Naya kira, merantau ke Jakarta—dia akan mudah mencari uang. Tapi ternyata, di kota besar seperti ini ia harus dipaksa untuk semakin kuat lagi.
Sejak kecil, dia tidak tau sosok ayah. Dan kenapa alasan ayah meninggalkannya dan ibu. Tiap kali Naya bertanya, ke mana perginya sang ayah? Ibu kerapkali menjawabnya dengan tidak tau.
Dulu, Naya kecil mungkin akan selalu mempercayai apa saja yang keluar dari bibir sang ibu. Tapi sekarang dia sudah dewasa, Naya merasa berhak tau alasan dibalik kepergian sang ayah.
"Tuhan, kebahagiaan apa yang akan Engkau beri untukku? Sampai-sampai, kehidupanku begitu menderita seperti ini." Di pinggiran trotoar, Naya menumpahkan semua tangisnya. Tentang perasaan sesak atas luka seorang anak yang hidup tanpa ayah, tentang perasaan seorang anak yang harus dewasa sebelum waktunya, tentang seorang anak yang menanggung beban hidup keluarga sejak usianya masih belia, pun tentang seorang anak yang harus menghapus cita-citanya karena kerasnya hidup.
Di balik wajah ceria yang kerapkali ia tunjukkan saat menjadi badut, Naya hanyalah seorang gadis cengeng. Melalui semua masalah seorang diri, menangisinya pun sendiri.
Selama hidup 25 tahun ini, Naya hanya mempunyai satu sahabat bernama Lena Marisha yang sekarang entah di mana keberadaannya. Sahabat seperjuangan yang memilih merantau ke kota sepertinya itu, bagaikan hilang ditelan bumi usai merantau. Sedangkan kekasih? Naya tidak pernah mempunyai lelaki yang dekat secara personal dengannya.
Hidupnya seolah habis dengan masalah hidup dan bagaimana caranya mencapai cita-cita.
"Sekarang gue harus ke mana? Pulang pun gue cuma punya uang 50 ribu." Naya berdiri, gadis itu menyapu pandangan sekitar. Banyak mobil berlalu-lalang membuatnya seringkali mempunyai pikiran buruk, untuk membiarkan tubuhnya tertabrak di jalanan.
Tapi syukurnya dia masih mempunyai iman yang kuat, karena sampai saat ini—tidak pernah dia lakukan sama sekali.
Naya berjalan dengan lesu, terlebih ada tiga tas besar yang dibawanya. Karena Naya tak fokus, dia nyaris saja menjadi korban kecelakaan jika saja mobil yang akan menabraknya tidak mengerem saat ia menyebrangi jalan.
Tin!
Suara nyaring yang dihasilkan oleh klakson mobil yang nyaris menabraknya berbunyi. Jantung Naya bahkan hampir lepas dari tempatnya saat melihat ada jarak 5 centi lagi antara tubuhnya dengan mobil.
Dia pun yang terkejut, refleks menjatuhkan dirinya ke jalanan aspal. Alhasil, kedua tangan yang memegang tas berat menjadi tumpuan—hingga membuat luka di bagian telapak tangan.
Sepersekian detik, Naya menetralkan degupan jantungnya yang menggila. Dia hampir saja terbang jikalau pengemudi kendaraan itu tidak refleks menginjak pedal rem.
Sedangkan si pengemudi yang hampir menabrak Naya, keluar dari dalam mobil dengan wajah penuh kekalutan.
Lelaki dengan tuxedo hitam yang nampak terlihat gagah dan tampan itu menghampiri Naya, dia berlutut—memastikan tidak ada luka serius yang Naya peroleh karenanya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki tersebut.
Naya balik menatapnya, ada jeda beberapa detik untuk mereka saling bersitatap dalam diam. Sebelum Naya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan dari lelaki itu.
"Mari saya bantu kamu berdiri." Naya diam saat lelaki itu merangkul bahunya pelan, namun saat Naya akan menegakkan tubuhnya—kaki gadis itu terasa sakit di pergelangannya.
"Aw," ringis Naya yang tanpa sadar membuat laki-laki itu tidak melepaskan rangkulan.
"Sepertinya kaki kamu keseleo, ya? Lebih baik kamu ikut saya dulu." Selanjutnya, Naya merasakan tubuhnya melayang karena digendong ala bridal style oleh lelaki itu dan masuk ke dalam mobil.
Naya diam tanpa banyak bicara mendapatkan perlakuan seperti itu, pun dengan tas-tasnya yang turut dibawa oleh lelaki itu.
Naya tidak tau dia siapa, dan belum ingin berbicara karena masih shock berat.
"Saya akan bawa kamu ke rumah saya, di sana kamu akan mendapatkan pengobatan." Naya masih tetap diam, sampai mobil pun melaju pergi meninggalkan jalanan tersebut.
***
Setibanya di gedung yang menjulang tinggi, Naya baru mau berbicara.
"Sepertinya anda tidak usah repot-repot, Pak. Lagipula, kecelakaan itu juga terjadi karena kecerobohan saya yang tidak lihat-lihat jalanan. Jadi saya mau pergi saja." Naya hendak turun dari mobil, namun sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya.
"Tunggu! Saya hanya tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab nantinya. Kamu cukup turuti saja apa yang saya katakan," katanya lalu keluar dari dalam mobil dan mengitari mobilnya untuk membuka pintu Naya.
"E-eh Bapak mau ngapain?" Naya waspada saat lelaki itu menunduk, lantas menaruh satu tangannya di belakang lipatan kaki dan satu tangan di belakang tengkuknya.
"Kamu sulit berjalan karena keseleo, jadi izinkan saya untuk membawa kamu seperti ini." Sekarang jantung Naya berdegup kencang bukan lagi karena nyaris tertabrak, tapi karena berdekatan dengan lawan jenis— bahkan ia bisa menghirup aroma wangi yang menguar dari pakaian yang dikenakan oleh lelaki yang sedang menggendongnya ini.
"Gue nggak lagi mimpi, kan? Digendong sama seorang pangeran begini?" Naya membatin, dia dengan sangat jelas melihat raut wajah tampan namun terkesan dingin itu.
Harus ia akui, Naya bahkan lupa dengan masalahnya yang telah diusir dari kontrakan—selepas dia bertemu dengan lelaki asing ini. Bagaimana lelaki itu memperlakukannya dengan baik, membuat Naya tidak sama sekali berpikir yang tidak-tidak.
Saat lelaki itu membawanya masuk ke lift, Naya juga masih dalam posisi digendongnya. Tapi dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher karena ada banyak tatapan yang menghakimi dirinya.
"Kira-kira cewek yang digendongnya siapa ya?"
"Apa dia pacar barunya Pak Kaivan?"
"Kalau pacar barunya, kenapa dekil banget?"
Kurang lebih seperti itu bisikan dari orang yang ada di lift bersamanya. Namun laki-laki yang tengah menggendongnya, seakan tuli dengan perkataan mereka.
Sampai pada saatnya pintu lift terbuka, Naya akhirnya bisa menghela nafas lega.
Setelah melewati satu lorong, akhirnya mereka pun sampai di unit yang dituju.
Saat menunggu pintu apartemen terbuka, tiba-tiba si lelaki asing itu menyeletuk pada Naya. "Jangan dimasukkan ke hati, perkataan ibu-ibu tadi yang mengatai kamu dekil."
Naya dibuat tertawa dengan perkataannya. "Saya memang dekil, Pak. Wajar ibu-ibu tadi bilang begitu."
Begitu masuk ke dalam, netra Naya disuguhkan dengan segala kemewahan dari interior, pun dengan peralatan elektronik yang canggih. Dia pun didudukkan di sebuah sofa yang sangat empuk, bahkan lebih empuk berkali-kali lipat dibandingkan kasur busa miliknya.
"Kamu tunggu di sini! Saya akan panggilkan ART saya untuk mengobati kamu," titahnya yang langsung diangguki oleh Naya.
Sepeninggal lelaki itu, Naya mengedarkan pandangan ke seisi ruang tamu apartemen.
"Jadi ini yang namanya apartemen ya? Kesannya sama kayak kontrakan, cuma buat kelas elit doang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Alfan
setelah jalan-jalan aku kasih satu tontonan iklan, semoga kakak suka 🤗
2023-10-06
1