Wira benar-benar kesal dengan sikap Ajeng. Meskipun pernah gagal berumah tangga, tapi ia belum pernah ditolak mentah-mentah oleh cewek seangkuh Ajeng. Terlebih lagi, fakta bahwa ia adalah duda dambaan semua wanita di kotanya.
Wira melemparkan jasnya dengan kasar ke tempat tidur. Ia membuka tirai jendela kaca dan melihat kilatan cahaya petir di langit yang mulai bergemuruh. Hujan pasti akan segera turun dan tiba-tiba saja Wira teringat pada Ajeng yang pergi menggunakan kursi roda tanpa uang sepeserpun di tangannya.
Petir kembali bergemuruh dan Wira bergegas keluar untuk mencari Ajeng. Karena yakin bahwa gadis itu tidak dapat berjalan jauh, Wira memilih untuk berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan. Ia keluar dari hotel menyusuri jalan raya yang mulai sepi ditambah angin yang mulai bertiup kencang hingga menusuk tulang.
Dari kejauhan Wira melihat sebuah mobil berhenti dan seorang pria tengah mengayunkan balok kayu kepada seorang gadis yang berdiri tidak jauh dari kursi rodanya.
“Ajeng?” gumam Wira ketika menyadari bahwa gadis berambut panjang itu adalah Ajeng. Wira berlari menghampiri mereka dan menendang tubuh pria itu sebelum sempat mengayunkan balok kayunya ke tubuh Ajeng.
Buk!
“Aaaaaa!” Ajeng berteriak katakutan.
Pria berpakaian hitam itu tumbang. Wira langsung menerkamnya lalu menghajarnya habis-habisan. Kacamata pria itu terlepas tapi Ajeng sama sekali tidak mengenali pemilik wajah itu. Merasa terdesak dan tidak bisa mengalahkan Wira, pria itu berlari masuk ke dalam mobilnya dan menghilang di tengah kegelapan malam.
“Kamu ngga papa?” tanya Wira.
“Ngga papa. Tapi siapa mereka?”
Wira membantu Ajeng kembali ke kursi rodanya. “Kamu ngga kenal sama orang itu?”
Ajeng menggeleng. “Papa ngga mungkin nyuruh orang buat nyelakain aku. Itu pasti bukan orang-orangnya papa.”
Wira memutar arah kursi roda Ajeng dan membawanya kembali ke hotel.
“Jadi ini cara kamu bertahan?” sindir Wira.
Ajeng menghentikan roda kursinya. “Kalau kamu nolongin aku cuma buat ngehina aku, lupain aja! Aku ngga butuh bantuan kamu. Aku bisa jaga diri sendiri.”
Wira menyingkirkan tangan Ajeng dari roda kursinya lalu kembali mendorongnya masuk ke dalam lobi hotel. “Sebentar lagi hujan dan mereka bisa saja kembali untuk memukul kamu dengan balok kayu yang lebih besar.”
Ajeng bersengut-sengut kesal.
"Sekarang kamu tidak punya banyak pilihan. Ada banyak bahaya yang menunggu kamu di luar sana. Entah ayah kamu atau bukan, faktanya ada orang yang ingin mencelakai kamu. Kamu tidak punya tempat tinggal, tujuan dan uang. Parahnya lagi, kamu sakit dan tidak bisa melarikan diri.” imbuh Wira.
“Kamu pikir aku bakal berubah pikiran hanya karena itu? Nggak!” Ajeng memutar arah kursi rodanya menuju pintu keluar dari lobi. Tapi belum sempat ia berjalan jauh, hujan sudah lebih dulu turun dengan derasnya.
Wira menghampiri Ajeng sambil berbisik, “Sepertinya tidur di bawah hujan di pinggir jalan tidak terlalu buruk.”
“Tunggu!”
Wira menghentikan langkahnya. “Oke. Mari kita bicarakan lagi!”
Wira tersenyum, menghampiri kursi roda Ajeng lalu mendorongnya menuju meja resepsionis. “Saya mau pesan satu kamar lagi.”
“Maaf, Pak. Tapi semua kamar sudah terisi penuh.”
“Sial.” Gumam Wira dalam hati. Ia terpaksa membawa Ajeng menuju kamarnya.
Ia kemudian menyodorkan kembali kontrak pernikahan yang sempat mereka bicarakan sebelumnya. Ajeng membacanya dengan seksama dan yang Wira katakan ada benarnya. Untuk saat ini, ia butuh tempat yang aman untuk bersembunyi karena orang-orang suruhan papanya pasti sedang mencari-carinya di luaran sana. Ia juga tidak punya sepeserpun uang untuk bersenang-senang dan menikmati pelariannya. Lagipula pekerjaan menjadi ibu walikota tidaklah sulit baginya.
“Bagaimana cara kamu melindungi aku?” tanya Ajeng.
Wira mengambil sebuah peta dengan judul Kota Carang Sewu lalu meletakkannya di atas meja. “Carang Sewu adalah sebuah kota kecil yang berbatasan dengan pantai disisi utara, kota Sido Bener di sisi barat dan selatan, juga Kabupaten Sumber Arum di sisi timur. Ini adalah tiga jalan masuk utama menuju Carang Sewu. Meskipun kecil, kota kami terkenal dengan sistem pengamanannya yang terkoordinir dengan sangat baik. Kami memiliki tiga pos penjagaan utama yang memiliki catatan lengkap tentang keluar masuknya warga dari dan ke kota kami. Jika ada orang asing yang mencurigakan, mereka akan langsung memberi tahu saya sehingga kamu memiliki waktu untuk melarikan diri melalui jakur rahasia ini.”
“Wah!” sahut Ajeng terpesona oleh penjelasan Wira. "Cukup menakjubkan untuk kota seukuran Carang Sewu dan walikota sekelas.... Kamu."
“Tapi kamu masih punya kesempatan untuk menolak dan pergi dari sini sekarang juga.” Sindir Wira membalikkan cibiran Ajeng.
“Hanya jam delapan sampai empat aja kan?”
Ajeng langsung menarik kertas yang ditulis Wira, menggarisbawahi jam kerjanya, menambahkan beberapa klausul tentang menjaga privasi dan jaminan perlindungan lalu membubuhkan nama dan tanda tangannya.
“Untuk meyakinkan orang-orang dan menghindari kecurigaan, kita harus menggelar pernikahan sungguhan.”
“Kapan kita akan menikah?”
“Besok setelah tiba di rumah.”
*********************
“Malam ini saya akan tidur di sini bersama kalian. Karena kamar sebelah akan digunakan Ajeng.” Ujar Wira kepada teman-temannya yang tidur di kamar sebelah.
“Maaf, Pak. tapi tempat tidur di sini sudah penuh dan kami tidak bisa menampung lebih banyak orang lagi.” Sahut Akbar, pegawai Dinas Perdagangan dan Industri.
“Bukannya kalian suami istri?” imbuh Heri, Kabid Kerjasama Pemkot Carang Sewu.
“Sekali lagi kami maaf.” Sahut Abdi sambil mendorong Wira keluar dan mengunci pintunya dari dalam.
Wira terpaksa kembali ke kamarnya. “Ngga ada cara lain. Malam ini kita akan berbagi kamar.”
“Apa?!”
“Jangan berharap macam-macam. Saya bukan pria murahan yang suka menyentuh wanita sembarangan.” Ujar Wira sambil membawa bantal ke sofa.
“Apa? Wanita sembarangan?” sahut Ajeng tak terima diremehkan. Tapi karena tidak punya pilihan lain, ia memilih untuk menarik selimut lalu masuk ke dalamnya dan tidur memunggungi Wira yang tertidur di sofa. Meskipun berusaha tidur, tapi ia masih tidak nyaman karena balutan kakinya kotor gara-gara insiden balok kayu tadi.
***********************
Ketika bangun keesokan paginya, Ajeng melihat Wira sudah siap dengan pakaian rapinya dan koper yang tertata di depan pintu.
“Buruan mandi! Kita harus pulang sekarang.” Ujar Wira sambil melempar setelan jumper Ajeng yang sudah dicuci bersih ke atas ranjang lalu menyeret kopernya keluar kamar.
Pria itu kemudian turun untuk sarapan dan meninggalkan Ajeng seorang diri di kamar. Ketika menurunkan kakinya ke lantai, Ajeng melihat balutan kaki kirinya sudah diganti dengan yang baru dan kaki kotoran di kaki kanannya juga sudah bersih.
********************
Karena sudah merasa lebih baik, setelah mandi Ajeng turun dengan berjalan kaki menuju kantin hotel. Di sana Wira dan teman-temannya sudah siap menunggu Ajeng sarapan lalu pulang kembali ke kota mereka, Carang Sewu.
“Turun!” titah Wira ketika Abdi sudah siap duduk di kursi kemudi.
Abdi yang masih bingung terpaksa turun lalu pindah ke kursi belakang bersama Akbar dan Heri. Wira kemudian membukakan pintu penumpang depan untuk Ajeng lalu ia sendiri duduk di kursi kemudi.
Merasa mendapatkan kesempatan langka bisa bersantai-santai selama perjalanan, Abdi meregangkan otot-ototnya dengan menggeliat sepuasnya di kursi belakang dan besiap tidur demi menghindari lirikan tajam mata Wira dari kaca spion.
“Pak, kok lewat sini? Pak Wira kan paling ngga suka lewat sini? Bapak bilang jalannya jelek dan memutar jauh.” Tanya Abdi ketika Wira mengambil jalur yang berbeda dari biasanya.
“Jangan banyak protes! Kan saya yang mengemudi?”
“Maaf, Pak Bos.”
“Mulai sekarang, kamu harus melewati jalur ini ketika membawa Bu Ajeng. Dan kamu juga harus selalu memantau pos perbatasan di semua titik. Kalau ada orang asing yang gerak-geriknya mencurigakan, segera lapor saya! Jangan sampai kecolongan!"
“Baik, Pak. Akan saya koordinasikan.”
*****************************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments