“Lama nunggu, ya...”
Bina mendongak seketika, dia memutar bola matanya kesal dan berdecak pelan. Dia menyisihkan terlebih dahulu laptopnya, menatap sebal laki-laki yang kini sudah duduk di bangku di hadapannya.
“Lama banget sih,” kesal Bina, dia mencebikkan bibirnya.
Arga tersenyum lebar, dia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya dan meletakkannya dihadapan Bina. Perempuan itu mengerutkan kening saat sebatang cokelat disodorkan padanya.
“Apa nih maksudnya?” tanya Bina tak mengerti, dia menahan senyumnya sekuat tenaga agar tak terlihat mencurigakan. Bertemu Arga saja sebenarnya sudah membuatnya tersipu.
Arga mengendikkan bahunya, “Permintaan maaf karena gue telat. Meskipun gue tahu, lo gak mungkin bisa marah sama gue.” jawab Arga, dia menaikkan sebelah alisnya menatap Bina yang langsung mencebik seketika.
“Siapa bilang aku gak bisa marah sama kamu? Bisa kok!”
Bina langsung menunjukkan wajah marahnya. Namun, bukannya membuat Arga ketakutan atau semakin merasa bersalah, justru Arga dibuat tertawa melihat ekspresi yang ditunjukkan Bina.
“Gak usah gitu! Muka alim lo tuh gak pantas buat marah. Udah, gak usah dipaksa!”
“Ih... Ngeselin! Lagian kamu kenapa telat sih? Setengah jam loh! Lama banget itu.”
“Biasa lah, cowok ganteng kayak gue banyak acara. Jadi mohon dimaklumi aja.”
“Nyebelin banget jawabannya.” ucap Bina, dia terkekeh dan mengambil cokelat yang diberikan Arga untuknya. “Jadi, ini beneran buat aku, ya?” tanya Bina memastikan.
Arga mengangguk, “Yoi.”
Bina tersenyum lebar, dia tak bisa menahannya lagi.
“Biasa aja kali senyum nya, gak usah selebar itu juga.” ucap Arga yang seketika membuat Bina mendengus pelan sambil terkekeh. “Terbaca sekali belum pernah dikasih cokelat sama cowok. Cowok ganteng lagi.” lanjut Arga, dia hanya becanda saja.
“Emang iya.” jawab Bina acuh, memang itu kenyatannya. Ya, maksudnya dia pernah mendapat cokelat dari pria, contohnya kakaknya, saudara laki-lakinya. Yang jelas, jika cokelat dari lawan jenis yang notabene nya tak punya ikatan persaudaraan, mungkin baru Arga orangnya. Arga jadi yang pertama. Meskipun nyatanya, ini bukan pertama kalinya Arga memberikan dia cokelat, ini sudah cokelat yang entah ke berapa kali lelaki itu berikan.
“Serius, Mi?”
Bina mengangguk.
“Ya ampun... Masa iya gak ada satu cowok pun sih yang kasih cokelat buat lo? Hoax nih, ya!”
“Terserah.”
Arga tertawa, rasanya dia ingin mencubit pipi Bina yang menggemaskan. Namun, dia tak bisa melakukan itu. “Iyain deh. Tapi, jangan baper sama gue, ya, Mi karena cokelat itu.”
Bina terdiam sejenak. Bahkan sebelum diberi cokelat saja Bina sudah baper duluan dengan Arga, asal lelaki itu tahu saja. Tapi, tak mungkin dia berkata demikian.
“Gak akan lah!” balas Bina sambil tersenyum manis.
“Bagus kalau begitu.”
“Tunggu, dulu! Jadi, maksudnya kamu ajak aku kesini, ketemu disini cuma mau kasih aku cokelat, gitu?”
“Dih, dibilangin jangan baper. Tapi, malah baper duluan.” canda Arga, dia terkekeh. “Ya, enggak lah, Mi. Gue ajak lo kesini, ya karena mau tanya sesuatu sama lo.”
“Kenapa gak lewat telpon aja?”
“Langsung lebih enak. ”
“Oke. Jadi, ada apa?” tanya Bina, dia menyingkirkan laptopnya dan melipat tangan diatas meja, menatap Arga dan menunggu apa yang akan ditanyakan lelaki itu padanya.
Arga terkekeh, dia pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bina, yaitu melipat tangan diatas meja dan ikut menatap perempuan itu. Mereka saling tatap.
“Jujur sama gue, menurut lo gue gimana orangnya?”
Bina mengerutkan keningnya. “Gimana apanya?” tanya Bina tak mengerti.
“Ya, gue gimana orangnya.” ucap Arga mencoba menjelaskan, dia mengendikkan bahunya. “Ganteng kah, baik kah atau gimana?” sambung Arga, dia butuh jawaban sekarang.
Bina menarik tubuhnya, dia bersandar kini. “Ih, ngapain tanya itu sama aku? Gak tahu aku.” jawab Bina, dia gugup sebenarnya.
“Yaelah, Mi. Tinggal kasih tahu aja pendapat lo tentang gue. Lo kan kenal gue, udah lama juga kan kita dekat.”
Bina menggeleng, “Gak bisa aku.”
“Ih... Dasar. Gak pernah berubah dari dulu, gak pernah mau kalau disuruh ngasih pendapat.”
“Takut salah aku.”
“Ini nih, ini sifat yang gak baik. Ngasih pendapat itu gak papa, kan opini pribadi. Jadi, gak ada yang salah dong. Lagipula, kalau beda opini, ya wajar, namanya juga manusia. Nih, ya, jangankan sama orang lain, sama yang satu darah aja kita kadang beda kan. Jadi, jangan takut lah...”
Bina menahan senyumnya.
“Ayo! Jadi, gue gimana menurut lo?” pinta Arga, dia tak akan berhenti sebelum mendapat jawaban dari pertanyaan nya.
“Sebelum aku jawab, aku tanya balik deh. Menurut kamu aku sendiri gimana orangnya?” tanya Bina akhirnya, entah kenapa dia berharap lebih.
Arga terkekeh, dia menjentikkan jarinya. “Gampang banget itu mah!” tukas Arga, dia berdehem dan menatap lekat Bina. “Sabrina—”
“Sabina!”
“Iya, iya. Sabina Gemi Aretha, teman gue sejak SMP. Dia tuh orangnya baik, itu udah jelas. Sholehah, sudah pasti, hijab gak pernah ketinggalan dia pake. Ya, gak?”
Bina terkekeh. Arga mengendikkan bahunya, merasa bangga.
“Udah, itu doang?”
“Ya, apa, ya? Cantik?”
Bina diam, merasa gugup.
“Udah jelas dong, lo cantik. Cewek mana sih yang gak cantik? Pasti pada cantik kalau cewek mah.”
Bina kecewa, jawabannya tak sesuai ekspektasinya. Tapi, tak apa. Dia tetap puas atas pujian Arga.
“Masya Allah... Jangan lupa bilang MasyaAllah kalau puji orang tuh.”
“Iya, iya. Masya Allah... Gemi cantik.”
Bina tersenyum kembali.
“Jadi, gimana Mi? Gue gimana orangnya?"
Arga kembali bertanya pertanyaan yang belum juga Bina jawab.
“Arga baik kok, bertanggung jawab juga orangnya. Arga juga humoris, bisa banget bikin orang ketawa. Pokoknya, Arga tuh bisa jadi mood booster buat orang-orang yang gak lagi happy.”
Arga semakin tersenyum lebar mendengar pujian yang dilontarkan Bina. “MasyaAllah...” ucap Arga, dia terkekeh.
Bina mengangguk-angguk.
“Emangnya kenapa sih kamu tanya gitu, Ga? Ada apa emangnya?”
“Berarti, gue layak gak jadi pacar orang?”
Bina membelalakkan matanya, terkejut mendengar pertanyaan ini. Mendengar itu membuat jantungnya berdebar tak karuan. Pertanyaan yang dilontarkan Arga seperti menjurus pada satu hal.
Bina mengangguk. “Layak kok.”
“Kira-kira, Caca suka gak sama cowok kayak gue?”
***
Bina berjalan lunglai menyusuri trotoar. Hari sudah mulai gelap, langit sore yang tadinya cerah berubah dengan cepatnya jadi gelap. Sama seperti perasaan Bina saat ini, dia yang tadinya senang, sangat senang malah saat tahu akan bertemu Arga, justru sedih seketika saat dia tahu tujuan Arga memintanya bertemu.
“Haha...”
Bina tersenyum miris, ternyata begini rasanya patah hati.
Sebelumnya, dia tak pernah merasakan ini jika melihat Arga dekat dengan perempuan manapun. Tapi, kenapa mendengar Arga suka dengan Caca, yang notabene nya teman dekatnya, teman dekat mereka, justru rasanya begitu sakit luar biasa. Bahkan, rasanya Bina ingin menangis saat ini juga.
“Sakit banget...” keluh Bina, dia tak bisa menahan air matanya kini.
Bina berhenti berjalan, menatap miris langit yang sama mendungnya seperti hatinya. Bahkan, langitpun tahu jika Bina menangis kini, langitpun sedih melihat Bina seperti sekarang. Bahkan, langitpun ikut menangis dibuatnya. Air hujan mulai jatuh mengenai wajah Bina.
“Ya Allah... Kenapa sakit banget rasanya tahu Arga suka sama Caca.” keluh Bina, dia menangis kini bersamaan dengan hujan yang mulai deras. Dia tak peduli kini jika dirinya basah kuyup atau apa, dia tak peduli. Dia hanya ingin menangis saja kini, namun untuk menghindari rasa malu maka dia biarkan hujan membasahi nya. Setidaknya, bersama hujan air matanya tak begitu terlihat, bersama hujan air matanya ikut pergi mengalir.
“Kenapa harus Caca sih? Kenapa harus teman dekat aku yang kamu suka, Ga? Kenapa gak aku aja?”
“Aku pikir, semua perhatian, sikap baik kamu, itu berarti kamu suka sama aku. Tapi, ternyata enggak. Kamu cuma anggap aku teman biasa dan cuma aku yang anggap kita lebih.”
Bina perlahan berjongkok, dia tak tahu harus bagaimana kini. Dia memilih menangis saja kini.
“Kamu ngapain hujan-hujanan?”
Bina mendongak seketika, menatap seseorang dibawah payung yang kini juga memayungi nya, menjaganya dari tetesan air hujan. Perlahan Bina beranjak, menatap orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah teman dari Kakaknya.
“Kamu nangis?”
“Mas, temannya A Gilang kan?”
“Iya. Saya Ghani. Kamu ngapain hujan-hujanan?” tanya Ghani, dia mengerutkan keningnya. “Nangis pula.” tambah Ghani.
Bina menggeleng cepat, “Gak nangis kok.”
“Yaudah! Kamu jelasin nya nanti aja. Ayo, kita neduh dulu!”
Tanpa berkata apapun, Ghani langsung menarik tangan Bina, membawa gadis muda itu untuk ikut bersamanya meneduh disalah satu cafe.
***
Ghani menatap lekat Bina di hadapannya, dalam hati dia tersenyum senang bisa bertemu Bina disini. Padahal niatnya hanya untuk membeli secangkir kopi saja, namun saat melihat seseorang yang berjongkok dibawah hujan, disaat yang lain justru berlarian menghindari hujan membuatnya penasaran. Dan, saat tahu siapa orang itu, tanpa berpikir apapun lagi dia segera menghampirinya.
“Diminum dulu kopinya.”
Bina yang sejak tadi hanya menunduk, mendongak seketika. Dia tersenyum tipis, menggeleng.
Ghani mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
“Aku gak minum kopi, mas.”
Ghani salah, dia pikir Bina suka kopi, maka dari itu dia memesan kan perempuan itu secangkir kopi cappuccino. Tahu begitu, dia memesan cokelat hangat saja tadi.
“Yaudah, saya pesenin cokelat hangat aja, ya.”
“Gak usah, mas.” tolak Bina cepat, dia menggeleng langsung saat melihat Ghani yang berniat memesan kan cokelat hangat untuknya.
“Loh, kenapa? Kamu hujan-hujanan loh. Pasti kedinginan. Gakpapa, saya yang bayar.”
“Bukan gitu. Aku emang gak mau aja.” jelas Bina, dia menyampirkan tote bag nya yang berisikan laptop. Tenang saja, tote bag nya itu anti air, jadi meskipun tadi dia hujan-hujanan, si lappy masih aman. “Aku mau pulang juga kok. Jadinya, gak usah, mas.”
“Mau pulang?”
Bina mengangguk.
“Yaudah, saya antar, ya.”
“Gak usah! Aku naik taksi aja.” ucap Bina, dia beranjak berdiri. “Makasih, ya, mas. Kalau begitu aku permisi dulu. Assalamu'alaikum.” sambung Bina, dia bergegas pergi tanpa mendengar jawaban dari Ghani.
Ghani hanya bisa diam, menatap kepergian Bina. Dia tersenyum tipis melihat tingkah Bina.
“Waalaikumsalam.”
Bina telah pergi, Ghani pun tak ada niatan menyusul atau membujuk, cukup melihat perempuan itu naik taksi saja sudah cukup untuknya. Senyuman tak pernah pudar dari bibir Ghani melihat Bina, hingga saat dia beranjak berniat pergi, panggilan masuk bukan ke ponselnya membuat dia tersentak seketika.
Ghani baru sadar, jika ponsel milik Bina tertinggal.
“Ya ampun... Bisa-bisanya HP dia ketinggalan.”
Ghani menatap layar ponsel milik Bina, melihat siapa yang menghubungi perempuan itu. Seorang pria muda yang sepertinya seumuran Bina, sepertinya laki-laki ini teman Bina, pikir Ghani.
“Arga,” gumam Ghani, membaca nama penelepon tersebut.
Tak sopan sebenarnya mengangkat panggilan dari ponsel milik orang lain, apalagi Bina juga bukan siapa-siapa nya. Tapi, ada keinginan untuk Ghani mengangkat panggilan tersebut, dia merasa ada sesuatu yang lebih antara Bina dan laki-laki bernama Arga ini.
“Gak, gak. Kalau gue angkat dan si Arga ini bilang sama Bina, pasti Bina bakal mikir jelek tentang gue. No! Jangan sampai gue negatif di pikiran Bina.”
Ghani mengedikkan bahunya, dia mencoba mengabaikan panggilan tersebut. Hingga panggilan itupun berhenti seketika, namun sebuah pesan dari orang yang sama masuk.
‘Bina cantik, MasyaAllah... Makasih, ya tadi. Tuh cokelat jangan lupa lo makan. Tapi, lo juga harus ingat, jangan kebanyakan, gak baik buat kesehatan. Ingat, ya lusa kita mau Malang. Btw, sombonk banget sih lo gak mau angkat telpon gue. Dahlah, bye!’
Sudut bibir Ghani bergetar. Seperti ini kah obrolan anak muda?
Tapi, melihat dari obrolannya membuat Ghani yakin jika antara Bina dan Arga tak mungkin tidak ada apa-apa. Pasti ada sesuatu diantara mereka.
Jadi, apa Arga kah saingannya untuk mendapatkan Bina?
***
Bina menatap pantulan wajahnya di cermin? Tak ada senyum sedikitpun kini, yang ada hanya kesedihan yang terlihat disana. Penyebabnya cuma satu, yaitu cinta. Cintanya bertepuk sebelah tangan, cintanya dipatahkan dan pelakunya adalah sahabatnya sendiri. Kalau sudah begini, siapa yang salah?
Arga kah yang salah karena jatuh cinta pada Caca bukan pada Bina?
Atau, Bina lah yang sebenarnya salah karena selama ini tak pernah mengungkapkan perasaannya dan lebih memendamnya, sehingga kini justru cintanya bertepuk sebelah tangan?
Entah, siapa yang salah sebenarnya.
“Sakit banget disini tuh,” keluh Bina, dia menyentuh dadanya yang benar-benar terasa sakit. Seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menggoreskan sesuatu disana yang menyebabkan luka dan sesuatu itu adalah ungkapan Arga tadi.
“Astaghfirullah...”
Bina memejamkan matanya, dia mencoba menenangkan hatinya juga mengikhlaskan semuanya. Hingga terdengar pintu yang diketuk membuat Bina seketika membuka matanya, dia menoleh pada pintu.
“Siapa?”
“Ini teteh, Bin.”
Bina bergegas membuka pintu yang langsung menampilkan Teh Nisa, istri A Gilang yang kini tersenyum manis padanya. Teh Nisa belum berkerudung, masih terbuka dan kini rambutnya sepanjang bahu juga terlihat curly. Teh Nisa tak ada keturunan Cina, namun wajahnya sungguh menunjukkan jika dia ada darah Cina nya. Kulitnya tidak putih, tidak juga hitam, kuning langsat tepatnya, warna kulit khas orang timur. Bulu matanya lentik, bibirnya cantik, pokoknya teh Nisa ini versi sempurna di mata Bina. Entah apa yang dilakukan A Gilang sampai-sampai bisa mendapatkan perempuan secantik dan sebaik Teh Nisa. MasyaAllah...
“Ada apa, teh?”
“Kamu lagi apa, Bin?” tanya teh Nisa, dia langsung menangkup wajah Bina dengan sebelah tangannya. “Tunggu! Kamu nangis, ya? Kok ini sembab sih?” tukas teh Nisa melihat sembab di mata Bina.
Bina dengan cepat menggeleng, “Enggak, enggak, Bina gak nangis kok. Apaan sih, teh! Lagian, gak ada yang bisa buat aku nangis kali.” ucap Bina, dia terkekeh pelan.
“Kalau ada apa-apa, cerita aja sama teteh. Oke?”
Bina mengangguk, dia bersyukur memiliki teh Nisa dalam hidupnya. Teh Nisa ini benar-benar memberikan kasih sayang dan perhatian layaknya seorang ibu pada anak, terlebih Bina sudah ditinggalkan ibunya sejak dia masih duduk di bangku kelas 2 SD. Rasanya, kasih sayang kurang lengkap Bina dapatkan dan terasa sempurna saat teh Nisa datang.
“Makasih, ya, teh. Oh, iya ada apa?”
“Tuh kan, teteh sampai lupa.” ucap teh Nisa, dia berdecak pelan. “Itu, di bawah ada temannya Aa, dia nyari kamu.”
Bina mengerutkan kening bingung, “Hah! Teman Aa nyari aku? Siapa? Mau apa?” tanya Bina tak mengerti, dia tak merasa punya urusan dengan teman kakaknya itu.
“Teteh gak tahu. Yaudah, kamu temuin aja dulu.”
“Tapi, teh...”
“Kenapa sih emangnya? Orang nemuin doang kan? Udah, gakpapa. Ayo!”
Terpaksa, Bina menurut. Dia mengikuti langkah teh Nisa ke lantai bawah, menemui tamu yang merupakan teman a Gilang yang sudah menunggu di ruang tamu.
“Mas Ghani,” gumam Bina saat melihat siapa yang duduk menunggu di ruang tamu.
Teh Nisa tersenyum tipis melihat keterkejutan Bina yang tak bisa gadis itu sembunyikan.
“Malam, Bin. Sorry, ya saya ganggu kamu.”
Bina menggeleng, “Gakpapa kok, mas. Tapi, ada apa, ya?”
Ghani tersenyum tipis, dia mengeluarkan ponsel milik Bina dari sakunya, kemudian meletakkan diatas meja di hadapan pemiliknya. “Ponsel kamu ketinggalan di cafe tadi. Jadi, saya kesini buat anterin ini.”
Bina tersentak mendengarnya, dia bahkan tak sadar jika ponselnya tertinggal.
“Tunggu! Di cafe? Kalian—”
“Saya tadi gak sengaja ketemu Bina di jalan, dia—”
Bina membulatkan matanya, takut jika Ghani mengatakan semuanya. “Mas, makasih ya udah dianterin. Aku cari-cari ternyata ketinggalan. Oh, iya, ini udah malam juga ternyata ya.”
Ghani tahu maksudnya, itu sebuah pengusiran secara halus. Dia mengangguk-angguk, melirik jam di pergelangan tangannya. “Iya. Udah malam juga ternyata. Yaudah, kalau begitu saya permisi ya.”
“Iya, mas. Sekali lagi makasih ya.”
Setelah kepergian Ghani, terbitlah senyum mencurigakan yang ditujukan teh Nisa untuk Bina yang langsung gelagapan.
“Teh jangan salah paham dulu, ya. Aku tuh—”
“Teteh setuju kalau kamu sama Ghani. Dia baik kok, pekerja keras juga, terus dia punya usaha sendiri loh. Udah mapan lah hitungannya.”
“Apaan sih, teh! Orang aku gak ada apa-apa sama mas Ghani. Tadi, kebetulan aja ketemu. Udah itu doang.”
Teh Nisa terkekeh, “Iya deh, iya. Teteh percaya.” ucap teh Nisa diselingi senyuman menggoda untuk Reina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments