My Daughter ENORA
14 Februari 2012
Suasana festival art of love yang diselenggarakan di desa Rosziah sangat ramai. Sepanjang jalan pondok-pondok kecil memamerkan karya-karya mereka serta menjualnya, lampion yang memenuhi langit-langit jalan meramaikan suasana serta beberapa lagu pop diputar disana. Ada yang menjual lukisan, memamerkan patung-patung yang dipahat sendiri ada pula mascot-mascot lucu berkarakter hewan seperti kelinci, harimau, tikus, dinosaurus, dan kodok serta hal lain yang terkesan unik. Semua dirancang sesuai dengan tema festival yang diselenggarakan setiap tahun.
Bahagia. Senang. Gembira.
Itu yang seharusnya dirasakan oleh Anderson. Ya! Harusnya demikian. Namun kini yang pria itu rasakan adalah rindu. Dibawah pohon besar nan rimbun ia berdiri menatap keramaian festival didepannya dengan mata sendu yang terkesan sedih.
Pria bertubuh tinggi dan kekar, berkulit sawo matang dan berambut panjang sebahu namun di kuncir setengah rambutnya itu merindukan sosok wanitanya, Alora. Istrinya telah tiada sekitar enam tahun lalu. Alora pergi bersama dengan malaikat mungil yang saat itu masih didalam perutnya.
“Alora, saya rindu kamu. Sangat rindu,” lirih Anderson.
Tempat ini menjadi pertemuan pertama mereka sekaligus menjadi saksi cinta pada pandangan pertama Anderson.
“Seandainya saya gak pergi ninggalin kamu waktu itu ... seandainya saya memilih untuk berada disisi kamu ..
kamu pasti masih disini ...,“
Anderson tak mampu melanjutkan lirihnya. Dadanya sesak, pandangannya buram karena air mata. Demi Tuhan, ia merasa sangat bersalah. Baginya, kepergian kedua orang yang sangat ia cintai semua karena ia melanggar janji.
‘Saya akan selalu ada disisi kamu. Saya gak akan pergi ninggalin kamu. Saya janji, gak akan biarin kamu sendiri.’
Itulah janjinya untuk sang istri. Namun karena keegoisannya, ia melanggar janji itu. Tanpa ia sadari seorang manusia kecil sudah berdiri dihadapannya.
“Ini,” suara seorang anak kecil.
Anderson terkejut. Sangat terkejut, membuat anak itu juga ikut terkejut. Yup! Walaupun ia berbadan kekar dan berotot, namun ia tak mampu mengontrol keterkejutannya. Mudah terkejut adalah salah satu ciri Anderson.
Anderson melihat anak itu, diperkirakan anak cantik itu berusia sekitar enam tahun. Ia pun berjongkok agar sejajar dengan gadis mungil nan menggemaskan itu.
“Maaf, saya membuat kamu terkejut,” ujarnya.
Gadis itu menggelengkan kepala sambil tersenyum.
”Ini,”
Gadis itu memberikan permen tangkai berbentuk hati berwarna kuning kepada Anderson.
“Ini ... untuk saya?” tanya Anderson.
Anak itu menganggukkan kepalanya.
Déjà vu.
“Kenapa kasih buat saya?”
“Kata kakek, hari ini adalah hari kasih sayang, jadi harus kasih hadiah ke orang yang kita sayang. Tapi aku lihat Om gak punya hadiah, jadi aku kasih buat Om," ujarnya dengan lugu.
Anderson terdiam cukup lama menatap anak itu. ‘Orang yang saya sayangi? Saya sudah gak punya’ batinnya. Melihat mata pria tersebut entah apa yang dipikirkan gadis manis itu, ia langsung memeluk Anderson.
Untuk kali kedua Anderson terkejut dengan perbuatan gadis ini,, walaupun demikian, pria itu tetap memilih diam saat dipeluk.
“Om lagi sedih?” tanya gadis menggemaskan itu.
“Saya baik-baik saja,” jawab Anderson, dengan lirih.
Gadis itu melepaskan pelukannya.
“Kalau Om lagi sedih, Om harus minta seseorang untuk peluk, agar rasa sedihnya hilang,” katanya.
Anderson tersenyum manis sambil menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih atas sarannya, dan terima kasih atas pelukanmu, anak kecil," gumam Anderson lembut.
“Enora!” panggil seorang pria paruh baya yang datang tergesa-gesa ke arah mereka.
“Ya Tuhan, kakek cari kamu dimana-mana, kemarilah Enora,” ujar sang kakek panik sambil merentangkan tangannya.
Dengan senyum lebar Enora berlari masuk ke dalam pelukan sang kakek dan membalas untuk memeluknya.
“Saya minta maaf, cucu saya sudah mengganggu waktu Anda, saya akan menasehatinya. Saya benar-benar minta maaf,” ujarnya sambil berulangkali membungkukkan badannya, merasa tak enak hati.
“Ah, tidak apa-apa, dia tidak mengganggu saya sedikit pun, malahan saya merasa terhibur dengan keberadaanya,” jawab Anderson ramah sambil berdiri.
“Oh iya, kita belum kenalan. Apa saya bisa kenalan dengan kamu?” tanya Anderson kepada Enora lembut.
“Boleh Om. Nama aku Enora, umur aku enam tahun dan sekarang aku sudah sekolah. Aku kelas satu Sekolah Dasar dan ini kakek aku. Kalo Om, siapa namanya?”
“Nama saya Anderson, kamu bisa panggil saya Om Ander,"
“Salam kenal ya. Om Ander,”
“Salam kenal juga anak pintar,”
Anderson tersenyum ramah sambil mengelus rambut pendek anak itu.
“Maaf, tapi kami harus pamit karena kereta terakhir akan tiba lima belas menit lagi,” ucap sang kakek.
“Oh, iya,”
“Selamat tinggal Om Ander,” pamit Enora.
Anderson tidak suka mendengar kata ‘selamat tinggal’. Dia sangat benci kata itu. Anderson menunduk untuk mensejajarkan tinggi anak itu.
“Enora, saya harap kita bisa berjumpa lagi. Jadi, sampai jumpa Enora,” ujar Anderson tersenyum manis sambil melambaikan tangannya.
“Oke! sampai jumpa Om Ander,” balas Enora girang.
Dan mereka pun berlalu meninggalkan Anderson sendiri. Sesekali gadis itu berbalik badan dan melambaikan tangannya dan dibalas oleh pria itu. Hingga keduanya berjalan menjauh dan tak terlihat lagi.
Kini Enora dan sang kakek telah tiba di stasiun. Tak butuh waktu lama kereta pun tiba. Keduanya pun masuk dan mencari tempat duduk mereka. Jarak dari rumah mereka cukup jauh, bila menggunakan kereta mereka harus menempuh sekitar tiga puluh menit lamanya.
Gadis kecil itu duduk sambil mengayunkan kaki mungilnya yang bergantung di kursi sambil sesekali menyanyikan lagu kesukaannya, ‘You are my sunshine'. Sedangkan sang kakek sedari tadi berperan dingin dengan pikirannya sendiri.
Dia mengenal pria tadi.
“Enora, kakek mau ngomong sama kamu,” ucap sang kakek lembut.
Gadis itu menoleh menatap pria paruh baya itu. "Hm?"
“Kakek kan pernah bilang sama kamu, untuk hati-hati dengan orang asing. Ingat tidak?”
Enora menganggukkan kepalanya.
"Terus kenapa kamu mengajak orang itu berbicara? Kamu peluk juga,” ujar sang kakek tak habis pikir.
“Karena Om itu lagi sedih,” jawab Enora polos.
"Kamu langsung peluk tanpa izin orang itu?"
Gadis itu menganggukkan kepalanya lagi.
”Enora, kita harus hati-hati dengan orang yang sama sekali gak kita kenal. Siapapun itu. Dan juga, kita gak boleh langsung menyentuh mereka tanpa seizin mereka terlebih dulu. Paham Enora? “ ucapnya menasehati.
Lagi, lagi Enora mengangguk kepala.
“Dan juga, kakek minta maaf, tapi sepertinya ini akan menjadi hari terakhir kita ke festival itu lagi.”
Enora menoleh cepat dan menatap sang kakek dengan mata membulat lantaran terkejut.
“Kenapa? Kan aku udah janji sama Om Ander untuk jumpa lagi," ujar Enora bingung.
“Kakek minta maaf Enora, kita gak akan kesana lagi. Tidak pernah!” tegasnya.
Mendengar perkataan sang kakek, raut wajahnya pun berubah sedih. Ia mengalihkan pandangannya untuk memandang pemandangan di luar jendela kereta.
“Kakek tahu kamu kesal dan sedih, gak masalah sama sekali kalo kamu nunjukin emosi kamu untuk kakek, tapi kakek ingin kamu selalu hati-hati dan gak terluka,” ujar sang kakek.
"Tapi kakek selalu bilang buat aku harus menepati janji jika sudah berjanji ke siapapun," gumamnya.
Sang kakek hanya menghela nafasnya dan memilih diam.
Maafkan kakek, Enora,batinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
bunga mawar untukmu, semngat yuk barengan 💪💪💪
2023-12-19
0
💞Amie🍂🍃
Allo kakak, aku mampir nih, ditunggu feedbacknya di karya baruku ya kak😜
2023-12-19
1