“A, a, bentar!”
Gilang menghentikan langkahnya saat Bina menyerukan namanya, dia mengerutkan kening bingung melihat adiknya itu yang kini berlari menuruni anak tangga menghampirinya. Nisa yang berdiri disamping Gilang, suaminya itu pun ikut bingung.
“Kamu kenapa lari-lari, Bin? Jatuh nanti, ah!” tukas Nisa, dia sedikit kesal sebenarnya melihat adik iparnya itu berlari. Khawatir jika Bina tadi terjatuh karena menuruni anak tangga sambil berlari.
Bina terkekeh pelan, “Maaf, ya teh.” ucap Bina, dia meringis pelan sambil mengerutkan hidungnya.
Nisa hanya menggeleng-geleng saja.
“Ada apa kamu panggil Aa? Mau berangkat kerja nih Aa.”
Bina menyerahkan tas rajut yang dibuat oleh dirinya, rajut warna pink miliknya. “Ini, aku nitip ini buat Mas Ghani.” ucap Bina, isi tas rajut itu adalah jaket yang sempat diberikan Ghani kemarin malam. Sudah dicucinya dan bersih kini.
“Kamu ngasih apa ke Ghani?”
“Kamu suka Ghani, ya?”
“Ih... Apaan sih, teh! Enggak kok.” jawab Bina, dia menggeleng cepat mendengar ucapan Nisa. “Ini tuh isinya jaket mas Ghani, dia pinjemin ke aku malam itu, pas aku pulang hujan-hujanan itu. Nah, sekarang aku mau kasih ke dia. Tapi, lebih baik titip aja sama Aa deh, sekalian.”
Nisa dan Gilang terkejut mendengar ucapan Bina ini, mereka tak tahu jika Ghani mengantarkan adik mereka pulang.
Nisa menatap Gilang yang mengendikkan bahu sambil menggeleng, pertanda dia pun tak tahu. Dia kembali menatap Bina, “Kamu diantar Ghani semalam? Kok gak bilang sih Bin?” tanya Nisa penasaran.
“Dan, setelah kamu diantar pulang kamu gak tawarin dia masuk, gitu?”
Bina menggeleng, “Ya, enggak teh. Udah malam juga kan? Toh, mas Ghani nya juga langsung mau pulang.”
“Tunggu dulu! Kamu sebenarnya ada apa sama teman Aa, si Ghani itu?” tanya Gilang, dia pura-pura tak tahu saja. Meskipun dia tahu, tak mungkin ada sesuatu diantara mereka, ini terjadi karena Ghani yang memang suka dan tertarik dengan adiknya.
Bina menggeleng cepat, “Gak ada apa-apa, asli!” jawab Bina, dia menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya, mencoba menyakinkan kedua kakaknya ini yang sepertinya curiga padanya.
“Masa? Udah dua kali loh kamu berurusan sama Ghani. Masa iya, kamu gak ada apa-apa.” goda Nisa, dia tersenyum menggoda pada Bina yang kesal melihatnya.
“Ih... Apaan sih! Udah, ah! Ini aku nitip ini aja, tolong.”
Nisa dan Gilang terkekeh melihat Bina yang kesal karena mereka goda.
“Gak mau lah! Kamu kasih sendiri sama orangnya, gak sopan tahu.”
“Tapi, —”
“Udahlah, Bin. Kamu kasih sendiri aja sama Ghani, lumayan kan bisa ketemuan lagi.”
Bina kesal dengan kedua kakaknya yang tak henti menggodanya. “Ih, ngeselin banget sih kalian. Udah, ah!” ucap Bina kesal, dia berbalik pergi meninggalkan kedua kakaknya yang kini tertawa puas karena berhasil menggoda nya. Bina membawa kembali tas rajut itu, dia sendiri yang akan memberikannya pada Ghani.
Nisa terkekeh, dia menatap suaminya yang kini juga tengah tersenyum lebar. “Sayang... Lucu banget adik kamu. Si Ghani gercep juga, ya deketin Bina.” ucap Nisa, dia tahu tentang Ghani yang mencoba mendekati Bina, dia sudah dengar semuanya dari Gilang, suaminya.
“Iya. Tapi, gakpapa lah. Ghani juga baik ini orangnya, aku udah kenal dia juga lama. Tapi, semoga aja ya pilihan aku ini gak salah.”
Nisa mengangguk, mengaminkan ucapan Gilang. Bagaimana pun, Bina sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, bukan lagi hanya seorang adik ipar. Jadi, yang terbaik sudah pasti dia harapkan untuk adiknya itu. Dan, semoga Ghani memang yang terbaik.
“Yaudah, sayang. Aku berangkat dulu, ya.”
Nisa mengangguk, dia menyalami tangan suaminya itu. “Kamu hati-hati, ya. ” ucap Nisa yang diangguki Gilang dan berakhir dengan kecupan di puncak kepalanya yang diberikan pria itu. Hingga akhirnya, Gilang pergi menggunakan mobil menuju tempat kerjanya.
***
“Kina mau ikut aku, gak?”
Bina menatap balita berumur 2 tahun ini, dia tengah menikmati semangkuk kecil buah melon yang sudah dipotong dadu berukuran kecil. Dia mengusap-usap lembut pipi Kinara, keponakannya.
“Mau aja Kina kemana? Nanti nangis lagi.”
“Mau ngajak Kina ke depan, ke alun-alun depan loh teh. Di sana kan banyak permainan anak-anak tuh, Kina juga suka naik odong-odong. Makanya, aku mau ajak dia kesana.”
“Tapi, teteh ada pertemuan sore ini sama ibu-ibu. Gak bisa ikut jadinya.”
Bina menggeleng, “Yaudah, gakpapa. Aku berdua sama Kina aja, gak papa kok.” ucap Bina, dia menatap Kinara yang masih saja asyik dengan melon yang kini sudah diremas tangannya, membuat tangan mungil balita itu kotor jadinya. “Iya kan, Kin?” tanya Bina yang justru mendapat jawaban berupa tepukan tangan pelan tangan mungil Kinara di pipi Bina, membuat pipi perempuan itu jadi lengket dibuatnya.
“Ih... Kinara. Lengket tahu.”
“Yaudah, sono, boleh gak papa. Tapi, jangan salahi teteh kalau Kina nanti nangis di sana.”
“Gak bakal, Kina pasti anteng kalau diajak naik odong-odong.”
“Yaudah.”
Dan, benar saja. Kinara, balita itu benar-benar anteng dan hanya tersenyum saat naik odong-odong yang kini tengah berputar pelan sambil memutar beberapa lagu anak-anak. Kinara memilih duduk di odong-odong berbentuk bebek, balita itu suka dengan bebek.
“Kina, lihat sini!”
Bina tersenyum senang saat Kinara mau menatapnya, memberikan senyuman yang langsung saja dia abadikan dengan jepretan kamera dari ponselnya. Cukup lama Kinara naik odong-odong, hingga akhirnya lagu terakhir sudah selesai diputar.
“Kina, sayang. Udah, ya. Yuk, turun!"
Bina langsung mengangkat Kinara untuk turun, dia menggengam erat tangan mungil balita itu. Setelah membayar harga naik odong-odong, Bina pun langsung membawa Kinara untuk pergi, melihat-lihat lagi apa yang ingin dibeli.
“Kina mau apa?”
“Es kim,” jawab Kinara dengan suara imutnya yang selalu saja membuat Bina gemas.
“Dih, dasar. Mentang-mentang gak ada ibu, kamu minta es krim ke aku? Waduh... Enggak-enggak, nanti kamu sakit lagi. Siapa yang disalahin? Aku tahu...” ucap Bina, dia menolak keras keinginan Kina. “Udah, kita beli yang lain aja. Kamu mau balon, gak Kin?” tanya Bina, dia melihat abang penjual balon.
“Balon...”
Bina tersenyum lebar. “Oke... Let's go...”
“Kina mau yang mana?” tanya Bina pada Kinara yang kini sudah ada dalam gendongannya, ikut memilih balon yang diinginkan balita itu.
“Pinpin,”
Bina tersentak, dia mengerutkan keningnya bingung dengan sudut bibir yang sudah bergetar karena menahan tawa. “Ya ampun Kina... Kamu tuh cewek! Kok pengennya upin ipin sih? Ini loh, ada Marsya, ada Elsa. Ada si Meimei juga.”
“Pinpin,”
Bina menghela napas kasar. “Oke... ” jawab Bina akhirnya. “Pak, mau balon si Upin nya satu. Makasih, ya...”
Bina membawa Kina pergi kembali, memilih pergi ke penjual bakso bakar dan sejenisnya. Baru saja dia duduk, selesai memesan dan tengah mengobrol bersama Kina, sapaan seseorang membuatnya mendongak seketika.
“Mas Ghani?”
“Bina kamu disini?”
Bina mengangguk.
“Ini anak Gilang kan? Hallo, Kinara...”
Bina mengerutkan keningnya bingung melihat keberadaan Ghani disini. Pasalnya, ini alun-alun dekat dengan kediaman Bina dan yang dia tahu, Ghani ini tak tinggal sekitar sini. Lalu, untuk apa pria itu disini?
“Mas Ghani ngapain disini?”
Ghani menatap Bina, dia menaikkan kedua alisnya. “Kenapa, emangnya? Gak boleh, ya?” tanya Ghani, dia terkekeh karena pertanyaan Bina.
Bina dengan cepat menggeleng, “Bukan gitu maksud aku, mas. Cuma...” Bina bingung harus memberi alasan apa. Dia jujur atau tidak, ya?
“Kebetulan saya lewat sini, ada yang mau dibeli juga. Eh, gak sengaja ketemu kamu sama Kinara. Jadi, ya, saya sapa dulu deh. Takut dikira sombong gak mau sapa.”
Bina ber'oh'ria, dia mengangguk-angguk.
“Oh, iya. Kebetulan ada kamu juga disini. Saya mau tanya kalau toko Star Cake dimana, ya?”
Bina terdiam, dia nampak berpikir sejenak mendengar tempat yang ditanyakan Ghani. “Oh, itu aku tahu!” tukas Bina, dia tersenyum saat ingat jika toko kue itu milik Mama nya Arga.
Ghani yang melihat Bina tersenyum justru dibuat berdebar, sekuat tenaga menahan senyuman yang sudah siap tercetak dibibirnya. Ghani mengangguk-angguk. “Dimana, itu?” tanya Ghani lagi.
“Gak jauh kok dari sini. Di perempatan sana, mas Ghani belok kanan aja, pokoknya tokonya itu paling mencolok deh.”
Ghani mengerutkan keningnya bingung, “Paling mencolok?” tanya Ghani yang diangguki Bina.
“Iya, mas. Tokonya itu keren sih menurut aku, benar-benar definisi toko kue. Warna warni gitu, aesthetic juga kelihatannya.”
Ghani bergumam pelan, dia ragu sebenarnya mengutamakan niatnya ini. Takut ditolak sebenarnya. “Kamu sibuk, gak? Kalau boleh sih, tolong anterin saya kesana. Gimana?” tanya Ghani, dia berharap Bina mau.
Bina terdiam, dia menatap Kinara di pangkuannya. Sebenarnya dia ingin menolak, tapi dia juga mau bertemu Arga. Siapa tahu, tak sengaja dia bertemu Arga di sana.
“Boleh, mas.”
Mendengar itu, Ghani tak bisa lagi menahan senyumnya, dia tersenyum lebar, merasa mulai ada titik terang niatan nya selama ini. Sepertinya, Bina sudah membuka jalannya.
***
“Kamu mau sesuatu, gak?”
Bina menggeleng, “Enggak kok, mas. Gak usah.” jawab Bina, dia tersenyum tipis.
Mereka melangkah masuk beriringan saat sudah sampai di Star Cake, Ghani membukakan pintu masuknya untuk Bina yang membuat gadis itu tersenyum kikuk jadinya. Bina tersenyum senang saat masuk, dia melirik Kinara yang sama sekali tak rewel, balita itu benar-benar menurut, anteng.
“Saya pesan dulu, ya. Kamu duduk dulu aja.”
“Iya, mas.”
Bina memilih duduk di pojokan, menatap sekeliling tempat ini. Sebenarnya dia mencari keberadaan Arga, namun tak kunjung dia temukan juga. Sepertinya, Arga memang tak ada.
“Kina mau apa? Mau cake juga? Buat apa? Emang dibolehin?”
Sambil menunggu Ghani, Bina bermain bersama Kinara yang kini tengah menikmati sosis bakarnya. Dia dengan telaten menyuapi Bina, gemas sendiri dengan keponakan satu-satunya ini.
“Ibunya baik banget sih.”
Bina seketika mendongak saat mendengar itu, dia tak bisa untuk bersikap biasa saja, senyuman lebar langsung dia tunjukkan saat melihat siapa orang yang ada dihadapannya. Orang yang sama yang jadi alasan dia mau mengantar Ghani kesini, alasan dia datang ke tempat ini. Arga.
Arga terkekeh melihat Bina yang tengah bergurau dengan Kinara, keponakan Bina. Dia duduk disamping Bina, langsung mengangkat Kinara untuk duduk di pangkuannya. Kinara yang diperlakukan seperti itu pun langsung tersenyum, memainkan wajah Arga.
Kinara memang tahu Arga, balita itu juga dekat dengan Arga, tak takut sama sekali karena sudah sering bertemu, karena itu juga sebabnya saat Arga mengangkat Kinara, balita itu tak menolak atau bahkan menangis sama sekali.
“Gemes banget sih anak kecil ini,” ucap Arga, dia tersenyum menatap Kinara. “Makan apa sih? Coba minta! Aaa... ” Kinara yang baik langsung saja menyuapi sosis bakar ke mulut Arga yang langsung dinikmati lelaki itu.
“Ih, jangan dikasih Na! Dia mah kalau minta gak sedikit, nanti abis loh makanan kamu.”
Kinara terlihat bingung mendengar ucapan Bina.
Arga memicingkan matanya, dia mendekat ke telinga Kinara. “Jangan dengerin tante kamu. Dia mah emang pelit orangnya. Kamu jangan, ya.” bisik Arga yang sangat didengar jelas oleh Bina.
“Ish!”
Arga terkekeh, dia mendudukan Kinara dengan benar di pangkuannya, membiarkan balita itu untuk menikmati kembali makanannya tanpa dia ganggu. Dia menoleh pada Bina. “Dari tadi disini? Nungguin gue?” tanya Arga, dia terlalu percaya diri dengan pertanyaannya.
“Dih, geer banget. Ngapain aku nungguin kamu? Kurang kerjaan!” jawab Bina, aslinya dia memang menunggu kedatangan Arga sejak tadi. Tapi, kan gengsi kalau jawab iya.
“Ya, terus ngapain?”
“Ya, menurut kamu aku kesini ngapain?”
“Beli kue,”
“Nah, tahu!”
“Sama siapa? Teh Nisa?"
Bina menggeleng, “Bukan. Sama dia,” jawab Bina sambil menunjukkan Ghani menggunakan arah tatapannya yang membuat Arga jadi ikut menatap orang yang dimaksud Bina.
“Mas-mas itu?”
Bina mengangguk, “Iya, mas Ghani namanya.”
Arga terdiam sejenak, dia mengangguk-angguk dan tersenyum kemudian. “Cie... Siapa nih? Pacar, ya?”
Bina dengan cepat menggeleng, “Bukan... Enak aja, sembarangan! Dia tuh temannya A Gilang, bukan pacar aku. Jangan ngasal deh kalau ngomong, kalau kedengaran gimana? Gak enak tahu.”
“Dikira. Ya, siapa tahu emang pacar lo kan?”
“Bukan, dibilangin bukan juga.”
Arga tersenyum kembali, dia mengangguk-angguk lagi. “Oh, iya. Lo udah prepare buat ke Malang nanti?” tanya Arga, dia menaikkan kedua alisnya.
“Emang jadi?”
“Dih, dikira bercanda kali.”
“Aku belum prepare apapun.”
“Dasar! Jadilah, ya kali gak jadi. Pokoknya gue gak mau tahu, lo harus prepare nanti pulang dari sini. Lo harus ikut pokoknya.”
“Maksa!”
“Emang!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments