Sore itu mereka tiba di rumah dinas Wira yang berjarak beberapa ratus meter saja dari balai kota tempat Wira bekerja. Rumah itu bergaya joglo klasik berukuran cukup besar dengan teras luas bertiang kayu yang nyaman dan asri. Ketika masuk ke dalam rumah, terlihat aneka hiasan bunga hidup tertata rapi di seluruh penjuru ruangan. Meja dan kursi juga tertata rapi layaknya rumah yang hendak mengadakan hajatan.
“Selamat sore, Pak Wira! Selamat datang.” Sambut Bik Sumi, salah satu pelayan di rumah dinas Wira. “Ini siapa, Pak?”
Wira bingung bagaimana harus menjelaskan tentang Ajeng kepada mereka. “Calon istri saya.”
Bik Sumi langsung menutup mulut menganganya dengan tangan. “Calon istri, Pak? Jadi yang mau nikah Pak Wira?”
“Sudah jangan banyak tanya! Antar saja dia ke kamar tamu.”
“Baik, Pak! Silakan, Bu!”
“Oh ya, Bi. Gimana persiapannya?” tanya Wira lagi.
“Sudah, Pak. Semua sudah beres dan pak penghulu akan datang nanti malam.”
“Bagus.”
“Tunggu!” Protes Ajeng.
“Bi, tolong tinggalkan kami sebentar!” titah Wira.
“Apa kita akan menikah malam ini juga? Kenapa sih mesti buru-buru? Kita kan baru aja sampai.”
Wira mengangguk. “Kamu ngga lihat kalau kita sedang berada di kota kecil. Semalam aja kamu tinggal disini, besok pagi gosip tentang kamu akan langsung menyebar ke seluruh penjuru kota.”
“Ha-ha-ha... memangnya kamu sehebat itu? Sampai-sampai orang mau peduli sama urusan pribadi kamu?” cibir Ajeng.
“Terserah kamu mau bilang apa. Kalau kamu punya pilihan yang lebih baik, kamu bisa pergi dari rumah saya sekarang.” Wira beranjak keluar pergi ke kamarnya.
“Dasar diktator!” rutuk Ajeng sambil masuk ke dalam kamar tamu.
*************
Malam itu mereka menggelar pesta pernikahan sederhana untuk Ajeng dan Wira. Ajeng sudah siap dengan kebaya putih dan Wira dengan setelan hitamnya.
“Bagaimana, sudah siap semuanya?” tanya Pak Penghulu ketika Wira dan Ajeng sudah duduk bersebelahan.
“Pak Wira sudah yakin mau nikahin Bu Ajeng?” bisik Abdi yang duduk di belakang kursi Wira.
“Bukannya kamu bilang butuh Ibu Walikota untuk menghadiri hut darma wanita?” balas Wira yang sukses membuat Abdi terbelalak.
Ia tidak menyangka bahwa Wira nekat menikahi Ajeng yang baru dua hari ditemuinya hanya demi menjaga harkat dan martabatnya sebagai pria di hadapan mantan istri dan mertuanya.
“Siapa nama kamu?” tanya Wira setengah berbisik kepada Ajeng.
“Diah Laksmita Rahajeng.”
“Nama ayah kamu?”
“Suryo Diningrat.”
Wira terdiam sejenak. Ia merasa sangat mengenal nama itu, tapi ia tidak yakin bahwa mereka adalah orang yang sama. Jadi ia melanjutkan upayanya menghafal nama Ajeng dan ayahnya.
Prosesi pernikahan berjalan lancar disaksikan oleh Abdi dan semua pegawai yang bekerja di rumah dinas Wira. Salah seorang pegawai dari dinas kependudukan dan catatan sipil juga sudah ada di sana dan siap mencatat juga membukukan pernikahan keduanya.
“Bagaimana bisa mencatatkan pernikahan tanpa kartu identitas?” Bisik Ajeng kepada Wira.
“Ngga ada yang ngga bisa dilakukan seorang walikota tampan dan cerdas sepertiku.”
Ajeng menyeringai. “Penyalahgunaan kekuasaan!”
“Lebih tepatnya, previlage.” Ujar Wira mengoreksi.
***************
(Sehari sebelum Wira berangkat ke Siliwangi ................)
“Semua agenda rapat sudah dijadwalkan ulang. Sementara undangan di kota Batang Hulu akan dihadiri Pak Rega. Jadwal keberangkatan hari ini juga sudah dikonfirmasi kepada panitia.” lapor Abdi kepada Wira.
“Bagus. Gimana soal relokasi pasar?”
“Lapor Pak! Pak Rega memerintahkan penundaan karena para pedagang menggelar aksi demonstrasi besar-besaran untuk menentang relokasi kemarin. Kabarnya ada satu korban luka, ibu-ibu yang saat ini masih dirawat di rumah sakit.” Imbuh Abdi.
Wira berhenti membaca dan menutup kembali berkas yang hendak ditandatanganinya sambil menghela nafas panjang. Menyadari reaksi kecewa atasnnya itu, Abdi buru-buru menawarkan solusi.
“Apa perlu kita mulai turun tangan dan menggunakan cara kita, Pak?”
“Jangan gegabah! Rega sedang menunggu dan mengawasi kita. Lagipula relokasi itu bukan masalah besar. Kita akan memikirkan solusi lain selagi Rega menundanya.”
“Baik, Pak.”
Sebuah panggilan telpon masuk ke dalam ponsel Wira.
“Ya Pa?”
“Wira, papa dengar ada korban dari bentrok relokasi pasar kemarin. Kenapa hal buruk seperti itu bisa terjadi? Kamu tahu kan kalau ini tahun-tahun penting buat papa?” omel Prabu, ayah Wira.
“Wira tahu, Pa. Wira akan perbaiki segera.” Sahut pria tiga puluh tahun itu pasrah.
“Jangan bikin papa kecewa lagi sama kamu!”
Sambungan telpon terputus.
Sadar tak punya banyak waktu hari itu, ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Setidaknya, ia harus membereskan hal-hal mendesak sebelum ia meninggalkan pekerjaannya untuk menghadiri rapat penting dengan calon investor asing di kota Siliwangi.
“Beres.” Wira merampungkan tanda tangan terakhirnya lalu berdiri dan meraih jaketnya yang tergantung di dinding. “Rapikan dalam lima menit! Saya akan meninjau situasi di pasar wisata sebentar.”
“Maaf, Pak. Soal itu –“
“Gagal juga?” tebak Wira ketika melihat eskpresi wajah Abdi.
“Lapor, Pak. Hari ini hari pertama dan proses pembukaannya berjalan sesuai rencana. Hanya saja, jumlah pedagang yang berpartisipasi hanya tiga dari lima puluh yang terdaftar. Dan satu diantaranya adalah stand pakaian milik Bu Manda yang mendominasi bagian utama venue.”
“Apa?! Kenapa stand-nya Bu Wawali bisa ada di sana? Itu kan stand untuk UMKM binaan?”
“Bu Manda bilang sayang kalau tempatnya ngga terpakai padahal udah bayar sewa mahal-mahal.”
“Tapi kita sewa tempat itu untuk warga, bukan dia.” Keluh Wira kesal.
Wira melemparkan jaketnya, kembali duduk di sofa dan menghembuskan nafas kasar. Dan tanpa menunggu perintah, Abdi bergegas pergi untuk mengambilkan minuman sebelum atasannya itu meledak dan menghancurkan seisi ruangan.
Sebagai seseorang yang sudah terlanjur terpilih sebagai walikota, ia hanya ingin membantu dan memberikan yang terbaik kepada warganya. Ia sengaja membuat acara pekan pasar wisata yang akan digelar seminggu penuh di dekat alun-alun kota agar para pedagang kecil dan UMKM dapet bergerak tumbuh dan berkembang di bawah binaan dinas koperasi kota. Ia menyediakan lima puluh stan gratis bagi para pedagang binaan agar bisa menaikkan omset penjualan dan memperluas pasar mereka.
Tapi setelah apa yang ia persiapkan susah payah, masih saja tak banyak warga yang mau mendukung dan mempercayainya. Para pedagang yang biasanya sangat antusias saat ada even seperti itu, tiba-tiba saja melempem dan tidak mau berpartisipasi hanya karena tahu bahwa Wiralah inisiatornya, bukan Rega, si wakil walikota yang selalu mereka sanjung-sanjung dan bangga-banggakan.
*******************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments