Jatuh Cinta (Sama Siapa?)
“Bina... ”
Aku yang tengah fokus pada layar laptop yang saat ini tengah menunjukkan deretan kata yang menjadi kalimat membentuk sebuah cerita, menoleh, melepaskan sebelah air buds yang terpasang di telinga.
Tok... Tok... Tok...
Ceklek...
Terdengar pintu terbuka yang membuat aku menoleh seketika. Di sana, ada A Gilang, kakak sulung ku yang memiliki tubuh sedikit berisi. Bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan yang sudah menikah 4 tahun yang lalu dan kini mempunyai satu putri cantik yang baru saja berusia 2 tahun.
Aku memutar kursiku, berbalik menatap A Gilang yang kini sudah berdecak pinggang. “Ya ampun... Aa panggil dari tadi, gak nyaut-nyaut. Ternyata, lagi sibuk sama si Lappy.” ucap A Gilang, dia berdecak pelan.
Lappy, nama dari laptop yang tengah aku gunakan kini. Laptop yang sudah menemaniku menyelesaikan segala tugas, mulai dari tugas di dunia nyata sampai di dunia maya, bahkan sudah membantuku menghasilkan beberapa karya sejak aku duduk di bangku SMP.
“Apa sih, A? Orang baru panggil sekali juga.” Aku beranjak berdiri, menghampiri A Gilang yang masih berdiri diambang pintu kamar ku. A Gilang memang jarang sekali masuk ke kamarku, mentok-mentok yang berdiri di ambang pintu saja. “Ada apa sih, A?” tanyaku.
“Di bawah, ada teman Aa. Kamu tolong siapin minum sama makanan ringannya, ya. Oh, iya. Teman Aa cuma dua orang, bertiga sama Aa.”
Aku mengerutkan kening, “Lah, emang Teh Nisa kemana?” tanyaku, Teh Nisa itu istri A Gilang, dia kakak ipar ku.
“Dia lagi keluar sana Kinara.”
“Lah, bibi? ”
Terdengar A Gilang yang berdecak pelan. “Kalau ada bibi, Aa gak akan suruh kamu, Bina... Cantik...”
Aku mencebik, malas sebenarnya. Karena sesungguhnya aku tengah melanjutkan naskah novel yang sudah beberapa hari aku biarkan tanpa ada update, sudah banyak pembaca ku yang meminta untuk dilanjutkan. Dan, karena baru ada ide sekarang, cerita itu baru bisa aku lanjutkan sekarang. Tapi, disaat ide itu tengah mengalir di benakku, justru dikaburkan dengan suruhan dari A Gilang.
“Dih, ngelamun nih anak. Udah, buruan! Aa tunggu, ya!”
“Iya...”
“Btw, makasih ya Bina, adik perempuan ku satu-satunya yang cantik jelita.”
Aku mencebik, memutar jengah bola mataku. “Dih, ada maunya aja puji-puji segala. Kalau biasanya tuh, beh, boro-boro!”
“Udah, ah! Buruan!”
“Iya... Aa juga ngapain disini, sana!"
A Gilang pergi, meninggalkan kamarku kini. Dan, aku kembali menuju laptop ku, menyimpan file yang baru saja aku buat. Oh, iya. Aku belum memperkenalkan diri, ya.
Sabina Gemi Aretha. Aku baru saja lulus SMA dan kini sudah duduk di bangku perkuliahan di semester 2. Baru masuk dan kesibukan sangat padat akhir-akhir ini, banyak tugas menumpuk yang belum selesai dikerjakan, namun banyak tugas yang juga berdatangan tiba-tiba. But, it's okay aku coba untuk menikmati itu semua. Lagipula, ini pilihanku, kuliah kemauan ku. Jadi, kalau aku ngeluh, apa gunanya? Ngeluh sedikit boleh, tapi jangan keterusan. Itu intinya.
Juga, aku ada kerja sampingan, gak rutin cuma lumayan buat nambah uang jajan. Aku bekerja sebagai seorang penulis di suatu platform online, juga membuat desain cover untuk beberapa novel. Lagi, itu kemauan aku. Jadi, kalau capeknya nambah, ya gak papa. Toh, hasilnya juga nambah kan? Lagipula, aku enjoy melakukan itu semua.
Sekian perkenalkan singkat dari aku. Kalau mau tahu aku, ya, ikutin kisah aku. Hehehe...
Aku berjalan ke arah cermin, menatap pantulan diri ku yang kini memakai celana dan baju panjang yang longgar, juga hijab yang kini ku kenakan. Liptint sedikit aku swatch di bibirku agar terlihat lebih segar. Setelah dirasa cukup, aku berjalan keluar menuju dapur tanpa melewati ruang tamu.
Tiga cangkir tes manis dengan sepiring croffle juga bolu yang dibuat Teh Nisa kemarin sudah aku siapkan. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu dimana A Gilang dengan temannya kini tengah mengobrolkan sesuatu yang entah apa.
“Permisi,” aku bersimpuh, meletakkan nampak tersebut dia hadapan mereka. “Ini aku buatin teh sama bolu juga croffle yang kebetulan baru juga aku beli. Silahkan dinikmati, ya.” ucapku, tersenyum tipis seperti biasa yang aku lakukan pada tamu lainnya.
“Wih, enak banget kelihatannya. Makasih, ya, Na.”
Aku mengangguk, “Sama-sama,” jawabku sambil beranjak berdiri. “Yaudah, aku permisi dulu, ya. Silahkan dinikmati.” ucapku sekali lagi sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan mereka.
Oh, iya. Ada satu kebiasaan yang entah ini dianggap buruk atau tidak. Hanya saja, aku tak pernah melihat wajah tamu, terutama cowok dan terkhusus teman-teman dari A Gilang. Aku lebih memilih mengalihkan pandangan ku saja karena rasanya kurang nyaman, lebih tepatnya aku memilih menunduk saja, tak berani untuk berkontak mata langsung. Rasanya sedikit canggung, tapi tenang aja aku tahu kok beberapa wajah teman A Gilang yang sempat aku lihat sekilas. Oke, meskipun sebenarnya ini kebiasaan yang aku lakukan bukan hanya pada tamu, tapi pada laki-laki manapun dan dimanapun. Note, orang asing, orang yang aku anggap asing lebih tepatnya.
Begitulah.
Aku kembali ke dapur, meletakkan nampan di tempatnya kembali. Dan, Tiba-tiba ponselku berdering menandakan ada panggilan yang masuk. Aku tersenyum senang melihat siapa nama yang tertera di ponselku. Aku berdehem, memperbaiki penampilan dan dengan cepat mengangkat panggilan tersebut sebelum orang itu mematikan panggilan.
“Hallo, Ga.”
“Lama benar lo angkat telpon,”
Aku mencebik, “Lama apaan? Orang aku gercep banget kok angkat nya. Lebay deh.” jawabku sambil berjalan menuju meja makan, duduk di kursi dan meletakkan ponselku diatas meja lalu disandarkan pada mug yang entah bekas siapa. “Lagian, ngapain telpon? Tumben banget.”
“Ada yang mau gue diskusiin sama lo.”
“Soal?”
“Bentar, gue ajak yang lain dulu buat join disini.”
Aku mengendikkan baju, “Yaudah, buruan, ya.”
“Iya, sabar kali... ”
Aku mencoba menahan bibirku untuk tak tersenyum tiap kali melihatnya, terkadang juga menghalangi mulut menggunakan tangan agar saat tersenyum tidak kelihatan. Oh, iya. Laki-laki yang saat ini tengah melakukan video call bersama ku juga tengah sibuk invited yang lain untuk join bersama kita itu adalah Arga Januari.
Arga Januari adalah salah satu teman dekatku, teman satu kelas sejak duduk di bangku SMP. Sebenarnya, kami berteman berlima ada Aku, Arga, Dwiki, Caca juga Lisa. Kami itu satu kelas, sering satu kelompok dan kebetulan tempat tinggal kami juga berdekatan. Alhasil, kedekatan pun tercipta sampai kini kami semua sudah duduk di bangku perkuliahan. Meskipun kami harus terpisahkan oleh pendidikan, dimana Dwiki dan Caca mengambil pendidikan di Malang, Lisa di Jogjakarta dan aku juga Arga yang masih di kota yang sama. Jadi, bisa dibilang disini yang masih bisa bertemu secara langsung, ya, aku sama Arga.
Jika banyak yang bilang, pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu gak akan mungkin seratus persen rasa teman, pasti ada rasa lain yang tumbuhnya, aku rasa itu benar.
Karena sejujurnya, aku menaruh perasaan lebih untuk Arga. Aku suka sama dia. Meskipun, aku tahu, jika Arga menaruh hati pada perempuan lain. Karena itu pula, aku tak pernah mengatakan sejujurnya mengenai perasaanku ini. Jadi, perasaan ini biar aku saja yang pendam sendiri. Toh, aku juga gak mau merusak persahabatan antara kami.
“Dih, si Bina malah bengong. Aneh.”
“Hey, Bin. Ulah bengong, woy!”
Aku tersentak, membulatkan mata dan tersadar jika Lisa dan Caca sudah join di vc ini. Aku terkekeh.
“Eh, enggak. Gak bengong kok.”
“Yaelah, kayak gak tahu Bina aja sih kalian. Pasti tuh anak lagi berimajinasi, lagi ngehalu dia buat tokoh-tokoh fiksi nya itu.”
Aku terkekeh mendengar ucapan Arga, “Apaan sih kamu, Ga! Gak jelas! Lagian, ada apa sih tiba-tiba nelpon, ngumpulin kita.”
“Iya nih, Ga. Tumbenan banget. Biasanya juga kalau telpon kita tuh, malam. Lah, ini siang bolong?” tanya Lisa yang juga bingung sama seperti aku, penasaran sih lebih tepatnya. “Terus lagi, tuh si Caca ngapain diam doang dari tadi.”
“Stt... Gue lagi kelas online, bestie.”
“Ya ampun... Tuh, Ga! Buruan deh, lo mau ngomongin apa? Kasihan Caca.”
“Bentar, ini nunggu iki angkat dulu. Si anjir, sok sibuk emang tuh anak.” umpat Arga saat Dwiki tak juga mengangkat panggilan.
“Yaudah, gue jelasin sekarang aja.”
“Minggu ini kita ke Malang!”
“Hah?”
Kami semua memekik mendengar ucapan Arga, belum sempat aku bertanya, namun panggilan membuatku menoleh seketika. Aku dengan cepat beranjak berdiri, tersenyum kikuk pada salah satu teman A Gilang yang entah siapa namanya.
“Ada apa, ya, Mas?” tanyaku sambil tangan mematikan microphone di panggil. Aku menatap teman A Gilang itu, sungguh aku gugup kini. Padahal aku sering berdekatan dengan laki-laki, maksudku Arga dan Dwiki. Tapi, tetap saja aku gugup jika berdekatan dengan laki-laki lain.
“Maaf, saya ganggu, ya?”
Aku menggeleng, "Enggak kok, mas. Ada apa? Mas butuh sesuatu atau mau ke toilet?”
“Bukan,”
“Iya, terus?”
“Saya butuh gula. Ada?”
Aku mengangguk, “Gula, ya? Ada kok. Bentar, ya aku ambilin.”
“Iya, makasih, ya.”
Aku berjalan menuju rak bumbu, mengambil toples yang berikan gula pasir dan kembali menghampiri teman A Gilang itu. “Ini, mas.” ucap ku sambil menyerahkan toples tersebut.
“Oke, makasih ya...?”
“Bina, aku Bina mas.” ucapku sambil tersenyum, lucu sekali melihat pria itu terlihat bingung ingin menyebutku apa.
“Oke, Bina. Sekali lagi, makasih ya.”
“Oke, mas.”
Dan, saat teman mas Gilang itu pergi aku hanya diam dan kembali menghampiri ponselku dan bergabung dengan panggilan itu.
“Oke, jadi gitu.”
“Gitu, apa?” tanyaku yang tak mengerti, aku ketinggalan infomasi nih.
“Yaelah. Lo sih, orang gue lagi jelasin tadi malah pergi. Ketinggalan kan lo!”
“Ya, sorry. Tadi kan ada temannya A Gilang minta gula, masa iya aku cuekin gitu aja, kan gak enak. Udah, deh. Jadi, apa? Ngapain kita ke Malang.”
“Gitu, pokoknya! Udahlah, intinya lo siap-siap aja buat nanti Minggu. Gue jemput lo nanti. Sekian ya, guys infomasi dari gue. Bye!”
Tut.
Aku mendengus kesal saat panggilan diputus begitu saja, masalahnya jika hanya Arga mungkin tak apa. Aku bisa bertanya pada yang lainnya. Namun, ini mereka semua justru mematikan panggilan tersebut.
“Dasar, gak jelas banget. Biarin lah. Mending ke kamar, lanjut nulis lagi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments