“Mau buku jenis apa, Ga?”
Aku dan Arga masuk ke salah satu toko buku yang cukup terkenal, tempatnya tak jauh dari kampus kami. Hanya butuh waktu 15 menit menggunakan motor yang dikendarai Arga untuk kami sampai disini. Pertama masuk, langsung di suguhkan dengan deretan rak-rak yang berisikan buku yang ditata begitu rapih, satisfying sekali melihat ini semua.
“Gue sih mau cari novel,”
Aku terkejut mendengar jawaban Arga. Pasalnya yang aku tahu, dia itu gak suka novel, jangankan novel, buku biasa saja Arga kurang suka. Bisa dibilang, Arga itu anti sekali dengan buku, kalaupun harus berurusan dengan buku, ya, karena terpaksa saja.
Aku terkekeh, melirik Arga yang kini tengah melihat-lihat buku yang berderet di rak itu. “Sejak kapan kamu suka novel?” aku berbalik, menatap Arga.
“Emang kalau cari novel, artinya suka gitu?”
Aku menggeleng, bukan itu maksudnya. “Ya, gak juga sih. Tapi, ngapain kamu cari novel gitu? Sedangkan, aku tahu, ya gimana antinya kamu itu sama buku. Lagipula aku juga tahu, kamu kan malas banget kalau baca. Tingkat keminatan kamu sama bacaan itu, kecil... banget.” Aku menunjukkan seberapa kecilnya ketertarikan Arga pada buku menggunakan jemariku.
Terlihat Arga terkekeh. “Gila... Yang tahu gue banget, nih. Hormat, gue!”
Pukulan tanpa menyakitkan langsung aku layangkan pada lengan Arga, nyebelin banget cowok ini. Terus menerus menggoda ku tanpa henti, padahal kan aku hanya berucap apa yang aku tahu saja.
Arga justru tertawa melihatku yang sudah menatapnya kesal.
“Mi, lo tahu novel ini?”
“Apa?” tanyaku, sedikit terkejut saat Arga menunjukkan novel ditangannya. Sebuah novel bergenre teen fiction yang ada di jajaran buku best seller. Aku menunggu apa yang akan dikatakan Arga selanjutnya.
“Gue gak suka baca buku, apalagi sama novel. Dan, lo tahu itu, Mi. Tapi, pas itu gue iseng beli buku ini, gak tahu kenapa tertarik aja gitu.”
Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Arga, menunggu harap-harap cemas apa lagi yang akan dikatakan lelaki itu.
“Pertama kali baca, gue udah feeling kalau buku ini bakal gue suka. Dan, benar aja. Gue suka. Apa yang penulis ini tulis disini, benar-benar bisa gue rasain. Dia benar-benar bawa gue jadi tokoh di ceritanya dan gak tahu kenapa, ya. Gue ngerasa, apa yang terjadi sama mereka justru kayak pernah terjadi sama gue, ya, cuma beda tipis doang lah ceritanya.”
Aku tersenyum mendengarnya, bahagia mendengar pujian yang diberikan Arga untuk novel itu.
“Lo kan suka nulis tuh, Na. Siapa tahu lo tahu nih penulisnya. Bentar, siapa ya?” Aku terkejut mendengar pertanyaan Arga. “Samitha. Lo tahu dia?”
Aduh... Aku bingung harus menjawabnya bagaimana kalau sudah ada pertanyaan seperti ini. Pasalnya, kalau aku jujur semua rahasia pasti akan terbongkar kini. Dan, semuanya bisa saja jadi kacau. Aku tak mau mengacaukan semua yang sudah tertata ini.
“Gak tahu,”
“Masa, iya?”
“Emangnya kamu mau ngapain kalau tahu juga?”
“Ya, mau berterimakasih lah. Berkat dia, gue bisa jadi orang yang peka sekarang.”
Aku mengerutkan kening bingung, tertarik dengan pernyataan yang dikeluarkan Arga. Lelaki itu jadi peka? Hm...
“Asli, Na! Gue jadi peka sekarang. Gue jadi tahu, kalau perhatian itu penting. Gue gak bisa terus-terusan jadi orang cuek, gue harus peka sama orang disekitar gue, terutama sama dia yang suka sama gue.”
Aku langsung menegang seketika mendengar itu. Ini yang Arga ucapkan bukan berarti dia tahu kalau aku suka sama dia, bukan? Kalau iya... Bagaimana?
“Terus, Ga?”
Dia menggeleng, “Gak ada kelanjutannya. Udah, itu doang.”
Speechless aku mendengar itu, aku pikir Arga akan mengatakan jika dia tahu kalau aku suka sama dia. Tapi, ternyata tidak. Ini sih artinya, lelaki itu belum peka. Atau, mungkin aku nya saja yang kurang menunjukkan rasa suka itu padanya? Entahlah.
“Pokoknya gue suka sama penulis ini. Love banget gue!”
Aku hanya tersenyum mendengarnya, tak lepas juga menatap Arga yang kini sudah berjalan mencari buku-buku yang lainnya. Andai Arga tahu kalau ’Samitha’ itu aku. Akulah penulis dari novel yang Arga sukai itu. Iya, beneran aku loh, gak bohong.
Kenapa kok Arga gak tahu? Ya, karena aku gak kasih tahu. Jangankan Arga, temanku yang lainnya saja tidak tahu. Bahkan, kakak ku pun tidak tahu. Yang mereka tahu adalah aku suka menulis novel, sudah itu saja. Kalau masalah nama pena, tak ada yang tahu. Jadi, yang tahu hanya aku, Tuhan dan orang-orang yang bekerjasama saja.
“Na! Malah bengong! Sini!”
Aku bergegas menghampiri Arga, menatap kembali novel yang kini berada ditangannya. Aku mendongak menatapnya. “Mau beli buku ini?” tanyaku yang sudah pasti diangguki Arga.
“Inikan buku cewek,” tukasku bingung.
Arga justru terkekeh sambil mengangguk, “Emang. Gue kan beliin ini buat Caca, dia kan suka banget sama penulis ini. Jadi, gue bawain deh buat dibawa ke Malang. Meskipun gue tahu, pasti disana juga ada lah buku kayak gini. Tapi, kan beda cerita Na kalau gue yang bawain. Iya, gak?”
Seketika aku terdiam tak percaya dengan apa yang diucapkan Arga. Lagi dan lagi, Caca.
...***...
Kenapa setiap kali Bina patah hati, pasti hujan selalu menemani. Hujan baik sekali, mau menemani Bina, tak pernah membiarkan perempuan itu sendiri. Sama seperti waktu itu, Bina terjebak hujan, seorang diri. Bedanya, kini perempuan itu tak hujan-hujanan dan lebih memilih berteduh di salah satu halte bersama orang-orang lain juga. Sebenarnya, Arga sempat menawarkan tumpangan untuk mengantarkan Bina pulang, namun perempuan itu menolaknya dengan berbagai alasan, alhasil dia terjebak di keadaan hujan kini, mana deras lagi.
Bina mendongak, menatap langit yang semakin gelap. Dia melirik jam dipergelangan tangannya, masih jam setengah tujuh malam, belum terlalu larut. Keadaan pun masih lumayan ramai juga, jadi tak perlu khawatir rasanya. Sebelum pada akhirnya, satu persatu orang mulai pergi membuat Bina cemas jadinya.
“Duh, gak bisa nih. Mending nerobos hujan aja kali, ya? Ini dari tadi pesan grab gak ada juga yang terima orderan aku.”
Hingga tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan Bina, membuat perempuan itu bingung jadinya. Namun, saat kaca samping mobil itu terbuka perlahan membuat Bina tahu siapa orang itu sekarang. Ghani, Mas Ghani.
"Bina, kamu ngapain disini?”tanya Ghani, dia mengerutkan kening bingung melihat keberadaan Bina disini, jam segini.
Bina rasanya bersyukur bertemu Ghani kini. “Abis dari toko buku, mas.”
“Mau pulang?”
“Iya, lagi nunggu grab kok.”
“Udah pesan?”
Bina mengangguk, dia memang sudah pesan. “Udah, mas.”
“Udah dapat?”
Bina menggeleng, hingga sekarang dia belum juga mendapatkan drivernya.
“Yaudah, cancel aja. Ayo naik ke mobil, biar saya antar.”
“Gak usah, mas. Aku—”
Ghani turun dari mobilnya, menghampiri Bina dengan payung hitam yang digunakannya. “Bin, hujannya makin deres. Kecil kemungkinan kalau ada driver yang terima orderan kamu. Ayo, biar saya aja yang antar pulang. Saya gak akan macam-macam kok, kamu tenang aja kalau itu yang kamu takutkan.”
Bina menggeleng, bukan seperti itu maksudnya. Hanya saja, Ghani ini merupakan teman kakaknya, meskipun kenal dan sudah pernah bertemu beberapa kali, tetap saja rasanya canggung jika harus berdekatan, apalagi berduaan.
“Ayo!”
Bina tak punya pilihan. Apa yang dikatakan Ghani sebelumnya memang benar dan jika dia tetap memaksakan diri disini, mau sampai kapan? Dia bahkan sudah dua jam menunggu hujan untuk reda, tapi bukannya reda justru semakin deras adanya. Terlebih sekarang, sudah tak seramai sebelumnya, hanya tinggal beberapa orang saja dan itupun kebanyakan tersisa para pria.
“Iya, mas. Bina ikut.” ucap Bina akhirnya, dia memutuskan untuk ikut bersama Ghani.
Ghani tersenyum mendengar jawaban Bina, dia pun langsung membawa Bina menuju mobilnya, jalan beriringan dibawah satu payung yang sama. Menghargai hijab yang Bina kenakan membuat Ghani menjaga jaraknya kini, bahkan dia tak masalah jika dirinya lah yang harus kebasahan air hujan, yang penting Bina nya tetap terjaga. Itulah salah satu caranya menjaga Bina.
Dan, disinilah mereka kini. Di mobil milik Ghani yang dikendarai oleh pria itu bersama Bina yang duduk disamping Ghani yang sejak tadi hanya diam saja, saling menautkan tangan merasakan kecemasan.
“Kamu kedinginan, ya?”
Bina menoleh, dia memang dingin namun dia tak mungkin juga menjawabnya dengan jujur. Alhasil, dia menggeleng. “Enggak, kok mas.” jawab Bina, bohong.
Mobil yang dikendarai Ghani pun tiba-tiba berhenti, pria itu menepikan mobilnya membuat Bina seketika membulatkan matanya, cemas dengan apa yang dilakukan Ghani.
“Loh, loh, mas. Kenapa, berhenti?” tanya Bina cemas, dia jadi berpikir negatif.
Ghani terdiam, menatap lekat Bina yang sudah membulatkan matanya. Dia melepaskan jas yang dikenakannya, membuat Bina semakin cemas jadinya. Apa yang akan dilakukan Ghani? Kenapa pria itu tiba-tiba membuka jasnya.
“Mas Ghani udah bilang katanya gak akan macam-macam. Tapi, sekarang apa? Aku—”
“Yang mau macam-macam siapa?”
“Mas Ghani ngapain buka jas segala?” kesal Bina.
Ghani terkekeh melihat kekesalan juga kecemasan dari Bina,dia tak bisa menahan tawanya lagi dan justru tawa Ghani itu jadi kebingungan untuk Bina.
Bina menatap bingung Ghani. “Mas Ghani, kenapa?”
Ghani menatap Bina, masih dengan sisa tawanya yang belum selesai. “Kamu lucu banget sih, Bin. Gemas tahu gak sih.”
Bina diam saja, masih bingung dia.
“Saya tuh cuma mau ambil jaket sama jas saya di belakang. Yang masih kering.”
Ghani benar-benar melakukan apa yang diucapkannya, dia mengambil satu jaket berserta jas kemudian memberikan salah satunya, yaitu jaket pada Bina.
“Itu buat kamu. Saya tahu kok, kamu pasti kedinginan.”
Bina ingin menolak, namun melihat tatapan tajam penuh peringatan dari Ghani, seakan pria itu memintanya untuk tak menolak akhirnya dia mengangguk saja. “Makasih, mas.” ucap Bina sambil mengenakan jaket yang diberikan Ghani padanya.
Ghani mengangguk, dia tersenyum dan kembali melajukan mobilnya menuju rumah Bina, dia akan mengantar perempuan itu pulang kini.
“Kenapa, ya?”
Bina menoleh mendengar Ghani bertanya, dia mengerutkan keningnya, menunggu apa yang akan Ghani tanyakan.
Ghani fokus pada jalanan didepannya, dia bisa melihat jika Bina menatapnya melalui ekor matanya. “Setiap saya ketemu kamu, pasti lagi hujan terus. Dan...” Ghani tak langsung melanjutkan ucapannya, dia justru diam beberapa saat yang membuat Bina penasaran.
“Dan, apa mas?”
“Dan kamu selalu dalam keadaan sedih.”
Ghani menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berwarna merah, dia menoleh menatap Bina kini yang justru diam. “Saya tahu dan saya juga pernah ada diposisi kamu.” ucap Ghani yang membuat Bina kembali menoleh menatapnya, dia mengedikkan bahunya. “Saya rasa, akan percuma untuk kamu mencoba baik-baik aja disaat sebenarnya kamu gak lagi baik. Cinta kan penyebabnya?” tebak Ghani, dia yakin itu.
Bina gelagapan, dia dengan cepat menggeleng. “Enggak kok. Lagipula, aku gak sedih. Mas Ghani salah paham.”
“Saya tahu, ya, Bina. Kamu ini lagi patah hati dan biasanya orang patah hati kayak kamu ini, suka sama hujan. Karena kebanyakan dari kamu ini, related sama hujan. Berasanya pas banget suasana hati sama hujan. Iya, gak?”
Bina menggeleng, “Gak juga, kok.”
Ghani terkekeh, “Kamu patah hati kan karena laki-laki yang kamu suka justru suka perempuan lain, teman kamu sendiri juga. Iya, gak?”
Bina terkejut mendengarnya, dia tak bisa menyembunyikan keterkejutan nya itu. Namun, dengan cepat dia menetralkan lagi ekspresinya jadi biasa-biasa saja. “Mas Ghani ngomong apa sih? Gak ngerti aku maksudnya.”
Ghani tersenyum lebar. “Kamu ngerti kok, saya tahu itu. Tapi, kalau kamu mau pura-pura gak ngerti juga gakpapa, gak masalah.”
“Terserah mas Ghani aja deh.”
Ghani mengangguk-angguk, “Saya cuma mau ingetin sama kamu. Kalau dia gak suka, gak usah kamu kejar. Kamu itu perempuan, kodrat kamu, ya dikejar, bukan mengejar. Akan percuma dan buang-buang waktu aja kalau kamu masih kekeh sama laki-laki yang jelas-jelas udah punya tambatan hati yang lain. Oke?”
Bina tak membalasnya, dia hanya diam dan mencerna ucapan Ghani. Dan, sekarang pertanyaannya cuma satu. Bina harus berhenti jatuh cinta pada Arga?
***
“Makasih, ya mas Ghani udah anterin aku.”
“Iya, sama-sama. Oh, iya, saya gak mampir, ya. Salam aja sama Gilang juga Nisa.”
“Iya, mas. Sekali lagi, makasih ya...”
“Iya, yaudah. Saya pergi, ya.”
Ghani bersiap pergi, dia sudah siap menginjak gas mobilnya namun ketukan pelan di kaca pintu sampingnya, tepat dimana Bina berdiri saat ini. Dia pun membuka kaca pintu mobil tersebut, menaikan sebelah alisnya bingung saat Bina memanggil namanya.
“Kenapa, Bin? Ada yang ketinggalan?”
Bina menggeleng, dia ragu sebenarnya mengatakan ini. Namun, dia harus tetap mengatakannya. Entah kenapa, Bina selalu takut jika orang yang mengantarnya pergi begitu saja saat dia belum sempat mengatakan kalimat ini.
“Terus, kenapa?”
“Mas Ghani hati-hati, ya. Kalau habis hujan biasanya jalanan licin, jadi gak usah ngebut-ngebut.”
Ghani sekuat tenaga menahan senyumannya, dia harus menjaga image nya di hadapan Bina. Padahal jelas sekali hatinya sudah berbunga-bunga hanya kalimat sederhana yang Bina ucapkan. Ghani yakin, Bina tak bermaksud untuk menggodanya atau cari perhatian padanya, perempuan itu tulus akan ucapannya dan sayangnya Ghani baper dibuatnya. Bahkan, Ghani merasa pipinya sudah memanas kini, dia tersipu malu dibuatnya.
“Iya, Bin. Makasih, ya.”
“Iya. Yaudah, aku masuk dulu. Makasih ya...”
Ghani menatap kepergian Bina yang kini sudah menghilang dibalik pintu gerbang rumah perempuan itu. Dan, saat itu juga senyuman lebar beserta pekikan girang langsung dia ungkapkan. Wow... Rasanya, benar-benar luar biasa!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments