Rumah Sakit

Air dan Bunda Kania sudah bersiap untuk pergi ke hotel tempat di adakannya acara perusahaan dimana Ayah Taruma bekerja. Air begitu berat meninggalkan Arka walau Bunda sudah mengatakannya berkali-kali jika Arka akan baik-baik saja. Namun entah mengapa Air memiliki firasat yang kurang baik dan entah apa itu.

"Sudah ayo pergi kasian nanti Ayah khawatir lagu kita belum sampai. Bukannya Dara juga sudah berada di sana bersama Alana." Bunda Kania.

"Iya Bun. Sebentar lagi aja. Lala juga masih di rumahnya." Air.

"Iya tapi rumah Lala lebih dekat dengan hotel Air." Bunda Kania.

"Iya iya Bunda. Ayo berangkat. Bye bye sayang..." Air.

Membutuhkan waktu tiga puluh menit hingga sampai di hotel. Air dan Bunda Kania langsung menyapa Tuan Anggara dan Nyonya Kamelia. Kemudian mereka pun masuk namun Aor dan Bunda Kania tidak menemukan Ayah Taruma padahal seperti yang sudah di janjikan Ayah akan menemui mereka berdua di depan bersama Tuan Anggara.

Bunda Kania dan Air pun segan untuk bertanya pada Tuan Anggara atau Nyonya Kamelia. Karena merasa sungkan akhirnya Bunda Kania hanya mengirimkan pesan pada Ayah Taruma jika mereka sudah berada di hotel. Hingga acara akan di mulai Ayah Taruma belum juga menampakkan dirinya membuat Bunda Kania gelisah dan itu di rasakan oleh Air. Bahkan Air enggan meninggalkan Bunda Kania sekedar untuk menemui ketiga sahabatnya.

"Ada apa Bun?" Tanya Air.

"Hah! Tidak ada. Kenapa?" Bunda Kania.

"Air lihat sejak tadi Bunda gelisah dan terus melihat ponsel." Air.

"Tidak apa-apa. Bunda hanya takut Ayah menelepon atau mengirim pesan dan Bunda tidak mendengarnya karena disini sangat ramai." Elak Bunda.

"Tenang saja Bunda. Air pake ini kok jadi klo Ayah telfon Bunda ga di angkat pasti Ayah telfon Air." Jawab Air sambil menunjuk pada telinganya.

"Tapi," Ucap Bunda terjeda.

"Apa perlu Air tanya sama Om Baret Bun? Itu di sana ada Om Baret." Tunjuk Air pada rekan kerja Ayah Taruma.

"Tidak perlu. Ayah mungkin sedang sibuk." Bunda.

Namun, belum Air dan Bunda Kania menghampiri Om Baret. Om Baret malah menghampiri mereka berdua dengan wajah panik.

"Air, Mba Kania. Kalian di sini." Om Baret.

"Ada apa Om?" Air.

"Sebaiknya kalian ikut saya." Om Baret.

"Ada apa Bar?" Bunda Kania.

"Ikut saja dulu Mba." Baret.

"Tapi Om, ga enak ini udah mau mulai acaranya." Air.

"Ini lebih penting Air." Om Baret menampakkan wajah yang serius dan tegang.

Seketika Bunda Kania dan Air pun menegang. Bunda Kania menatap Air begitupun sebaliknya. Kemudahan mereka berdua pun mengikuti perintah Baret. Namun sebelumnya Baret menghampiri Tuan Anggara dan membiarkan sesuatu padanya dan wajah Tuan Anggara pun memucat. Seketika Bunda Kania dan Air pun kembali saling berpandangan.

"Pergilah lebih dulu, saya akan meminta acara di mulai sekarang. Setelah ini saya akan menyusul kalian semoga tidak terlambat." Tuan Anggara.

"Baik Tuan." Baret.

Sebelum melangkahkan kakinya Tuan Anggara mengusap lembut kepala Air membuat Air semakin di liputi berbagai pertanyaan di benaknya namun Air berusaha bersikap biasa saja berbeda dengan Bunda Kania yang sudah semakin resah.

Air dan Bunda Kania hanya mengikuti saja langkah Baret hingga langkah mereka menuju tempat parkir. Air dan Bunda Kania saling berpandangan karena mereka di bawa kembali ke mobil. Baret membukakan pintu penumpang untuk Bunda Kania dan Air.

"Silahkan Mba, Air Masuklah." Baret.

Tanpa bertanya Bunda dan Air pun masuk ke dalam mobil. Dara, Lala dan Aluna saling bertanya ada apa dengan Air dan Bunda Kania mengapa mereka berdua pergi tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Pasalnya Lala baru saja tiba di hotel.

"Apa lu ga tau apa-apa Lun?" Lala.

"Ngga ada La. Ini juga Papi majuin acara pasti ada yang urgent." Aluna.

"Ya udah kita fokus ke acara dulu biar nanti kita langsung temui Air. Chat gw belum di balas sama dia." Dara.

Acara pun di mulai. Sementara Air dan Bunda Kania pergi bersama Om Baret dan supir. Bunda Kania dan Air saling berpegangan tangan ketika mobil yang di kemudikan supir memasuki area rumah sakit. Dada Bunda Kania semakin bergemuruh juga dengan Kania namun keduanya masih bisa menyembunyikannya.

"Mari Mba, Air kita turun." Ajak Om Baret.

Lagi-lagi Bunda Kania dan Air tak menjawab apapun mereka berdua mengikuti langkah Om Baret hingga langkah mereka terhenti di depan ruangan yang bertuliskan ICU. Bunda Kania menegang kala melihat siapa yang tengah berbaring di balik kaca besar dengan selang yang terpasang di hampir seluruh bagian tubuhnya. Tanpa di minta air mata menetes di pipi mulus Bunda Kania.

Air menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang di lihatnya Air matanya keluar dengan deras tanpa suara tangisannya. Kemudian Air memeluk Bunda yang masih diam mematung.

"Saya minta maaf Mba. Mas Taruma terkena serangan jantung." Om Baret.

Brugh....

"Bundaaa...." Teriak Air yang melihat Bundanya ambruk.

"Biar saya bawa Bunda kamu Air." Om Baret.

Bunda Kania segera di bawa ke ruang perawatan khusus yang telah di sediakan oleh Tuan Anggara. Bunda Kania pun segera mendapatkan penanganan. Sementara Air duduk bersimpuh di depan ruang perawatan Bunda Kania. Fikirannya kalut hanya Rain yang ada dalam fikirannya. Air pun segera menghubungi Rain dan mengatakan apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya. Rain pun syok, Alvin segera memesan tiket kepulangan dan menyerahkan pekerjaannya pada asistennya.

"Air,,," Panggil Bunda Kania lirih saat baru saja sadar.

"Bunda huuuaaaa..." Tangis Air pun kembali pecah sambil memeluk Bundanya.

"Mba Kania. Mba sudah sadar. Saya panggilkan dokter." Om Baret.

"Tidak perlu Baret. Saya hanya ingin melihat suami saya." Bunda Kania.

"Mas Taruma dalam pengawasan dokter Mba. Sebaiknya Mba pulihkan kondisi Mba terlebih dahulu. Ada anak buah saya menunggu di sana." Om Baret.

"Terima kasih Bar." Bunda Kania.

"Saya yang seharusnya berterima kasih pada kamu Bar. Kamu sudah menolong Mas Taruma." Bunda Kania.

"Itu sudah menjadi kewajiban saya Mba." Om Baret.

Kemudian Om Baret pun duduk di sofa yang berada di ruangan itu sementara Air masih berada dalam pelukan Bunda Kania. Tak lama terdengar ketukan di pintu kamar dan ternyata Tuan Anggara beserta yang lainnya.

"Airin." Aluna.

"Huuuaaaaa...." Air hanya menangis memeluk sahabatnya.

Mami Kamelia pun menangis memeluk Bunda Kania. Tuan Anggara pun tak kuasa menahan air matanya. Namun Tuan Anggara segera menepisnya demi menguatkan keluarga dan orang-orang yang di kasihinya.

"Bersabarlah Nia. Taruma pria yang kuat. Dia akan kembali sehat seperti sedia kala." Ucap Tuan Taruma.

"Terima kasih Tuan. Saya tidak tau harus berbuat apa." Bunda Kania.

"Kamu harus sehat Nia. Taruma akan sangat bersedih jika kamu seperti ini." Mami Kamelia.

"Ya."

🌼🌼🌼

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!