Jakarta sekarang berada di suhu 29°C saat di malam hari seperti ini, memang masih terbilang panas dan gersang jika di luar ruangan. Tapi tidak dengan di dalam ruangan, apalagi di dalam sebuah apartemen mewah seperti ini.
Naya bahkan tak henti-hentinya menghirup nafas lalu menghembuskannya perlahan, udara di sini benar-benar enak dan menyegarkan. Selain ada air conditioner yang menyala, ruangan tamu berukuran 3 x 5 m² itu pun sangat wangi. Mungkin pewangi ruangannya tidak dapat dibeli seharga baju yang dipakai Naya.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang? Apa terasa sudah membaik?" Naya menoleh saat ada sebuah suara yang bertanya padanya. Ternyata itu lelaki yang sama menolongnya, pun lelaki yang hampir menabraknya juga.
"Maaf ya, saya hampir saja menabrak kamu." Naya menggelengkan kepala pelan.
"Saya juga minta maaf, Pak. Saya juga ceroboh," ringis Naya. Jika saja dia bisa lebih hati-hati dalam menyebrangi jalan, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.
"Ini juga saya seharusnya terimakasih sama Bapak, karena sudah mau menolong saya tidak tanggung-tanggung." Memang benar yang diucapkan Naya, lelaki yang hampir menabraknya itu bahkan sampai memanggil tukang pijat profesional untuk mengurut pergelangan kaki Naya yang keseleo. Pun tangannya yang terluka juga sudah diobati oleh ART-nya. Naya bahkan cukup malu untuk mengakui, jika dia betah di sini.
"Sama-sama, ini saya lakukan sebagai permohonan maaf saya pada kamu." Naya mengangguk saja sekenanya, karena dia bingung harus menjawab apalagi.
"Papa! Papa di mana?!" Di saat ada hening beberapa detik di antara Kaivan dan Naya, tiba-tiba seorang anak berteriak memanggil papanya.
Namun saat menemukan papanya berada di ruang tamu bersama dengan ....
"Loh? Mama?" kagetnya saat melihat Naya.
Melihat seorang anak perempuan itu menatap ke arahnya, Naya malah menatap Kaivan dengan satu alis dan menunjuk dirinya sendiri.
"Yang dimaksud mama sama anak itu saya, Pak?" tanya Naya, memastikan.
Karena Kaivan tidak enak hati pada Naya, pria itu lantas menarik lengan sang puteri untuk duduk di pangkuannya.
"Dia bukan mama, Sayang. Panggil dia Tante Naya, ya!" ujar Kaivan pada Nayra—puterinya.
"Tapi mukanya milip mama loh," ucap Nayra.
Mendapati wajahnya yang katanya mirip dengan ibu dari anak itu, Naya refleks memegang wajahnya. Lantas bertanya dalam hati, apa memang iya?
"Panggil dia Tante Naya ya, Nayra!" pinta Kaivan lagi.
Mendapatkan larangan dari papanya, Nayra merengut sebal. "Kenapa sih, tiap kali aku mau punya mama—Papa selalu aja ngomong begitu. Panggil dia tante, panggil dia tante. Aku nggak mau punya tante, Pa. Aku mau punya mama!"
"Nayra, lihat Papa!" Kaivan menangkup pipi puterinya. "Papa paham keinginan kamu, Sayang. Tapi mencari mama tidak semudah itu," imbuhnya.
Sedangkan Naya yang berada di posisi serba salah, hanya diam mendengarkan. Ia ingin kepo tentang kenapa anak itu ingin punya mama, tapi merasa dirinya terlalu ikut campur urusan orang.
"Nayra sekarang main dulu di sini sama Tante Naya ya, Papa mau ke dapur dulu sebentar."
Sepeninggal Kaivan, Naya melambaikan tangan pada Nayra untuk menyuruhnya mendekat. Karena Naya memang tipikal perempuan yang menyukai anak-anak, dia bisa mudah untuk akrab dengan anak-anak.
"Jadi, nama kamu Nayra?" tanya Naya.
"Iya, Tante."
"Nama kita cuma beda huruf R doang lho," ucap Naya diakhiri seulas senyum kecil.
"Nama kita hampir sama ya, Tante?" Dengan cepat Naya menganggukkan kepalanya, lantas mengusap kepala Nayra dengan pelan.
"Tante boleh tanya nggak, kenapa Nayra panggil Tante dengan sebutan mama? Memangnya mama Nayra ke mana?" Naya bertanya pelan-pelan, takut membuat Nayra tidak nyaman dengan pertanyaannya.
"Kalena muka Tante itu sedikit milip sama muka mamanya Nayla. Nayla itu nggak punya mama Tante, mama Nayla pelgi. Nayla cuma punya papa doang." Entah kenapa, di pertemuan pertama ini—baik Naya ataupun Nayra, seolah sudah merasa dekat. Anak itu bahkan tak canggung menceritakan beratnya hidup dia pada Naya.
Naya tertegun sejenak, ternyata ada seorang anak yang hidupnya sama beratnya dengan dia. Naya kira, kehidupan dia sudah berat. Ternyata, anak sekecil Naya pun sudah mempunyai kehidupan yang berat. Tentu saja, tidak memiliki figur ibu di masa pertumbuhan sepertinya—akan banyak dampak baik dari segi fisik maupun mental.
Jika Naya besar tanpa figur seorang ayah, tapi dia masih punya figur ibu yang bisa menggantikan sosok ayah.
"Kalau begitu Nayra boleh panggil Tante dengan sebutan mama kalau Nayra mau. Karena Tante sebentar lagi mau pulang, ke depannya—gimana kalau kita ketemu tiap hari di sekolahnya Nayra? Nayra sekolah di mana?"
"Di TK Pelita Bangsa." Naya menganggukkan kepala usai berpikir sejenak.
"Oke, Tante tau sekolahnya Nayra," ucap Naya.
Ada sekitar 10 menitan Kaivan belum juga kembali, padahal dia bilang hanya akan pergi ke dapur sebentar.
Begitu Kaivan kembali ke ruang tamu, dia melihat pemandangan yang jarang sekali terlihat. Di mana Nayra tengah tertawa bersama dengan Naya, pun dengan wajahnya yang nampak penuh binar.
Melihat itu, Kaivan dibuat tertegun sejenak. Ada perasaan terenyuh melihat Nayra yang terlihat akrab meski mereka baru pertama kali bertemu.
"Papa," panggil Nayra saat melihat papanya kembali. Sedangkan Kaivan langsung mengusap kepala puterinya begitu Nayra menghampirinya.
Pun dengan Naya yang berusaha berdiri, perempuan berusia 25 tahun itu lantas membungkuk sebentar guna mengambil tas ranselnya.
"Sebelumnya terimakasih banyak atas semua yang sudah dilakukan oleh Bapak, saya pribadi sangat merasa tidak enak sudah dijamu begitu baik oleh Bapak. Padahal kecelakaan itu juga hampir terjadi karena kecerobohan saya sendiri." Naya berucap lalu membungkuk untuk berterimakasih.
"Saya juga ingin meminta maaf sama kamu, hampir menabrak kamu. Sekarang, rumah kamu di mana? Biar saya antarkan bersama Nayra." Mendapati pertanyaan tentang rumah di mana, Naya menggaruk tengkuknya bingung.
"Sebenarnya saya tidak tau harus pulang ke mana," ujar Naya sambil menunduk dalam.
"Maksudnya?" tanya Kaivan.
"Hari ini saya habis diusir dari kontrakan. Maklum, saya orang tidak punya. Jadi sudah menunggak selama 3 bulan, sampai akhirnya saya diusir." Naya tanpa sadar sedang bercerita tentang dirinya sendiri, lalu tersenyum miris meratapi nasibnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments