk barang-barang yang ada di bagasi mobil, nanti akan kubereskan begitu sampai di rumah. Ingat, jangan lengah dan semoga berhasil di ujiannya, Nina!” Tegas Mark dari dalam mobil, memberi semangat pada keponakan sekaligus murid pertamanya itu.
“Terima kasih atas segalanya, Paman Mark!” Nina menundukkan kepalanya.
Mark memutari mobilnya dan melaju pergi dari hadapan Nina.
Nina menolehkan pandangannya pada seseorang yang menghampirinya dari samping. Seorang wanita
dengan rambut pendek berwarna cokelat dengan kemeja putih dan celana jeans hitam. Poninya ia kesampingkan dengan mengenakan jepit rambut berwarna hitam agar serasi dengan warna celananya. Badannya yang ramping seperti model membuat semua pria yang meliriknya terpana saat melewati mereka.
“Nina Rose, benar?” Tanya wanita itu. Wajahnya yang tenang, menatap Nina dengan tajam.
“Iya, benar.” Jawab Nina dengan jujur.
Wanita itu mengeluarkan telepon genggamnya dengan tangan kanan dan menelepon seseorang. Ia menganggukkan kepalanya dan mengakhiri percakapan, kemudian menatap Nina dengan pandangan curiga.
“Maaf, bolehkah aku menyentuh dadamu sebentar?” Tanya wanita itu, menyimpan kembali telepon genggamnya.
“Eh? Untuk apa?” Tanya Nina, terheran.
Wanita itu menyentuh dada Nina tanpa ragu dengan sangat cepat tanpa bisa disadari langsung oleh Nina. Sesaat kemudian, Nina merasakan kesemutan di dadanya. Nina melompat ke belakang dengan kuda-kuda bertarung. Pandangan matanya hanya fokus kepada wanita di hadapannya. Wanita itu menatap mata biru Nina yang menggelora karena terbakar emosi. Wanita itu pun tersenyum kecil.
“Kau! Apa yang kau lakukan padaku barusan!?” Kesal Nina, diambang kemarahan yang membara dan kebingungan yang mendadak sekaligus.
“Saya menggunakan Skill saya pada Anda untuk mengetahui apakah anda benar-benar peserta ujian kami atau orang lain yang sedang menyamar menggunakan identitas anda. Saya benar-benar meminta maaf yang sebesar-besarnya.” Wanita itu menundukkan kepalanya dengan anggun.
“Skill? Apa maksudmu?” Tanya Nina yang tengah kebingungan. Alis mata kanannya terangkat tinggi.
“Benar.” Jawab sang wanita, mengkonfirmasi.
“Apa Skill yang kau maksud itu, adalah kemampuan tingkat lanjut dari penggunaan Energi Elemental!?”
Mata biru Nina terus melotot kepada Petra dengan serius.
“Anak ini...”Komentar sang wanita asing dalam hati. Wanita itu merasakan hal yang aneh ketika berhadapan dengan Nina. Ia merasakan sesuatu yang aneh namun juga menakutkan secara bersamaan begitu merasakan energi jiwa dari Nina. Intuisinya mengatakan bahwa Nina sangat mirip dengan ayahnya, tenang namun juga menakutkan saat berada dalam pertarungan.
Wanita itu pun merapatkan kedua kakinya, dan membungkuk sambil menempelkan tangan kanannya di dada. Ia pun membuka mulutnya.
“Perkenalkan, saya Petra Rochefort. Dewan Sekretaris Elementary Academy.” Petra memperkenalkan dirinya dengan suara yang lembut. Nampak jelas bahwa Petra menghormati Nina.
Nina bergeming mendengar nama keluarga Petra. Ia menyadari bahwa Petra adalah bagian dari keluarga Rudy Rochefort yang terkenal sebagai Elementalist terkuat di dunia dan juga Kepala Sekolah dari Elementary Academy, sekolah yang ia tuju.
“Salam kenal, saya Nina Rose, peserta ujian dengan nomor urut 15. Mohon arahannya.” Nina menundukkan kepalanya.
Tanpa membuang waktu, Petra menuntun Nina untuk mengarahkannya menuju mobil pengantar.
Titik temu antara penjemput dan peserta sebenarnya ditentukan secara acak. Dengan kata lain, titik temunya selalu berbeda tiap tahun. Tentunya, tiap peserta menerima titik temu yang berbeda. Nina mengetahui hal ini, karena itu ia tak kebingungan. Tiap peserta dikirimi surat instruksi yang berbeda. Rudy Rochefort mengatur skema ini demi mencegah intervensi orang luar yang berusaha mengacaukan Ujian Seleksi.
Setelah Peserta bertemu dengan Pengantar, Pengantar diwajibkan untuk mengawal peserta dengan aman. Hal ini dikarenakan Ujian Seleksi tahun lalu mengalami serangan dari orang asing, hanya petinggi sekolah saja yang mengetahui hal itu. Peristiwa itu sengaja ditutupi dan tak diketahui publik karena Kepala Sekolah meminta pemerintah untuk merahasiakan serangan tersebut.
Kembali pada Nina dan Petra yang berjalan menuju mobil. Dari kejauhan, Nina melihat sebuah mobil berwarna hitam. Tiba-tiba Petra berdiri di depan Nina. Pupil matanya yang semula berwarna cokelat berubah menjadi kebiruan. Seketika Nina bergeming, merasakan energi elemental yang terkonsentrasi sangat pekat yang dipancarkan oleh bola mata milik Petra, namun seketika itu juga energi elemental itu lenyap, pupil mata Petra pun kembali seperti semula. Mobil hitam itu berhenti tepat di hadapan mereka. Petra berjalan mendekati mobil hitam itu, kemudian membuka pintu belakang mobil untuk Nina. Meski dilanda kebingungan yang menghiasi
wajahnya, mau tak mau Nina masuk ke dalam mobil itu dan mengambil tempat duduk tepat di belakang supir. Petra mengambil tempat duduk di sebelahnya.
Nina memalingkan wajahnya ke Petra, raut wajahnya yang kebingungan membuat Petra menyadari apa yang ingin ia tanyakan.
“Kita akan pergi ke Hutan Kota.” Jawab Petra sambil melipat kedua tangannya dengan tenang. Pandangannya terus menatap ke depan.
“Ah, begitu.” Komentar Nina, dengan keringat kecil yang menetes di pipi kirinya.
Sang supir pun langsung melajukan mobilnya menuju Hutan Kota Navari, yang sangat terkenal karena keluasan kawasannya.
...****************...
Petra dan Nina memasuki kedalaman Hutan Kota. Semakin mereka berjalan, semakin dalam pula mereka memasuki area tengah hutan. Mereka berjalan cukup lama. Suasana yang canggung membuat Nina merasa tidak nyaman. Perasaannya menggebu-gebu untuk mengalihkan suasana yang canggung itu. Ia ingin mengubahnya menjadi sebuah topik pembicaraan. Hanya saja, ketika melihat sekaku apa Petra di hadapannya, Nina mengurungkan niatnya untuk melakukan itu.
Dengan tiba-tiba, Petra menghentikan langkahnya, Nina pun juga berhenti. Petra berdiri tepat di depan Nina yang mengikutinya dari belakang. Petra mengangkat tangan kanan dan mengarahkannya ke depan. Untuk yang kedua kalinya, Nina merasakan energi elemental yang sama, yang dipancarkan oleh Petra.
Telapak tangan Petra memancarkan energi elemental, udara di sekitar mereka berdua tiba-tiba suhunya berubah menjadi dingin. Tanah di mana mereka berdua berpijak, perlahan-lahan menjadi lembab. Tak hanya itu, angin yang berhembus juga menari-nari di sekitar mereka berdua, membuat dedaunan dan rerantingan berterbangan mengelilingi mereka. Nina memperhatikan Petra dengan seksama. Ia tahu bahwa Petra bisa melakukan tahap lanjut dari penggunaan energi elemental yang pernah disinggung oleh Mark, yaitu Skill. Petra adalah Elementalist kedua yang Nina tahu, yang bisa melakukan Skill. Orang pertama tentunya Mark, paman sekaligus gurunya.
“Lepas!” Ucap Petra, masih mengangkat tangan kanannya.
Rambut Petra yang bergerak-gerak perlahan berhenti. Kemudian, mata Nina terbelalak menatap bangunan megah yang secara perlahan muncul dengan samar-samar di depan mereka. Nina benar-benar terkejut ketika melihat bangunan itu muncul di hadapannya.
Bangunan yang berwarna putih itu sangat bersih, meski dua lantai, interior pada bangunan itu terawat dengan sangat baik walau terlihat tidak ada yang menempatinya belakangan ini karena terlihat sangat sepi dari luar.
“Apakah ini Skill yang anda punya, Nona Petra?” Tanya Nina, memasang wajah yang serius dengan setetes keringat di pipi.
Petra memalingkan wajahnya.
“Benar. Skill yang ku punya memungkinkan diriku dapat mengubah komposisi dari zat yang berterbangan di udara
menjadi hidrogen.” Jawab Petra. “Aku mengendalikan hidrogen ini dan mengaturnya bergerak dengan pola spiral agar tidak mudah disadari oleh siapapun yang mendekat. Dan beruntungnya diriku, semuanya berjalan dengan aman.” Jelas Petra, memandang Nina dengan wajah yang tenang.
Nina sangat takjub begitu mendengarnya.
“Sial, itu Skill yang sangat keren! Apakah kau bisa mengajariku bagaimana caranya untuk menggunakan Skill!? Ah, maafkan aku!” Nina memerah, lupa bahwa dirinya adalah seorang peserta ujian.
Petra tersenyum kecil, kemudian memejamkan kedua matanya dan mengingat sejenak bahwa ia pernah berada di posisi yang sama dengan Nina. Petra mengingat momen disaat dirinya pertama kali melihat Ayahnya memperkenalkan Skillnya. Petra membuka kedua matanya dan membuka mulutnya.
“Aku tak keberatan dengan hal itu. Tapi, karena aku adalah orang yang sibuk, sebagian besar waktuku dihabiskan untuk pekerjaanku di Elementary Academy. Kau tahu maksudnya bukan?” Tanya Petra.
“Benarkah!? Terima kasih, aku akan berusaha semampuku untuk lolos ujian seleksi dan menjadi murid di sini, agar aku bisa mempelajari Skill darimu!” Mata Nina berbinar-binar ketika menyerukannya.
Petra tersenyum kecil lagi. Ia mengajak Nina untuk berjalan mengikutinya, memasuki bangunan yang berada di hadapan mereka. Sambil berjalan, Nina melontarkan pertanyaan yang sedari tadi ingin ia lontarkan kepada Petra.
“Apa tahun lalu Ujian Seleksi tidak berjalan mulus?”
Petra memasang wajah yang datar ketika Nina menanyakannya.
“Begitulah. Setidaknya, kau sudah tahu alasanku untuk memeriksa mu dua kali. Ah, maaf. Gaya bicara saya berubah. Tapi kurasa kau tak keberatan, kan?”
“Ah, tidak masalah sih.” Jawab Nina, merasa aneh dengan Petra yang terlalu mempermasalahkan gaya bicaranya. Namun, Nina tidak tahu bahwa Petra hanya berbicara informal kepada orang yang dia percayai dan dianggap dekat dengannya saja.
Sesosok pria dengan rambut yang acak-acakan kehitaman membuka pintu putih bangunan itu. Ia berjalan perlahan menghampiri Petra dan Nina yang telah menyadari dirinya yang berjalan menghampiri mereka. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan dasi putih yang dilonggarkan. Sepatu dan celananya yang hitam sudah menjadi bukti bahwa dirinya orang yang penting dalam ujian seleksi kali ini. Pria menghentikan langkahnya.
“Nina Rose, kan? Saya Rudger van Touwen, panitia ujian. Peserta lain sudah berada di dalam. Masuk dan berkumpul lah di Aula.” Ucap Rudger dengan tenang.
“Ah, baik!” Nina berlari meninggalkan mereka berdua.
Rudger berdiri di samping Petra yang sedang memperhatikan Nina yang perlahan menjauh dari pandangannya.
“Berapa orang lagi?” Tanya Petra, melipat kedua tangannya di dada.
“Dua orang lagi.” Rudger menggaruk kepalanya.
“Masukkan saja keempat peserta yang terakhir ini dalam satu tim! Mereka terlalu banyak membuang waktu dan membuat kita, para panitia menunggu!” Seru Petra, mencurahkan kekesalannya.
“Lho, bukankah kau sedikit tertarik dengan gadis barusan? Kau bahkan mengubah gaya bicaramu padanya kan?” Komentar Rudger dengan heran.
Petra menatap Rudger dengan sorot mata yang kesal. Ia tak menyangka bahwa Rudger mengetahui hal itu.
“Justru karena aku menyukai gadis itulah makanya aku menyarankan mereka untuk satu tim agar hanya dia saja yang lolos dari keempat peserta ujian yang datang terakhir.”
Rudger memejamkan kedua matanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mengangkat kedua tangannya sebahu, tidak menyangka bahwa orang seserius Petra bisa mengatakan hal yang konyol seperti itu.
“Tidak bisa begitu. Sebagai orang dewasa, kau tidak boleh seenaknya menyalahgunakan kuasamu. Kau pasti lupa ya? Ujian kali ini penilaiannya berdasarkan Tim. Yah, tapi itu ide yang bagus juga apabila orang yang terlambat tergabung dalam satu tim.” Komentar Rudger tersenyum kecil.
“Hah!? Penilaian Ujian Seleksi tahun ini berdasarkan penilaian tim!?” Petra sangat terkejut mendengar berita itu.
...****************...
Nina terlihat kebingungan menyusuri lorong di dalam bangunan. Namun, Nina melihat seseorang di hadapannya dari kejauhan. Ia berusaha mengejar orang itu dan mendekatinya dengan berlari menghampiri dan mendapati bahwa seseorang itu sebenarnya adalah laki-laki seusianya. Begitu mendengar derap langkah kaki Nina yang terkesan terburu-buru, laki-laki itu menoleh ke belakang. Sorot matanya yang tenang dengan bola mata cokelat membuat hati Nina sedikit berdebar karena baru saja menyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya memiliki tatapan yang tenang dan indah. Laki-laki itu menatap Nina.
“Wow, meski berlari seperti itu cewek ini tidak kelelahan.” Komentar laki-laki itu dalam hati. “Ada apa?” Tanya laki-laki itu dengan memasang wajah yang keheranan.
“Ah, tidak! Aku hanya kebingungan mencari Ruang Aula, hahaha!” Seru Nina, tertawa kecil dengan spontan untuk memberikan kesan yang ramah pada laki-laki itu.
Tatapan mata Nina tak berhenti menyorot mata laki-laki yang ada di hadapannya itu. Laki-laki berambut hitam ini pun menyadari bahwa Nina adalah peserta ujian yang sama dengannya.
“Aku juga mau ke Ruang Aula dan aku tahu di mana Ruangan itu berada. Jika kau mau, kita bisa berjalan bersama. Kau peserta ujian seleksi, kan?” Tanya laki-laki itu, menyarankan solusi terbaik yang dia punya.
“Benar.” Nina terkejut bahwa laki-laki itu peka dengan apa yang terjadi. “Kau juga?” tanya Nina.
“Yah, begitulah.” Jawabnya.
Nina menyodorkan tangan kanannya.
“Meski kau membantuku, aku tak akan segan-segan padamu lho! Aku Nina Rose, peserta ujian seleksi dengan nomor urut 15!” Seru Nina, memandang lawan bicaranya itu dengan tatapan mata yang membara.
“Wuah, sangat kompetitif sekali cewek ini.” Komentar laki-laki itu dalam hati sambil memasang wajah ramah yang tidak nyaman.
Laki-laki itu membalas jabatan tangan Nina.
“Aku Notoma Kahnwald, peserta ujian juga dengan nomor urut 16. Salam kenal!” Seru Notoma pada Nina.
Nina sangat terkejut mendengar nama laki-laki itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments