Tercium wangi semerbak menyelinap masuk kedalam kamar Alina. Alina yang masih tertidur lelap terbangun karenanya. Wangi ini menandakan ayahnya sudah pulang. Entah jam berapa ayahnya pulang semalam tetapi, ini bukanlah hal yang baru terjadi.
Ayahnya sering pulang hingga larut malam bahkan menginap di kantornya. Pagi ini seperti biasanya ayah Alina memasak nasi goreng spesial khusus anak perempuannya tercinta. Hari ini Alina harus pergi ke kampus karena ada urusan penting dengan dosen pembimbingnya.
Sudah beberapa saat tugas akhirnya terus tertunda. Alina selalu beralasan uang penelitiannya belum cukup, sehingga dosennya tidak punya pilihan lain selain membiarkan Alina. Namun, hari ini sepertinya sudah tidak ada keringanan lagi dari dosen pembimbingnya.
"Sudah ditagih ya Al," tanya ayahnya pada Alina.
"Harus cepet diberesin Yah, kalo engga uang mulu."
"Butuh berapa emangnya? kalo Ayah ada pake dulu aja," ucap ayahnya.
Alina sebenarnya tidak mau merepotkan ayahnya. Sejak awal kuliah Alina sudah berjanji akan mengusahakan semuanya sendiri. Alina tidak pernah meminta uang kepada ayahnya untuk keperluan kuliah. Namun, saat ini Alina terpaksa memakai uang ayahnya untuk melanjutkan tugas akhirnya.
"Maafin Alina ya Yah ... malah jadi ngerepotin kan," ucap Alina lesu.
"Gapapa, sudah seharusnya Ayah biayain kamu Al ... " jelas ayahnya tidak mau anaknya merasa bersalah.
Didalam bis, Alina terus memikirkan apa yang akan terjadi saat dirinya mulai bekerja dengan Baskara. Banyak hal yang kini ada dipikirkannya. Dari tugas akhirnya hingga bekerja di keluarga Miller. Tepat saat Alina memikirkan keluarga Miller, di layar besar pinggir jalan terpampang dengan jelas iklan rumah sakit yang sedang masa pembangunan oleh keluarga Miller.
"Ah ... kacau nih kacau."
"Gapapa Al, selangkah mencapai tujuan kamu ... pasti bisa," ucap Alina menyemangatinya dirinya sendiri.
Sampai di halte bis, sudah ada Tari yang menunggu Alina untuk ke kampus bersama. Keduanya berada di jurusan dan kelas yang sama. Namun, bedanya Tari sudah hampir menyelesaikan tugas akhirnya. Hari ini kebetulan Tari juga ada urusan dengan dosen yang sama dengan Alina.
Alina sudah tidak sabar ingin menceritakan semua hal yang terjadi kemarin malam kepada sahabatnya itu. Dari melihat tatapan mata Alina, Tari sudah menebak kalau sahabatnya berada dalam masalah besar.
"Aku ga nyangka akhirnya bakal kayak gitu Tari ... "kesal Alina.
"Lagian si Agung itu kok pengecut banget sih dia juga kan harusnya tanggung jawab," ucap Tari terbawa emosi.
"Gapapa tapi gapapa ... hahaha." Tawa Alina terdengar menyeramkan. Alina seperti kehilangan kewarasannya karena kejadian kemarin.
Baskara yang masih belum menghubunginya membuat Alina semakin cemas. Alina yakin Baskara sengaja melakukan ini untuk membuatnya semakin tertekan. Bisa saja Baskara dengan tiba-tiba menghubunginya saat Alina sedang berenang-senang dengan Tari.
Membayangkannya saja seperti sebuah teror baginya. Alina berniat menghubungi Baskara lebih dulu, tetapi ia tidak punya kontaknya. Karena itu Alina harus menerima saja keadaannya sekarang.
"Semangat dong Al, senyum gitu senyum," ucap Tari menyemangati sahabatnya.
Alina tertawa, tetapi dengan wajah penuh kecemasan. Tari kini takut sahabatnya benar-benar tidak waras.
Benar saja saat mereka sedang mengobrol hal lain untuk mengalihkan pikiran Alina, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Telepon masuk dari nomor yang tidak dikenal. Nomor Baskara memang tidak sempat Alina simpan. Karena sebenarnya kemarin pun pengawalnya lah yang meminta nomor Alina.
"Halo ... " jawab Alina mengangkat teleponnya.
"Besok datang ke rumah jam satu siang, nanti alamatnya saya kirimkan." Tutup Baskara.
Alina terdiam kebingungan. Baskara sama sekali berbicara tanpa bas-basi, hanya menyampaikan apa yang harus dikatakannya lalu menutup telepon. Jantung Alina berdegup kencang, ia takut apa yang akan dilakukannya besok dirumah keluarga Miller.
Tidak lama terlampir alamat lengkap rumah keluarga Miller yang dikirimkan Baskara lewat pesan singkat. Rumah mereka cukup jauh jaraknya dari rumahnya. Jika sesuai dengan apa yang diberitakan, rumah keluarga Miller mengambil hampir seluruh wilayah bukit tidak jauh dari pinggiran kota.
Besarnya rumah mereka hanya dihuni oleh keluarga inti dan beberapa pelayan dan staff yang dipilih langsung oleh Rose. Ini adalah pertama kalinya ada orang asing yang masuk dan bekerja disana tanpa proses seleksi ketat.
"Ah ... besok aku harus gimana Tar," bingung Alina.
"Besok mau aku anter aja? nanti aku biar pinjem mobil papah."
Alina tersenyum lebar mendengar penawaran dari sahabatnya itu, ini artinya ia tidak akan merasa kesepian selama perjalanan kesana.
Sebenarnya ada satu hal lagi yang menjadi pikiran baginya. Apakah Alina akan tinggal disana atau pulang kerumahnya. Karena jika Alina harus bolak balik ke rumahnya, biaya transportasinya akan cukup besar.
Sesampainya dirumah, Alina terus memikirkan bagaimana caranya memberitahukan ini kepada ayahnya. Sudah pasti ayahnya akan kaget mendengar hal ini. Tidak ada angin badai tiba-tiba anak perempuan satu-satunya harus menjadi pelayan di keluarga Miller.
"Kenapa Al?" tanya ayahnya seperti sudah bisa membaca raut wajah Alina.
"Alina mau cerita sesuatu, tapi ayah janji jangan kaget biarin aku beresin ceritanya dulu."
Seperti yang sudah dibayangkan oleh Alina, ayahnya benar-benar kaget mendengar cerita anaknya itu. Ayahnya bahkan tidak tahu harus berkomentar apa. Keluarga Miller adalah keluarga terpandang tidak hanya di kota mereka bahkan lebih besar lagi. Jadi sudah pasti ayahnya kaget jika anaknya harus bekerja sebagai pelayan disana.
"Tapi kamu pulang kerumah kan? ga tinggal disana kan?" tanya Ayah Alina kebingungan dengan semua ini.
"Nah itu yang aku masih belum tahu, tapi tenang ya Alina pasti kabarin ayah terus kok."
Ayahnya kemudian bangun dari duduknya lalu memeluk erat anak perempuannya itu. Sungguh berat kehidupan mereka bahkan ayahnya tidak punya pilihan lain selain mengizinkan anaknya itu bekerja sebagai pelayan disana.
"Janji tapi kabarin Ayah terus." Ayahnya memegang kedua pipi Alina dan menatap matanya dalam.
"Janji," ucap Alina meyakinkan ayahnya.
Di kamarnya Alina bingung dengan apa yang harus dibawanya besok. Baskara benar-benar tidak memberitahu apapun lagi selain jam dan alamat kesana. "Baskara ... " ucap Alina kesal. Lagi-lagi Baskara membuat Alina kesal dengan perilakunya. Kedepannya Alina sepertinya harus banyak bersabar menghadapi Baskara.
Besok entah apa yang akan terjadi kepada Alina setelah tiba disana. Namun, yang pasti ada sebuah hal yang membuat Alina tidak gentar untuk pergi kesana. Sebuah hal yang lebih penting dari kecemasan dan ketakutannya.
Dengan perasaan itu Alina membereskan tas ransel yang akan dirinya bawa besok. Sesekali dirinya melihat sebuah foto keluarga yang tersimpan diatas meja belajarnya. Dengan melihat itu muncul sebuah senyuman diwajah Alina. Seakan menguatkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments