Chandra dan Marvin pun kembali keluar dari rumah baru Chandra. Sementara waktu Chandra akan tinggal di apartemen Marvin. Sambil menunggu orang interior datang dan membawakan furniture yang sudah dipesan oleh Marvin.
"Mungkin besok atau lusa mereka akan datang merenovasi rumahmu," ujar Marvin.
"Hmm, baiklah. Kau sudah memberikan nomor ponselku pada mereka kan?" tanya Chandra.
Marvin pun mengangguk. "Sudah," jawabnya.
"Mau gantian mengemudi?" tanya Chandra.
Marvin menggelengkan kepalanya. "Tidak usah!" tolak Marvin.
"Oke,"
Mobil pun melaju meninggalkan perumahan tempat tinggal baru Chandra. Perumahan itu masih sangat sepi, karena perumahan tersebut sangatlah baru. Jadi baru ada beberapa rumah yang sudah dihuni, dan selebihnya masih banyak yang kosong.
"Sebaiknya kita makan siang dulu, Vin. Aku sudah sangat lapar," ucap Chandra.
"Oke, kita mau makan dimana?" tanya Marvin.
"Terserah kau saja! Tempat biasa kita nongkrong juga boleh," jawab Chandra.
Marvin mengangguk. "Kita ke tempat biasa saja," ucap Marvin pada akhirnya.
Marvin terus melajukan kendaraannya menuju cafe tempat biasa mereka berkumpul. Selama perjalanan mereka terus berbincang mengenai bisnis masing-masing. Mereka juga diam-diam membicarakan Sagara dan Vesha, bahkan dengan terang-terangan Marvin mengatakan kalau dirinya menyukai sahabatnya Vesha.
"Wanita jutek dan galak itu?" tanya Chandra yang tidak percaya dengan sahabatnya itu.
Marvin mengangguk seraya tersenyum. "Kenapa, apa ada yang salah?" tanya balik Marvin.
"Ya, tidak ada sih! Hanya saja…" Chandra menjeda ucapannya, nampaknya ia sangat ragu untuk mengatakannya.
Dagi Marvin berkerut. "Hanya saja apa?" desak Marvin.
Chandra menghela nafasnya. "Apa kau yakin dengan perasaanmu itu?" tanya Chandra.
Marvin menaikkan satu alisnya. "Apa kau meragukanku?"
Chandra tertawa kecil. "Jujur saja iya, aku meragukan perasaanmu itu yang menyukai Shena. Karena setahu aku, tipikal wanita yang kau inginkan itu tidak ada di Shena. Makanya aku bertanya apa kau yakin dengan perasaanmu itu?" cetus Chandra dengan ekspresi wajah yang tidak yakin.
Marvin berdecak kesal. "Aku sangat yakin dengan perasaanku ini, Chan. Entah kenapa aku merasa kalau Shena itu wanita yang berbeda dari wanita yang pernah aku kenal dan dekat denganku," jawab Marvin dengan ekspresi wajah penuh keyakinan dalam dirinya.
Chandra mengempotkan pipinya, lalu ia tersenyum miring. "Oke, kalau memang kamu sudah yakin dengan perasaanmu itu. Aku hanya bisa mendukungmu saja," Chandra menepuk pundak Marvin.
"Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Vin." tambah Chandra.
"Apa?" tanya Marvin seraya mengerutkan keningnya.
"Apa kamu tahu kalau cinta itu begitu abstrak? hingga semua orang bisa membicarakannya. Namun sayangnya sedikit sekali yang benar-benar bisa melihatnya," tanya Chandra.
Marvin melirik sekilas ke arah Chandra. Lalu ia membasahi bibirnya yang terasa kering dengan lidahnya sebelum menjawab pertanyaan Chandra.
"Hmm, aku tidak tahu tentang hal itu. Tapi yang aku tahu, bahwa orang-orang yang sedang jatuh cinta memiliki kondisi psikologis yang berwarna. Sampai terkadang mereka juga lupa bahwa cinta bisa memberikan keterpurukan," jawab Marvin.
Chandra mengangguk pelan. "Iya, kau benar. Saat kau memutuskan untuk melabuhkan cintamu kepada seseorang, maka kamu juga harus mempersiapkan segalanya. Karena kemungkinan bisa terjadi cinta tersebut akan berbalik menyakitimu," ucap Chandra terdengar begitu lirih, bahkan tatapannya pun terlihat begitu nanar memandang arah kaca depan mobil.
Marvin bergeming mendengar ucapan Chandra yang mencelos hatinya. Marvin pun melirik dan menatap ke arah Chandra. Marvin dapat menangkap raut sedih dari sahabatnya itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Marvin seraya menyentuh pundak Chandra.
Chandra tersadar dari lamunannya. Ia pun tersenyum dan menoleh ke arah Marvin. "Ya, aku baik-baik saja." Chandra menepuk tangan Marvin yang masih ada di pundaknya.
Chandra segera mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela saat matanya mulai terasa panas. Chandra tidak ingin Marvin tahu kalau saat ini dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Nyatanya rasa sakit itu masih begitu terasa hingga saat ini. Bahkan aku baru tersadar bahwa luka di hati ini begitu dalam," lirih Chandra dalam hatinya.
Mereka telah tiba di sebuah cafe tempat biasa mereka berkumpul. Kedua pria itu langsung keluar dari mobil setelah Marvin memarkirkan mobilnya.
Chandra dan Marvin duduk di tempat biasa, entah kebetulan atau memang sudah menjadi tempat duduk favorit mereka di restoran tersebut. Tempat itu selalu kosong, dan hanya mereka saja yang mengisi kursi tersebut.
Mungkin memang benar tempat itu memang selalu di khususkan untuk menyambut kedatangan Marvin dan teman-temannya. Karena nyatanya pemilik cafe tersebut adalah salah satu kerabat Marvin. Jadi pria itu sangat mengenal pemilik cafe & resto tersebut. Mereka pun memesan makanan seperti biasanya.
"Kau sudah bertemu dengan pemilik cafe ini, Vin?" tanya Chandra.
Marvin mengangguk. "Sudah, dia bahkan ingin bertemu denganmu." Jawab Marvin.
"Oke, kabari aku saja untuk kelanjutannya seperti apa," ucap Chandra.
"Siap!"
Mereka kembali berbincang-bincang hal ringan dan sesekali membahas bisnis otomotif yang sedang digeluti oleh Marvin.
"Oh, ya! Motorku masih ada di apartemen kamu kan, Vin?" tanya Chandra.
"Hmm, baru saja aku servis sekalian ganti oli." Jawab Marvin.
"Thanks, nanti tagihannya kau kirim saja ke WhatsApp."
Marvin hanya mengangguk, dan tidak lama pesanan mereka pun tiba. Mereka makan begitu lahap, sepertinya cacing dalam perut mereka sudah sangat lapar.
Marvin dan Chandra sudah selesai dengan makan siang mereka. Lalu keduanya pun keluar dari cafe tersebut dan kembali menuju apartemen Marvin.
Beberapa menit kemudian, mobil Marvin sudah tiba di parkir gedung apartemen. Mereka berdua pun masuk ke dalam menuju lantai 10 dimana unit tempat tinggal Marvin berada. Marvin pun membantu membawa barang bawaan milik Chandra.
"Apa yang kamu bawa sih, Chand?" tanya Marvin.
Chandra mengulum senyumnya. "Kenapa, berat ya?" tanya balik Chandra.
Marvin berdecak kesal. "Kamu tuh habis balik kampung atau habis pindahan sih? Bawa barang sampai berat begini," keluh Marvin.
Chandra terkekeh melihat sahabatnya yang kesulitan membawa barang bawaannya.
"Itu isinya oleh-oleh," jawab Chandra.
Mata Marvin berbinar ceria. "Serius?"
Chandra hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
"Wah," Marvin langsung mengangkat kardus yang berisikan oleh-oleh.
Chandra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat kelakuan sahabatnya itu.
Marvin segera meletakkan kardus yang cukup berat itu, lalu ia menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa sambil merenggangkan otot-otot nya yang mulai terasa kaku.
Tidak lama ia pun berdiri dan berjalan menuju laci yang ada di dekat televisi. Chandra hanya bisa memperhatikannya saja sambil menggelengkan kepalanya saat Marvin tidak sabaran membuka kardus tersebut.
"Wah, ini banyak banget!" Marvin berkata begitu bahagia.
"Aku sengaja membawa banyak untuk kau dan yang lainnya," cetus Chandra.
Marvin menoleh sekilas ke arah Chandra. "Kau mau bagi buat siapa saja?" tanya Marvin.
"Kamu, Langit, Sagara, Vesha, Tuan Bryan dan orang tuamu." Jawab Chandra.
"Sebaiknya kamu bantu aku untuk membaginya rata biar semuanya kebagian," tambah Chandra.
Marvin pun mengangguk dan langsung membaginya sama rata. Dalam kardus berisikan oleh-oleh khas Yogyakarta itu, ada coklat monggo, keripik tempe sagu, bakpia pathok basah dan tas kerajinan berbahan dasar kulit.
"Sepertinya kau sudah mempersiapkannya dengan sangat baik," cetus Marvin saat melihat goodie bag yang sudah disiapkan oleh Chandra.
Chandra tersenyum. "Aku tidak ingin repot dan merepotkan orang lagi," jawab Chandra.
"Kapan kau akan kerumah Vesha?" tanya Marvin.
Chandra mengangkat kedua bahunya. "Mungkin nanti malam," jawabnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Rohad™
Izin jejak thor, 30-07-2024 | 08.25
2024-07-30
1