SEKARANG
Akhir-akhir ini Anderson cukup sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan dalam dua minggu ini, sudah beberapa kali ia harus pulang-pergi ke Indonesia-Jepang untuk mengurus bisnis barunya. Perjalanan yang cukup melelahkan namun harus ia lakukan. Setelah kepergian sang istri, pria itu menghabiskan seluruh hidupnya dengan bekerja tanpa henti.
Padahal sudah lima belas tahun lamanya sang istri meninggalkannya dan itu waktu yang cukup lama namun tak sedikit pun pria itu melupakan wanitanya.
Kini dia sedang berada di ruangannya sembari sibuk memeriksa beberapa laporan perusahan. Anderson menjadi Direktur Utama menggantikan sang ayah di perusahan keluarga mereka, PT MORDE.
PT MORDE merupakan perusahan yang mengembangkan teknologi-teknologi baru dan modern.
“Roland, apa jadwal saya setelah ini?" tanya Anderson kepada sekretarisnya.
“Saya telah mengosongkan jadwal Anda malam ini, apa Anda ingin pergi sekarang, Pak Direktur?”
Anderson mengerutkan keningnya terlihat bingung dengan perkataan sekretarisnya itu.
“Pergi? Kemana?”
“Saya pikir Anda akan pergi ke festival seni,” ujar Roland.
“Astaga! kamu benar," kagetnya. "Saya hampir lupa dengan tanggal hari ini. Pekerjaan saya terlalu banyak dan menyita waktu saya ...."
Dia bersandar pada kursi kerjanya dan sesekali menghembuskan nafas panjang. Acara festival seni tahunan yang wajib Anderson pergi. Seakan acara itu sebagai sebuah keharusan untuknya. Untung saja Roland mengingatkan hal itu.
“Mau saya kosongkan jadwal Anda besok? Anda kelihatannya cukup lelah hari ini,” tawar Roland.
“Tidak perlu.” singkatnya. “Tolong siapkan kendaraan saya."
“Baik pak.”
...🍄🍄🍄...
Sekarang, Anderson kembali lagi ditempat ini lagi. Pria itu berjalan masuk berbaur dengan kerumunan orang-orang dan memperhatikan setiap pondok yang ada. Pondok-pondok memamerkan karya mereka dengan bangga dan penuh rasa. Seperti biasanya, tempat ini selalu ramai dikunjungi dan selalu berkembang menjadi lebih menarik setiap tahunnya. Sejujurnya, dia tidak menyukai seni namun sang istrilah yang menyukainya.
Apa anak itu ada disini? batin Anderson.
Pertanyaan itu selalu ditanyakan dalam benaknya selama 9 tahun belakangan ini. Anak kecil yang berjanji akan berjumpa di lain waktu dengannya. Namun, sudah sembilan tahun lamanya mereka belum juga berjumpa.
Anderson terus berjalan, hingga akhirnya berhenti pada pondok terakhir. Pondok itu memamerkan beberapa kerajinan tangan dari kayu dan juga terdapat tiga patung yang tersusun rapih di atas meja. Matanya tertuju pada sebuah patung kecil di dalam box kaca yang berbentuk seperti sehelai daun dan terdapat setetes air atau embun diatas daun itu. Patung itu berada di antara dua patung yang cukup besar—bentuk setengah Dewa dan Dewi Yunani—dan berhasil menarik perhatiannya.
“Apa saya boleh menyentuhnya,” izin Anderson pada penjualnya.
“Boleh, boleh, lihat sesuka hatimu, Nak,” ujar penjual yang ternyata seorang kakek paruh baya.
Anderson mengambil benda itu dan melihatnya. Embun. Hal itu mengingatkannya kepada sang istri yang saat itu ia sedang mengandung calon malaikat kecil mereka.
Setiap pagi, Anderson akan menemani wanita tercintanya keluar rumah dan berjalan di atas rumput tanpa alas kaki. Tentu saja hal itu membuat kaki yang empunya basah karena embun-embun pagi. Merangkulnya dan menggenggam tangannya, berjalan bersama sambil membawa sandal belahan jiwanya.
Benda yang manis, batinnya.
"Kamu tertarik dengan benda itu?” tanya sang kakek penjual.
“Bisa dibilang begitu."
"Ternyata yang dibilang anak keras kepala itu benar," gumamnya sambil tertawa kecil.
“Maaf?" bingung Anderson.
“Pengguna mascot itu yang membuat patung-patung ini.”
Kakek itu menunjuk pada seseorang yang sedang menggunakan mascot kelinci berwarna putih. Anderson mengikuti arah tunjuk sang kakek.
“Dan diantaranya hanya patung itu yang terlihat sedikit berbeda. Saya bertanya padanya kenapa kamu buat patung daun itu? Itu terlalu sederhana. Tapi dia malah jawab ‘Walau ini sederhana tapi orang kaya menyukainya.', ” kata sang kakek sambil tertawa kecil.
Anderson yakin anak itu tidak melakukannya secara kebetulan. Menurutnya, setiap hal acak yang ada di dunia ini pasti memiliki makna masing-masing bagi setiap orang dan itu juga bisa menjadi atau meninggalkan kenangan bagi mereka.
“Kenapa Anda menyebutnya anak keras kepala?” tanya Anderson
“Karena dia keras kepala. Bukan hanya kepala dia saja yang keras tapi perilakunya pun keras, lebih tepatnya dia sangat keras dengan dirinya sendiri. Saya selalu menasehatinya untuk tidak terlalu memaksakan diri, akan tetapi itu semua hanya di anggap angin lalu oleh anak itu.”
Anderson hanya mendengarkan perkataan sang kakek tanpa ingin menanggapi.
“Acara ini selalu diadakan setiap tahun. Dan setiap tahun juga saya selalu melihatmu berdiri di bawah pohon sana. Sejujurnya saya penasaran, kenapa kamu selalu berdiri disana seorang diri? Apa kamu menikmati acara tahunan ini? Saya selalu berharap kamu menikmatinya.”
“Saya akan menikmatinya." Singkat Anderson, dengan datar.
“Saya ingin membeli ini.”
“Benarkah?”
Anderson mengangguk sebagai jawaban.
“Hey, si keras kepala! Pria ini membeli patung daunmu!” teriak sang kakek kepada pengguna mascot kelinci putih.
Tentu saja orang yang dimaksud mendengar teriakannya dan melambaikan tangannya, setelah itu ia pun sibuk dengan pekerjaannya.
Anderson melihat ke arah mascot itu dan memperhatikan gerakannya. Semua yang mascot itu lakukan benar-benar membuat suasana menjadi sangat ceria. Cara dia menyambut anak-anak kecil, berfoto dengan orang-orang dengan gaya yang lucu membuat yang melihatnya ikut tertawa dan menyambut siapa saja yang ingin memeluknya. Anak itu benar-benar membuat suasana menjadi sangat bahagia dan hangat.
Dia hebat, batin Anderson.
“Ini barangmu,” ucap sang kakek sambil menyodorkan paper bag yang diisi barang milik Anderson.
“Oh, iya, tunggu sebentar,”
Anderson mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya kepada sang kakek.
“Nak, sepertinya kamu salah lihat harga. Harga patung kecil itu tidak sebanyak ...,”
“Tak apa, saya sengaja memberikannya. Anggap saja sebagai bonus untuk kerja kerasnya. Kalau begitu saya pamit,” potong Anderson dan melangkah menjauh.
"Tapi ... huft semoga anak keras kepala tidak tersinggung," ujar kakek sambil menatap Anderson menjauh.
Anderson berjalan menuju kearah tempat favoritnya yakni dibawah pohon besar nan rimbun. Dia berdiri disana sambil melihat festival itu dengan perasaan yang tenang, tak seperti dulu yang mana rasa sedih dan marah pada diri sendiri yang lebih mendominasi.
Sesekali matanya melirik ke arah mascot kelinci yang tanpa henti melakukan gerakan lucu dan menggemaskan, membuat pria itu ikut tersenyum kecil. Malam yang cukup damai bagi Anderson.
...🍄🍄🍄...
“Gila! Capek banget,” sungut pengguna mascot kelinci itu sambil duduk di bangku kosong dekat pondok terakhir, kemudian melepaskan kepala mascot dan menikmati hembusan angin.
“Anak keras kepala,” panggil kakek Rody sambil berjalan kearah anak itu.
“Enora, nama aku Enora, kakek. Bukan anak keras kepala,” sewot Enora, tak suka dengan nama buatan kakek Roby.
“Iya, iya ... Lima patung kamu sudah terjual habis. Ini uangnya,” ujar kakek itu sambil memberikan uang itu.
Enora mengambilnya dengan wajah berseri-seri sambil menghitungnya namun ekspresi wajah Enora berubah.
“Kakek, kok uangnya kelebihan?” Tanya Enora bingung.
“Pria pohon tadi yang beli patung daunmu, dia bayar dengan harga lebih,” ucap kakek dan ikut duduk disebelah Enora.
“Kenapa?” Tanya Enora lagi
“Katanya bonus untuk kamu yang sudah bekerja keras.”
Enora diam dan mengerutkan keningnya sedangkan kakek yang melihat itu tentu tau kalau anak ini kesal. Enora sangat tidak suka jika ada orang yang memberikan sesuatu tanpa alasan, apalagi kesihan padanya. Gadis itu sangat benci apabila ada orang yang mengasihaninya.
“Terima saja. Aku pikir harga segitu sangat sepadan dengan kerjamu. Kamu benar-benar menghidupkan suasana festival ini, buat orang-orang melihat tingkahmu itu tertawa, belum juga cara kamu menghibur anak-anak yang terlihat bosan ada juga beberapa yang menangis dan aku lihat kamu yang cari mereka untuk dihibur olehmu dari pada mereka yang mencari mu,” ujar sang kakek.
Enora diam saja tanpa menjawab.
“Jadi terima saja uang itu, oke? Karena aku yakin panitia acara ini tak akan memberimu uang yang sepadan dengan kerja kerasmu, jadi terima sama,”lanjutnya.
Tiba-tiba Enora berdiri dan dengan cepat kakek Roby menahan pergelangan tangannya.
“Hey anak keras kepala, kan sudah dibilang—”
“Aku mau berterima kasih," potong Enora membuat kakek Roby bernafas lega.
“Oh oke, dan kamu harus bicara dengan sopan karena pria pohon itu berbicara sangat formal tadi."
Enora menganggukkan kepalanya setelahnya gadis itu pergi meninggalkan kakek Roby.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
jeesomoody_
berarti keluarga enora itu keluarga para seniman kah?
2024-04-25
1