Syukurlah. Mereka baik-baik saja. Tapi Alisandra sedih karena jumlah pengawal yang tewas juga tidak sedikit.
"Aahh ... sial. Kenapa bisa serusak ini?" Gibran Wiranata menyugar rambutnya, melihat mansion besarnya yang kini hancur enam puluh persen.
Allison, pemuda itu menatap sang daddy dengan aneh. "Kenapa Daddy harus mengeluh setelah semuanya selesai? Kenapa tidak dipikir dulu sebelum meledakkan meriam? Kamarku rusak, gitar dan keyboard-ku raib tak bersisa— Aww!"
Maria mencubit Allison dengan keras hingga anak itu meringis kesakitan.
Alisandra pun menatap adiknya malas. Kenapa bocah itu harus memikirkan kamarnya di saat semua orang hampir saja mati?
Sementara Gibran, ia menoleh pada Harley yang sejak tadi bergeming. Saat ini mereka tengah berkumpul di ruang majelis yang masih utuh dari kerusakan. Para anak buah Wiranata yang lain kini sibuk membereskan bangkai helikopter serta tubuh para korban yang tewas.
Merasa diperhatikan, Harley pun menoleh pada tuannya. "Anda yang mengijinkan saya," kilahnya datar.
"Astaga." Gibran hanya bergumam sambil menghela nafas.
"Lagi pula kita perlu menyerang pasukan mereka yang berkumpul sekitar 200 meter dari sini." Harley melanjutkan.
Semua orang hanya bisa menghela nafas. Para pekerja dan pelayan sudah diamankan ke ruangan lain yang lebih aman. Untuk sementara mereka akan tidur di sana sebelum nanti dipindahkan, bagi mereka yang masih ingin bekerja.
Gibran tak memaksa beberapa dari mereka yang ingin berhenti, ia akan memberikan kompensasi sebagai bentuk ganti rugi.
"Setelah ini kau bawa anak-anak ke penthouse. Aku akan minta Nick kemari untuk membantu menyelesaikan ini," ujarnya pada Harley. Gibran lalu menoleh pada istrinya. "Besok kamu pulang duluan ke Indonesia. Aku sudah siapkan keamanan untuk kepulanganmu."
"Lalu Koko?" Maria balik mempertanyakan suaminya.
"Aku akan di sini dulu dan mencari tahu akar dari masalah ini. Maaf, mungkin untuk sementara kita berpisah. Ini juga demi keselamatanmu. Membiarkanmu menemaniku di sini tidak menjamin kita semua aman. Aku sudah hubungi ayahmu. Dia setuju kamu pulang."
"Bagaimana bisa aku pulang, sementara suami dan anak-anakku ada di sini? Terlebih, setelah peristiwa ini?"
"Plum, please ..." mohon Gibran.
Maria tak membantah lagi. Ia tidak ingin memperumit masalah seandainya bertengkar dalam situasi seperti ini. Lagi pula, Sandra dan Allison masih harus sekolah.
"Baiklah," putus Maria berat hati.
Gibran mengelus rambut sang istri dan mengecupnya sekilas. "Pergilah bersama Harley dan anak kita. Sementara kau ikut mereka ke penthouse, besok Dante akan menjemputmu ke bandara."
Ia menoleh pada Harley, memberi isyarat pada lelaki itu untuk segera bergerak. Harley mengangguk patuh dan menyentuh earpiece di telinga untuk bicara pada salah satu rekannya.
"Siapkan mobil. Kita akan bawa Nyonya, Nona dan Tuan Muda pergi dari sini. Sertakan juga beberapa pengawal untuk berjaga-jaga."
Peristiwa malam itu membuat Gibran kewalahan membungkam media supaya berita buruk ini tidak tersebar. Bagaimana pun saham perusahaan sedang naik, ia tentu tidak akan membiarkan kejadian tersebut mengguncang bisnisnya.
Harley membawa Alisandra, ibu serta adiknya pindah dari sana. Dibanding Allison yang terus merengut, merasa sedih karena benda-benda kesayangannya rusak, Alisandra justru lebih banyak diam.
Harley sempat beberapa kali memperhatikan gadis itu. Ia takut kejadian ini membuat Sandra trauma hingga tak mampu bersuara.
"Kamu baik-baik saja?" Harley bertanya ketika mereka menunggu Maria dan Allison. Mereka akan berangkat malam ini juga ke penthouse yang ada di kota lain.
Alisandra menoleh pada Harley. Ia pun menjawab dengan suara sedikit lesu. "Ya. Aku hanya terkejut, dan takut ..."
Untuk sesaat Alisandra tak melanjutkan ucapannya.
"Apa ini masih berhubungan dengan pengeboman yang menewaskan Kakek Buyut waktu itu?" Ia tiba-tiba bertanya pelan. Matanya pun meredup. Sandra pasti merasa sedih mengingat kembali apa yang terjadi pada kakek buyutnya, Romanjaya Wiranata, yang tewas akibat penyerangan beberapa tahun silam.
Harley bergeming. Ia tak berani menyimpulkan dan memilih bungkam sampai akhirnya Maria datang bersama Allison, siap untuk pergi meninggalkan mansion yang sudah luluh lantak sebagian.
"Ayo."
Harley mengangguk. Tak lupa ia berpamitan pada Gibran sebelum membawa ketiganya pergi dari sana.
Sepanjang perjalanan Harley tak berhenti memikirkan pertanyaan Alisandra. Pun gadis itu masih nampak murung, kendati di luar ia terlihat tenang.
Harley menghela nafas. Alisandra dan Allison, remaja sekecil mereka seharusnya bisa memiliki kehidupan yang lebih damai dan tenang.
Nyatanya setelah keruntuhan Willis puluhan tahun silam, ketenangan itu hanya bertahan beberapa saat, sebelum bertahun-tahun kemudian ancaman kembali datang, dengan peristiwa yang dialami Romanjaya sebagai permulaan.
"Mommy, besok aku tidak akan sekolah, kan?" celotehan Allison memecah kesunyian dalam mobil yang sejatinya masih diliputi ketegangan. Harley tahu, dalam hati mereka pasti masih merasa takut dan khawatir.
Terdengar decakan dari istri Gibran Wiranata itu. "Apa kamu sudah sangat pintar sampai tidak mau sekolah lagi?"
Allison mengerucutkan bibir mendengar sindiran sang mommy. Ia lalu beralih pada Alisandra di sebelahnya. "Kakak, kau akan sekolah?"
"Aku ada ulangan," jawab Alisandra datar.
Allison pun menyerah. Ia berdecak tak bertanya lagi, karena sudah pasti Alisandra akan tetap sekolah.
"Bilang saja kau malas," celetuk sang mommy, yang duduk di kursi penumpang sebelah Harley yang menyetir.
Mobil-mobil lain mengiringi mereka dari depan dan belakang. Kesannya sudah seperti pejabat negara yang dikawal, itu pikir Allison. Tidak, sepertinya keluarga mereka jauh lebih heboh dari petinggi negara sekalipun.
"Berhentilah membolos, atau Daddy akan membekukan rekeningmu," tutur Maria melanjutkan. Wanita itu lalu menoleh pada Sandra.
"Sandra, kamu yakin besok masih bisa ikut ulangan? Perlengkapan sekolahmu sebagian hilang, dan mungkin buku pelajaranmu juga. Kamu mau Mommy bicara pada wali kelasmu?"
Namun Sandra menggeleng. "Tidak perlu. Aku bisa melakukannya. Lagi pula untuk buku, Bianca bisa membantuku untuk mendapatkan yang baru. Aku akan menyalin catatan yang hilang darinya."
Harley melirik gadis itu melalui spion. Ia tak bicara apa pun, membuat suasana hening kembali karena tak ada yang bersuara setelah itu.
Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah gedung apartemen mewah dengan teknologi dan keamanan terbaik. Penthouse Gibran berada di lantai paling atas gedung tersebut, dan penjaga di sana yang sebelumnya sudah diberi kabar mengenai kedatangan mereka langsung sigap menyambut.
"Nyonya Wiranata, kami sudah menunggu kedatangan anda. Mari, kami akan antar kalian masuk." Seseorang menyapa menggunakan bahasa Inggris.
Maria mengangguk. Ia menoleh pada Allison dan Alisandra di sebelahnya, dan merangkul mereka dengan sedikit usapan menenangkan. "Ayo, Mommy harap kalian bisa betah tinggal di sini. Mommy akan temani kalian sampai besok. Dan untuk ke depannya, tidak perlu khawatir, Harley dan Dante akan menjaga kalian."
"Mommy harap kejadian ini tidak menyurutkan kalian untuk tetap bersekolah. Kalian mengerti?"
Alisandra mengangguk, begitu pula Allison yang mau tidak mau harus berdamai dengan situasi.
Maria tersenyum. Mereka pun masuk dan menaiki lift khusus untuk mencapai lantai tertinggi, di mana penthouse yang akan mereka tinggali berada.
Harley mengikuti dari belakang, dan matanya tanpa sadar terus memperhatikan Alisandra yang sejak tadi terdiam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Hani Ekawati
Pendidikan nomor satu ya Mommy cantik 😍👍👍👍
2023-09-24
0
Hani Ekawati
Koko setiap memilih tempat digedung pasti milih yg paling atas belajar dari pengalaman Maria waktu dirawat di RS ada yg menyerang.
2023-09-24
0
Hani Ekawati
Jangan salah kadang keluarga konglomerat pengawalannya malah lebih ketat loh.
2023-09-24
0