Chapter 2

Hari mulai beranjak sore. Namun Luna belum mendapatkan objek yang menurutnya aman untuk ia teliti. Dari sekian banyak anak punk yang ia temui, rata-rata dari mereka menyambut Luna dan Cici dengan ekspresi yang tak bersahabat.

"Udah sore, Lun. Balik yuk!" ajak Cici. Ia mulai merasa lelah karena terlalu lama berjalan.

Luna yang merasa iba pada sang sahabat pun menyetujui ajakan Cici. Mungkin besok bisa ia lanjutkan lagi mencari nara sumber yang aman dan lebih wellcome padanya. "Ya udah deh, yuk! Kasihan Tuan Putri udah kecapean,"

Keduanya berjalan keluar dari gang-gang sempit agar lebih cepat sampai ke jalan raya. Disepanjang sisa jalan yang mereka lalui, Luna dan Cici tak banyak bicara. Betis keduanya mulai terasa begitu pegal dan ingin segera sampai rumah dan segera beristirahat.

Tiba-tiba, Luna menarik tangan Cici dan berbelok ke arah sekumpulan anak punk yang sedang asik bercanda didepan sebuah warung kecil pinggir jalan.

Luna mendekat ke arah pemuda pemudi yang berpenampilan tak seseram anak punk lainnya yang sudah mereka temui. Gadis itu membiarkan Cici yang menghentikan langkahnya dipinggir jalan. "Sore, Mbak dan Mas!"

Orang-orang itu menghentikan candaan mereka, menoleh kearah Luna yang berdiri sambil memberikan senyum ramahnya.

"Sore juga. Ada apa ya, Mbak? Mau cari alamat?" sahut seorang diantara mereka dengan wajah yang terlihat serius menatap Luna. Ia juga melirik sekilas kearah Cici yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Euum ... begini. Perkenalkan, nama saya Luna dan dia Cici." Luna menunjuk kearah sang sahabat yang mengangguk sambil tersenyum kearah mereka. "Kami mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas XX. Kami ... terkhususnya saya, sedang mencari beberapa nara sumber sebagai penelitian untuk melengkapi data yang saya butuhkan dalam pembuatan skripsi. Apa Mbak dan Mas-nya bersedia menjadi nara sumber untuk saya?" Ia menatap satu persatu jajaran orang yang kini juga sedang menatapnya.

Hati Luna mulai harap-harap cemas, jangan sampai mereka menolak permintaan yang Luna ajukan dan kehilangan kesempatan emas yang ada dihadapannya saat ini.

"Kalau kita bersedia buat bantu Mbak-nya, kita bakal dapat apaan?" celetuk seorang diantara mereka.

Sudah Luna duga, semua pasti tidak bisa Luna dapatkan secara gratis. Sepertinya ia harus mengeluarkan modal yang lumayan agar bisa segera melakukan riset terhadap anak jalanan ini.

"Sebagai imbalannya, saya akan kasih kalian uang saku. Bagaimana? Setuju?" Luna yakin orang-orang ini akan setuju dengan penawaran yang ia beri.

Tak butuh waktu lama bagi Luna untuk mendapat jawaban, anak-anak punk langsung berseru menyetujui kesepakatan ini. Siapa sih yang tak menginginkan uang?

"Tapi saya gak bisa kasih uang saku untuk kalian banyak-banyak," lanjutnya dengan hati-hati. Jangan sampai mereka membatalkan kesepakatan ini.

"Gak masalah, Mbak. Yang penting kita-kita gak disuruh kerja berat aja?" kelakar seorang gadis diantara mereka.

Otomatis Luna ikut tergelak mendengar lelucon itu. Beruntungnya ia mendapatkan nara sumber yang kelihatan friendly kepadanya.

"Aku belum buka lowongan ajak kalian kerja soalnya. Kalian cukup berbagi cerita dan pengalaman kalian selama menjadi anak punk aja kok," Luna berusaha membaur diantara mereka.

"Kapan kita-kita diwawancarai, Mbak?"

"Kita mulai besok gimana?" usul Luna. Lebih cepat, lebih bagus. lebih cepat pula ia bisa menyelesaikan skripsinya.

"Gimana, kalian semua setuju kalau besok kita mulai wawancara sama Mbak Luna?"

"Ok. Kalau gue gak masalah mau kapanpun," celetuk seorang pemuda yang sedari tadi asik dengan ponselnya.

"Ok, deal ya? Besok aku datang kemari buat jumpain kalian," Luna bersorak senang dalam hati. "Boleh minta salah satu nomor kontak diantara kalian gak? Biar gampang komunikasinya,"

"Jangankan salah satu, nomor kita semua bakal kita kasih ke Mbak-nya,"

"Huuu ... jangan modus lo, Za." Gadis itu menyulut lengan temannya. "Mbak bisa simpan nomor aku aja, Mbak. Bahaya kalau mereka sampai tahu nomor Mbak-nya,"

Luna langsung mengetikan nomor yang diberikan padanya dan menyimpan dikontak ponselnya dengan nama Rosa. "Oh iya, aku belum tau nama kalian semua,"

"Iya ya, Mbak. Seperti pepatah mengatakan, 'tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta',"

Tuk,

Sebuah cangkir plastik Rosa lemparkan ke kepala teman prianya. "Playboy cap kurap! Jangan asal modusin anak orang," gadis itu sudah memelototkan matanya. "Sumber penghasilan kita itu," Rosa langsung nyengir kearah Luna diakhir kalimatnya.

"Namanya juga usaha, Sa. Kapan lagi ada kesempatan buat kenalan sama yang cewek secakep Mbak Luna begini." Lelaki itu langsung mendekati Luna dan mengulurkan tangannya. "Gue Reza. Yang itu jelas udah tahu kalau namanya Rosa. Yang itu Boy, lebih lengkapnya Boimin. Aagghhh ... sakit be-go!" Reza mengusap kakinya yang mendapati tendangan dari Boy.

Lagi-lagi, kumpulan anak punk ini berhasil membuat Luna tergelak. Sepertinya ia tidak akan sulit mengorek informasi dari mereka.

"Yang ini Nuri dan yang di pojok sana Yudi. Satu lagi anggota kita belum muncul, namanya Raja," lanjut Reza memperkenalkan teman-temannya.

Luna mengangguk paham. Mungkin untuk saat ini, Luna belum bisa menghafal masing-masing nama mereka. Tapi masih ada hari esok untuknya lebih mengenal mereka satu persatu.

"Ya udah kalau begitu, aku pamit dulu ya? Udah terlalu sore. Sampai ketemu besok." Luna melambaikan tangan dan segera meninggalkan mereka semua menghampiri sahabatnya yang masih setia menunggunya.

Senyum lega terukir jelas dari bibir tipis Luna. Akhirnya ia bisa mendapatkan objek penelitian yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan.

"Yuk! Kita pulang," ajaknya pada Cici. Sekali lagi, Luna berbalik dan melambaikan tangan kepada teman-teman barunya.

***

"Makasih buat tumpangannya ya, Bestie." Luna bergegas keluar dari mobil yang menjemputnya dan Cici. Melambaikan tangan sejenak saat mobil Cici mulai melaju meninggalkannya didepan gang kecil dimana rumahnya berada.

Kruuuk... kruuuk....

Perut gadis berlesung pipi itu mulai mengeluarkan suara-suara pemberontakan agar segera diisi. Sebelum memasuki gang rumahnya, Luna memutuskan mampir ke warteg yang berada tepat disamping gang rumahnya. Memesan makanan kesukaannya yang tak akan menguras isi kantong.

Usai dengan pesanannya, Luna bergegas menuju rumah yang beberapa tahun ini menjadi tempatnya bernaung.

Hidup sendiri di Ibu Kota, tak begitu membuatnya merasa kesulitan, asal kedua orang tuanya tak pernah luput mengirim biaya hidup dan kuliah untuknya. Meski ia bukan dari kalangan keluarga kaya, tapi penghasilan sang ayah di kampung lebih dari cukup untuk membiayai semua kebutuhan keluarga kecil mereka.

Ting,

Sebuah notif pesan masuk ke ponselnya. Kening Luna berkerut saat mendapati notif bahwa nomor miliknya telah bergabung dengan dengan sebuah grup yang tak pernah ia tahu sebelumnya.

Luna tergelak saat mengetahui siapa dan grup apa yang telah mengikut sertakan dirinya ada didalamnya.

"Ada-ada aja si Rosa. Nama grupnya gak sesuai sama apa yang lagi mereka jalani,"

Ting,

Rosa [Selamat bergabung di geng Calon Penghuni Surga].

...To Be Continued...

Terpopuler

Comments

Aminah Adam

Aminah Adam

lanjut

2023-10-01

0

Sena judifa

Sena judifa

Salam dari muara cinta kita thor, fav dan like mendarat

2023-09-23

0

Ana_Mar

Ana_Mar

apa si raja yang kelak jadi pe cinta nya kamu lun?
rosa...humoris juga kamu kayak cici hihiii

2023-09-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!