Sehari sebelumnya......
Seorang wanita paruh baya tengah membantu merapikan pakaian yang dikenakan nona mudanya sambil sesekali menyeka air matanya. Ia kemudian tersenyum melihat gadis cantik berambut panjang itu begitu anggun dalam balutan setelan rok sepan dibawah lutut dan blus berlengan panjang berbahan premium tweed wool berwarna biru.
“Non Ajeng baik-baik yah disana! Jangan suka kabur-kaburan lagi!” ujar si wanita dengan suara parau.
“Tapi Ajeng ngga mau dijodohin, Bi... Ajeng masih pengen bebas. Masih banyak yang belum Ajeng lakuin selama ini.” Sahut Ajeng kembali sesenggukan.
“Bibi tahu, Non. Tapi ini adalah perintah Bapak. Bapak sedang mempersiapkan diri untuk terpilih lagi dalam pilpres tahun depan. Jadi Non Ajeng harus selalu nurut dan mendukung Bapak yah?” Bujuk si pelayan kepada nona mudanya itu.
Seorang ajudan tiba-tiba saja masuk dan menyela pembicaraan mereka. “Maaf, Non. Sudah waktunya kita berangkat.”
Dengan berat hati, Ajeng pergi meninggalkan wanita yang telah merawat dan membesarkannya lima belas tahun terakhir ini. Ajeng memasang kacamata hitamnya lalu berjalan dengan sepatu hak tingginya masuk ke dalam limosin yang membawanya menuju Bandara Internasional Brunei bersama dua orang ajudan yang mengawalnya.
Di tengah perjalanan menuju bandara, Ajeng menerima panggilan telpon dari ayahnya. “Hallo, Pa?”
“Jeng, jangan berbuat aneh-aneh yah? Papa, Mama dan calon suami kamu sudah nunggu kamu di rumah.”
“Baik, Pa.” hanya itu yang bisa Ajeng katakan, seperti biasanya.
“Bagus.... Safe flight yah!”
Sambungan telpon terputus begitu saja. Selalu seperti itu. Meskipun sudah hampir lima belas tahun tidak tinggal bersama, tapi percakapan di telpon lebih seperti alarm dan reminder daripada sarana pelepas rindu bagi Ajeng. Karena setiap kali menerima panggilan telepon dari keluarganya di Indonesia, ia hanya mendengarkan apa yang mereka ingin Ajeng dengar saja tanpa memiliki kesempatan mengatakan apapun selain ya, oke dan baiklah.
Bahkan kunjungan mereka ke Brunei lebih terlihat seperti lawatan dinas formalitas daripada kunjungan keluarga. Karena meskipun terbilang dekat dan bisa ditempuh tidak lebih dari tiga jam dengan pesawat terbang, mereka sangat jarang berkunjung. Kalaupun singgah ke sana, biasanya diagendakan tidak lebih dari dua jam dan tidak pernah terlepas dari pengawasan para ajudan yang selalu mengelilingi mereka kapan dan dimanapun.
Itulah kenapa Ajeng selalu merasa asing dengan ayah, ibu dan kedua kakak laki-lakinya. Dan tiba-tiba saja sekarang ia diminta pulang untuk dinikahkan dengan pria yang sama sekali tidak dikenalnya hanya demi kepentingan politik ayahnya. Ajeng benar-benar ingin meledak rasanya. Tapi belum sempat ia membuka mulut, ajudannya sudah mengajaknya turun dari mobil untuk melakukan check in dan boarding.
**************
Pesawat yang Ajeng tumpangi tiba di Jakarta. Dua orang ajudan yang turun bersamanya langsung disambut oleh dua orang ajudan lain yang mengenakan setelan lengkap dengan headset walkie talkie yang selalu mereka gunakan untuk alat berkomunikasi antar satu sama lain.
Ajeng merasa perjalanan hidupnya akan segera berakhir dan tidak akan memiliki kesempatan lain untuk hidup bebas lagi setelah tiba di rumah orang tuanya. Karena itu, Ajeng memberanikan diri untuk mencoba peruntungannya.
“Sori, bisa berhenti sebentar?” tanya Ajeng kepada para ajudan yang berjalan mengelilinginya. “Saya mau ke toilet sebentar.”
Mereka terlihat saling berbicara melalui walkie talkie lalu tak lama kemudian mereka sudah menyebar di beberapa titik di sekitar toilet dan satu orang mengantar Ajeng sampai depan toilet.
“Mau ikut masuk?” sindir Ajeng sambil menunjuk arah toilet wanita.
Dan ajudan yang mengawalnya itu langsung menunduk sambil memegang koper Ajeng. Tidak punya banyak pilihan, Ajeng terpaksa masuk hanya dengan membawa tas jinjingnya saja.
Setelah memastikan semuanya aman di dalam toilet, Ajeng segera membuka tas jinjingnya, mengeluarkan sepatu sneaker, rambut palsu juga setelan celana dan jumper yang sudah disiapkannya. Ajeng bergegas mengganti pakaian dan sepatunya. Kemudian menggelung rambut panjangnya dan mengenakan rambut palsu sebahu berwarna pirang, lalu mengenakan topi dan kacamata hitam seperti yang biasa ia lakukan saat mencoba kabur dari para pengawalnya.
Setelah memastikan penampilannya berubah, Ajeng mengambil uang tunai yang sudah dipersiapkannya lalu memasukkannya ke dalam tas kain lipat yang ia selipkan di dalam tas jinjingnya. Ia kemudian meninggalkan semua barangnya termasuk handphone dan kartu identitasnya di toilet agar tidak mudah dilacak. Ia berjalan santai keluar dari kamar mandi melewati para ajudan yang tidak mengenali penampilannya yang sudah berubah drastis.
Setelah berhasil keluar dari bandara, Ajeng melarikan diri dengan sebuah taksi yang membawanya menuju terminal karena hanya tempat itulah tempat teraman yang terlintas di benak Ajeng. Ia yakin terminal akan lebih mudah dijadikan jalur kabur untuk orang yang tidak mempunyai kartu identitas seperti dirinya daripada stasiun maupun bandara.
Sadar bahwa ia tidak punya banyak waktu, Ajeng berlari menuju jalur bus antar provinsi dan menaiki sembarang bus yang berangkat lebih dulu. Ia harus segera menjauh dari tempat itu sebelum para ajudannya berhasil mengejarnya.
Setelah menaiki bus semalaman, pagi itu, Ajeng akhirnya tiba di sebuah terminal kota kecil bernama Siliwangi. Dari percakapan dengan beberapa orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan, Ajeng mengetahui bahwa meskipun kecil, Kota Siliwangi memiliki banyak tempat wisata alam yang indah. Jadi Ajeng berniat untuk singgah sebentar di sana.
Usai berkeliling dan melihat-lihat, ia berhenti di sebuah rumah makan yang katanya cukup terkenal di Siliwangi. Meskipun awalnya terlihat ragu, rasa lapar membuatnya melabap habis aneka makanan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Mulai dari aneka jajanan tradisional seperti klepon dan putu bambu, sampai makanan berat seperti nasi liwet dan ketupat sayur. Semua disantapnya dengan lahap dan penuh semangat.
Wira yang kebetulan makan di tempat yang sama dengan Ajeng, hampir muntah melihat gadis itu menghabiskan semua makanan yang tersaji di hadapannya seorang diri. Ia belum pernah melihat gadis cantik yang setamak itu sebelumnya.
Setelah membayar makanannya, Ajeng berjalan meninggalkan rumah makan itu dengan sempoyongan. Perutnya nyaris meledak karena kekenyangan. Dan tanpa sengaja, ketika melewati tempat duduk Wira, ia tiba-tiba saja memuntahkan isi perutnya dan mengenai lengan baju Wira. Sontak Wira dan rombongannya langsung berdiri karena merasa kaget dan jijik.
“Maaf....” Ajeng mengambil tisu sebanyak-banyaknya untuk mengelap baju Wira. Ia juga bingung mencari alat untuk membersihkan muntahnya yang tercecer di lantai. Ia bahkan tidak pernah melakukan pekerjaan kasar seperti itu sebelumnya.
Alih-alih mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, Ajeng malah mengeluarkan segebok uang seratus ribuan dan memberikannya kepada Wira.
“Sekali lagi maaf.. saya ngga sengaja. Anggap aja ini ganti rugi biaya cuci baju dan mentraktir makanan yang sudah kalian pesan. Juga untuk membersihkan itu” Ajeng menunjuk lantai yang terkena muntahannya kemudian pergi begitu saja meninggalkan rumah makan itu.
“Dasar cewek gila! Awas aja kalau sampai gue ketemu lo lagi!” rutuk Wira membanting uang pemberian Ajeng ke meja sambil berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
*****************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments