Datang lebih pagi, Tari sudah standby di sofa ruang keluarga rumah Alina. Memperhatikan Alina yang mondar-mandir membereskan tasnya. Dari semalam terlalu banyak yang dipikirkan nya sehingga Alina tidak sempat memilih barang apa yang dirinya perlukan disana.
Meskipun tidak tahu apakah dirinya akan diminta menginap disana atau tidak, Alina tetap menyiapkan pakaian ganti yang akan dikenakannya disana.
"Mending bawa baju ganti berapa ya Ri?" tanya Alina.
"Ga usah banyak deh ... kan belum tentu disuruh nginep juga kan?" jawab Tari yang ternyata tidak didengar Alina yang sibuk sendiri.
Sejak pagi-pagi sekali ayahnya pergi untuk liputan lapangan dengan rekan kerjanya di kantor. Meskipun merintis kantor surat kabar sendiri, tetapi Ayah Alina tetap gigih mencari bahan liputan. Terkadang ayahnya harus menginap di kantornya untuk menyelesaikan hasil liputannya.
Alina yang melihat bagaimana kerasnya ayahnya bekerja semakin tidak ingin merepotkan. Sebisa mungkin Alina membiayai kebutuhannya sendiri. Alina tahu jika hal yang dikerjakan ayahnya ini belum menguntungkan untuk mereka. Namun, Alina yakin suatu saat nanti ayahnya akan berhasil dan bangga dengan apa yang dikenakannya sekarang.
Tidak terasa waktu menunjukan pukul sebelas siang. Karena tidak familiar dengan wilayahnya, Alina dan Tari memutuskan untuk berangkat lebih awal.
"Aneh banget ya, kok aku tegang banget sih ... " gugup Alina memegang dadanya.
Alina sudah banyak melalui proses interview dan terus berpindah pekerjaan, tetapi sepertinya kali ini berbeda. Sejak semalam dirinya tidak tenang. Mungkin hal ini karena cara ia berakhir bekerja disana. Sebuah kejadian yang membuatnya mau tidak mau harus bekerja paksa karena tidak dibayar.
Perjalanan yang dibutuhkan untuk sampai kesana kurang lebih satu jam. Sepanjang perjalanan sesekali Alina membuka jendela dan memandang sekeliling. Rasanya memang tidak adil kehidupannya yang mulanya terasa sempurna bisa berubah dengan sekejap karena sebuah pertengkaran kedua orang tuanya.
Di saat seperti ini lah Alina biasanya memikirkan keluarganya. Saat ketika dirinya harus bisa dewasa menghadapi masalahnya sendirian.
"Ah ... bodo amat, gimana nanti aja deh."
Angin yang berhembus membuat rambutnya berantakan. Namun, hal itu tidak jadi masalah bagi Alina. Justru dirinya merasa hembusan angin itu bisa membawa masalahnya pergi jauh dan tidak kembali. Meskipun hal itu tidak mungkin.
"Sorry ya Ri, jadi harus anterin aku sejauh ini," ucap Alina menatap memelas kepada Tari.
"Gausah kayak gitu mukanya ... iya gapapa, aku mau mastiin aja kamu nyampe ke tempat yang seharusnya."
"Jangan malah nanti ngerepotin karena nyasar," tegur Tari yang sebelumnya pernah dibuat panik karena Alina nyasar karena tidak tahu jalan.
Akhirnya mereka sampai didepan rumah besar diatas bukit. Perjalanan kesini cukup sulit karena bukan jalanan umum. Tari cukup khawatir terhadap nasib sahabatnya karena akan sangat jauh untuk pergi melarikan diri dari sini.
Posisi mobil Tari agak canggung sehingga menghalangi sebuah motor sport dibelakangnya. Mendengar suara klakson yang dibunyikan motor tersebut, Tari kemudian melihat kebelakang dari kaca spionnya. "Duh, bentar mobilnya ngalangin yang mau masuk." Tari memindahkan posisi mobilnya agar motor itu bisa lewat.
Dengan sekali klakson dan suara tancapan gas, gerbang rumah besar itu terbuka sehingga sekilas terlihat rumah keluarga Miller. Alina merasa takjub dengan apa yang dilihatnya, matanya kemudian mengikuti motor sport yang masuk kedalam.
Siapa ya itu? Kok pake motor sport bukannya mobil ... pekerja kali ya.
"Ini nanti kamu masuknya gimana Al?" tanya Tari.
"Oh iya juga ... kalo udah jam satu aku telepon Baskara deh," jawab Alina santai, sepertinya rasa gugupnya benar-benar sudah hilang terbawa angin tadi.
Alina dan Tari menunggu didalam mobil hingga jam satu siang. Mereka asyik mengobrol sampai ada seseorang yang menghampiri mobil mereka dan mengetuk kaca jendela. Keduanya kaget karena merasa berada di posisi yang aman dan tidak menghalangi jalanan masuk.
"Tolong buka dulu jendelanya." Suaranya terdengar sayup-sayup karena dari balik jendela.
Tari pun menurunkan kaca jendelanya, "Iya Pak? maaf kenapa ya?" tanyanya kebingungan.
"Adek-adek ini mau cari siapa ya? apa jangan-jangan paparazi ya?" tanya bapak berseragam keamanan menginterogasi.
Tari kebingungan dan tidak tahu harus menjawab apa. Kenapa semua orang terlihat menyerahkan disini?
Belum apa-apa Alina dan Tari sudah dibuat ketakutan dengan suasana dirumah ini. Saat Alina melihat ponselnya, jam sudah menunjukan pukul satu siang. Setelah mengatur perasaannya Alina kemudian menjawab pertanyaan bapak tadi dengan menunjukan pesan singkat yang dikirim Baskara padanya.
"Oh sudah ditunggu Mas Baskara, silahkan masuk." Bapak tadi mempersilahkan keduanya untuk masuk kedalam. Sebelum menancap gasnya Tari sempat melihat ke arah Alina dengan wajah cemas. Tari hanya berharap sahabatnya ini akan baik-baik saja disini.
Tari diizinkan membawa mobilnya masuk, tetapi tidak sampai mengantar Alina masuk kedalam rumah Baskara. Tepat didepan sebuah rumah megah itu terdapat banyak anak tangga yang terhubung langsung ke pintu utama. Disana lah Tari menurunkan Alina.
"Jangan lupa kabarin aku terus ya," ucap Tari khawatir.
"Pasti ... kalo ternyata aku harus nginep disini, titip Ayah ya." Alina kemudian memeluk Tari sebelum dirinya turun dari mobil.
"Lebay banget sih kita ... " heran Tari sambil sedikit tertawa melihat bagaimana keduanya terlalu dramatis menanggapi ini semua.
Setelah Teri pergi Alina masih belum berani masuk kedalam. Alina mencoba mengirimkan pesan singkat kepada Baskara, memberitahunya jika ia sudah sampai. Alina juga menanyakan kepadanya apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Terlihat dari kejauhan seorang lelaki yang memakai jaket kulit lengkap membawa helmnya berjalan kearah Alina. Alina lalu mengingat jika lelaki ini adalah orang tadi yang memakai motor masuk lebih dulu kesini. Dari pada terus saja berdiri disini tanpa tahu kejelasannya, Alina memutuskan untuk bertanya pada lelaki ini.
"Halo ... maaf ganggu, mau masuk kedalem ya? bisa bareng ga?" tanya Alina polos.
Dengan kebingungan lelaki itu kemudian membuka maskernya, "Siapa ya?" tanyanya singkat.
Alina tiba-tiba merasa canggung setelah mendapat pertanyaan tidak terduga itu. "Aku Alina, hari ini diminta Baskara buat dateng kesini ... dari tadi udah kirim pesan tapi ga dibales juga," jelas Alina.
"Oh pelayan barunya Baskara?" tanya lelaki itu singkat.
"Ya bisa dibilang begitu ... jadi ini aku bisa masuk ga? panas banget disini," ucap Alina yang menganggap lelaki ini juga hanya seorang pekerja biasa.
"Yaudah ayo masuk."
Didalam ternyata sudah ada Rose yang sedang menyusun bunga pajangan di ruang depan bersama beberapa pekerjanya yang lain. Rose langsung mengenali Alina kemudian datang menghampirinya. "Jauh banget ya kesini?" tanyanya hangat.
"Iya Bu lumayan, satu jam kira-kira dari rumah saya," jawab Alina polos.
"Kesini tadi dateng sama-" katanya terhenti melihat seseorang yang masuk bersama dengan Alina.
"Sama .... " Alina hendak menjawab, tetapi ikut terhenti melihat Rose memilih pergi menghampiri lelaki yang datang bersama dengannya.
Dengan senyum lelaki itu menyalami Rose dan disambut pelukan hangat darinya. "Hari ini menginap kan Nak," ucap Rose kepada lelaki itu.
Nak? Kok manggillnya ... jangan-jangan.
Alina berbicara dalam hatinya dan bertanya-tanya tentang siapa lelaki itu. Setahunya yang banyak diberitakan di berita hanyalah Baskara. Dirinya memang tahu jika keluarga Miller memiliki dua orang anak lelaki, tetapi hanya Baskara yang selalu menjadi pusat perhatian.
Jangan-jangan ini adiknya? atau kakaknya Baskara?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
🤔🤔🤔
2023-10-31
1