"Kamu ini kenapa, sih, Din? Arhan kurang apa coba? Kenapa susah banget buat kamu terima dia?"
"Mas Arhan gak ada kurangnya, Ma. Tapi, aku emang gak bisa terima dia."
Wina berdecak frustrasi sewaktu Dinara mengulang kalimat yang sama. "Mama gak mau tau. Pokoknya kamu harus mau nikah sama Arhan."
"Mama bisa gak, sih, jangan maksa? Ini hidup aku. Aku yang berhak menentukan pilihan."
"Tapi, sampai kapan, hah? Kamu mau jadi perawan tua? Ingat, Dinara. Kamu itu gak muda lagi, udah 27 tahun. Temen-temen kamu aja udah punya anak semua, 'kan? Terus kenapa kamu gak bisa kayak mereka? Jawabannya karena kamu terlalu pemilih."
"Ma, abisin makanannya dulu. Gak baik marah-marah di depan rezeki."
Dari ujung meja, Rangga menegahi pertengkaran tersebut. Dirinya memang sudah biasa melihat Dinara dan istrinya adu mulut seperti ini. Namun, dari sekian banyaknya pertengkaran, ini yang terburuk.
Suasana malam hari di meja makan tak terasa hangat lagi. Jika biasanya waktu-waktu seperti ini digunakan untuk menciptakan momen bersama, kini tak lagi.
Sementara itu, Dinara meletakkan peralatan makannya dengan dongkol. Seleranya hilang, digantikan rasa muak yang menyesakkan. Di sampingnya, Kinara menatap sedih ke arahnya. Gadis itu seolah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aku udah selesai."
Kinara menghela napas panjang, sedangkan Rangga mengusap wajahnya perlahan. Namun, Wina tidak seperti itu. Wajahnya memerah karena menahan gumpalan marah. Tepat ketika Dinara benar-benar bangkit dari kursinya, ia pun berkata, "Terus aja kayak begini. Mama cuma mau kamu bahagia. Salah, ya?"
Langkah Dinara terhenti. Ia menoleh melalui bahu kiri. Dengan seulas senyum tipis ia berkata, "Mama gak salah, kok. Salahnya kenapa aku yang harus jadi anak Mama."
* * *
"Dinara."
Lamunan Dinara pecah sewaktu tepukan lembut terasa nyata pada bahunya. Ia menoleh dan tersenyum hangat ke arah Rangga.
"Bapak kenapa harus maksa ke sini, sih? Bukannya kata dokter Bapak harus banyak istirahat, ya?"
Pria dengan umur yang tak lagi muda itu tertawa kecil. Usai mengambil tempat pada satu-satunya kursi kosong yang tersisa pada balkon, ia berkata, "Bapak gapapa, Din. Malahan Bapak merasa cemas kalau sehari gak ketemu kamu," jelas Rangga untuk kesekian kalinya.
Dinara mengangguk lalu mengambil secangkir kopi dan meniup kepulan asap agar menjauh. Setelah cukup, barulah ia meneguk minuman tersebut dengan tenang.
Siang tadi, Dinara dikagetkan dengan kedatangan Rangga yang tiba-tiba. Sang ayah tidak mengirimkan pesan ataupun meneleponnya. Jika Dinara tahu Rangga akan menemuinya, tentu dia akan melarangnya.
Dua minggu yang lalu, Rangga baru keluar dari rumah sakit. Kesehatannya menurun hingga dokter menyarankannya untuk beristirahat di rumah.
"Mama tau, kan, kalau Bapak ke sini?"
"Tau."
"Terus kenapa gak ikut?"
"Bapak larang. Bapak tau, komunikasi kamu dan Mama masih kurang baik. Jadi, Bapak gak mau sampai ada pertengkaran lagi."
"Kenapa, ya, Pak? Kenapa Mama begitu keras sama Dinara? Apa karena Dinara bukan anak kandung Mama?"
"Dinara ... kamu gak boleh berpikir begitu. Mama sayang kamu. Sangat sayang."
Dinara menggeleng tipis. Setetes air tampak menggenang di sudut mata kirinya. Malam ini, cuaca terasa dingin. Dinara menaikkan kedua kakinya ke atas kursi dan memeluknya dengan erat. Kedua matanya mengarah ke depan, jauh melewati atap perumahan.
"Mama gak sayang sama Dinara. Mama cuma sayang Kinara. Karena cuma dia anak kandung Mama."
"Dinara, dengerin Bapak."
Dipanggil begitu, Dinara lantas menatap sang ayah dengan manik basah. Sesaat, ia menemukan ketenangan hanya karena Rangga mengelus puncak kepalanya dengan sayang.
"Setiap orang tua punya cara berbeda-beda dalam mengungkapkan kasih sayangnya. Walaupun kamu bukan anak kandung Mama, tapi cintanya selalu tulus buat kamu."
Rangga mengembuskan napas panjang. Di umur senja seperti sekarang ini, menghadapi kegalauan putrinya tentu bukanlah perkara yang mudah.
Dinara bukan lagi gadis yang sama seperti 27 tahun yang lalu. Putrinya terlalu banyak berubah. Mulai dari sikap, pemikiran, ataupun saat mengambil keputusan. Untuk itu, cara menenangkan dan menghadapinya juga tak lagi sama.
"Kalau kamu mau tau, satu-satunya orang yang tak pernah putus mendoakan kebahagianmu setelah Bapak adalah Mama, Dinara. Hanya Mama yang setiap malam selalu memohon kepada Tuhan agar kamu hidup nyaman dan tenang. Hanya Mama ...."
Perkataan Rangga membuat tangisan Dinara semakin jelas. Sebenarnya, amarah seperti apa yang sedang ia pertahankan?
* * *
"Adam, kamu beneran udah gak cinta lagi sama aku?"
"Jangan gini, Sher. Please ...." Dengan gerakan yang begitu halus, Adam melepaskan cengkeraman Sherly pada lengannya.
Perempuan itu mendengkus, tetapi sedetik kemudian kembali memegang bahu Adam. "Aku janji gak akan tinggalin kamu dan Agam lagi. Aku janji bakalan jadi istri dan ibu yang baik buat kalian. Aku janji, Adam. Tolong terima aku lagi. Aku ... aku cinta sama kamu."
Adam terdiam. Dari sekian banyaknya kejutan, pengakuan Sherly adalah yang paling mengejutkan. Dia benar-benar tak menyangka. Perempuan yang pernah mencampakkannya dan Agam beberapa tahun silam, hari ini kembali menampakkan batang hidungnya.
Perempuan ini bahkan menangis dan memohon. Memeluknya beberapa kali, menyentuh wajahnya dengan penuh perasaan.
"Sher ...." Adam melirih, gagal menyusun setiap kalimat yang ingin ia ucapkan.
Adam marah? Jelas.
Dari hati yang terdalam, dirinya sangat ingin memarahi Sherly. Perempuan ini bukan hanya meninggalkan dirinya. Akan tetapi, dia juga menghancurkan hati Agam.
"Kamu masih sayang aku, kan, Dam?"
Jika ditanya apakah masih ada rasa, jawaban Adam adalah 'iya'. Sherly satu-satunya wanita yang selalu Adam cintai. Sherly satu-satunya perempuan yang Adam harapkan untuk kembali. Namun, Adam tak ingin serakah. Hidupnya tergantung Agam, putranya.
Dan, sayangnya, Agam sudah tak lagi mengharapkan kehadiran perempuan ini di sisinya.
"Maaf, Sher. Gak ada lagi yang tersisa buat kamu. Entah itu cinta ataupun kasih sayang. Semua musnah. Semua hilang."
"Kamu jahat, Adam. Kamu jahat!" bentak Sherly tak terima. Ia memukul dada Adam banyak kali untuk menyesali perbuatannya. Masih dengan tangisan, ia berusaha berkata, "Aku akan kembali, Adam. Akan aku buktikan kalau aku adalah satu-satunya ibu yang pantas buat Agam."
Sherly pergi dengan langkah terhentak-hentak. Melewati jajaran meja, kursi, bahkan beberapa pelayan yang menyaksikan pertengkaran mereka.
Saat Sherly sudah benar-benar jauh dari matanya, Adam memilih untuk mengistirahatkan dirinya. Mengapa saat ia sudah lupa, perempuan ini malah hadir untuk dirinya? Sebenarnya rencana Tuhan itu apa? Apakah dirinya harus kembali patah dengan orang yang sama?
"Mas Adam?"
Panggilan sopan tersebut memaksa Adam untuk kembali mendongakkan kepala. Sepertinya rencana untuk istirahat di jam pagi saat kafe belum sibuk-sibuknya musnah begitu saja.
"Kan, bener Mas Adam. Kenapa di sini, Mas? Mau ngopi juga, ya?"
"Oh, Mbak Dinara. Saya lagi istirahat aja, kok. Mbak Dinara mau ngopi?" tanya Adam sopan.
"Iya," jawab Dinara semangat sambil mengangkat gelas kopinya tinggi-tinggi. "Sekalian nyusun naskah juga, sih, Mas. Boleh gak saya duduk di sini?"
"Boleh-boleh."
Dinara tersenyum lebar lalu menarik kursi dan mendudukinya dengan santai. "Tadi rencananya mau keliling buat nyari sarapan. Eh, tau-taunya saya malah ketemu kafe ini. Karena menarik, saya pun masuk. Dan, ternyata malah ketemu Mas Adam di sini."
Adam hanya tersenyum dan mengangguk tipis. Benar-benar tak tahu harus merespons dengan kalimat apa.
"Mas Adam, kok, gak minum, sih? Pesan aja. Biar nanti saya yang bayarin. Itung-itung salam kenal dari tetangga baru."
Kalimat yang diucapkan Dinara cukup membuat Adam merasa geli. Ia tertawa singkat lalu melambaikan tangan hingga seorang pelayan mendekat ke arahnya.
"Tolong bawakan menu spesial hari ini, ya. Jangan sampai terlewat satu menu pun," ujarnya pada pelayan tersebut.
Di seberang mejanya, Dinara terlihat meneguk ludah dengan kasar. Kedua matanya sempat melotot sambil menggigit bibir kuat-kuat.
Gue pikir dia bakalan pesen minuman doang. Tau-taunya malah ngelunjak minta makan. Gimana, nih? Mana royalti gue belum cair lagi.
"Sebelumnya terima kasih banyak atas kebaikannya, Mbak Dinara. Tapi, kali ini, biarkan saya mentraktir Mbak Dinara lebih dulu, ya."
Adam berdiri lalu membungkukkan badannya sekilas. Dengan senyuman manis seolah Sherly tak pernah kembali dalam hidupnya, ia mencoba bersikap ramah dan ceria. Adam berkata, yang pada akhirnya membuat Dinara kehilangan separuh suaranya.
Ucapnya, "Selamat datang di Palazzo Kafe. Semoga Mbak Dinara menikmati sarapannya."
"Bentar-bentar. Mas Adam yang punya kafe ini, ya?"
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
kalea rizuky
dinara gatel amat uda ada yg tulus malah milih duda yg belom selesai ma masa lalu dasar bodoh
2024-06-29
1
Teteh Lia
aq kirim 🌹
semangat buat Kaka author. 💪
2023-10-23
0
Mawar_Jingga
halo kak salam kenal,aku mampir nih🤭
mampir dan ikuti juga "sepotong sayap patah" ya,
mari saling mendukung🤍
2023-09-11
0