"Eh, ibu-ibu tau gak cewek yang tinggal di ujung sana?" tanya Bu Anis setelah mengambil beberapa tomat segar.
"Tau-tau. Yang anak kuliahan itu, kan?" Bu Ayu memastikan.
"Iya, saya kenal, Bu. Anaknya baik, manis, dan sopan gitu," jelas wanita berdaster dengan rambut tersanggul rapi. Kalau Dinara tak salah ingat, wanita ini bernama Gita.
"Dih, baik apanya? Tiap malem, dia selalu bawa pulang laki-laki ke rumah." Bu Anis menimpali, wajahnya tampak tak suka akan perkataan Bu Gita. Sembari memilih sayuran pada gerobak yang selalu apel setiap pagi di depan rumahnya, obrolan itu pun bertambah parah.
"Eh, Bu Anis jangan fitnah. Kalau gak ada bukti, nanti jadi dosa, lo, Bu." Bu Mega, ibu rumah tangga yang memiliki toko roti tak jauh dari rumahnya. Dia mengambil beberapa terong lalu menanyakan harga ke tukang sayur yang sejak tadi hanya menyimak obrolan ibu-ibu di sekitaran gerobaknya.
"Saya ada bukti, Bu Mega. Nanti, deh, pas arisan saya kasih liat," kata Bu Anis membela diri.
Dari sekian banyaknya pembeli, Dinara termasuk salah satunya. Sama halnya seperti penjual sayur, Dinara juga tidak menanggapi apa-apa.
"Kalau Mbak Dinara, bakalan tinggal di sini terus, kan, ya?"
Merasa terpanggil, Dinara menoleh ke arah Bu Gita dan menjawab, "Enggak, Bu. Cuma untuk tiga bulan ke depan."
"Lo, kenapa gak selamanya aja. Sayang, lo, kalau rumah ini gak ditempatin."
"Kamu ini seumuran anak saya, 'kan? Kenapa belum nikah juga? Si Windi aja udah punya anak dua. Kalau kelamaan gak nikah-nikah, nanti gak bakalan ada yang mau, lo. Emangnya kamu mau jadi perawan tua?"
Dinara berdecak tanpa suara. Bu Anis ini memang ingin diketuk kepalanya. Kalau bukan karena dia lebih tua dari Dinara, bukan tak mungkin Dinara akan menyumpal mulutnya dengan sayuran layu.
"Bu Anis ini. Setiap orang punya waktu masing-masing buat mengatur kapan mau nikah," sahut Bu Mega seakan mengerti perasaan Dinara.
"Saya, kan, cuma ngomong, Bu. Salah, ya?"
"Lagian buat apa nikah cepat kalau ujung-ujungnya cerai kayak si Adam? Akibatnya, bukan cuma dia yang hancur, tapi Agam juga. Kata anak saya, di sekolah Agam selalu diejek karena gak punya mama. Kasian banget, 'kan?"
"Eh, jadi Mas Adam itu duda, Bu?"
"Ya, iya," sahut Bu Ayu, "Dia itu udah jadi duda sejak anaknya umur empat tahun. Karena mantan istrinya gak tahan hidup miskin, jadinya dia pergi ninggalin mereka berdua. Harap-harap si Sherly bakalan menyesal. Karena sekarang usaha Adam udah berjaya. Kafe punya dia bukan cuma satu, tapi tiga di cabang kota yang berbeda."
Selesai membeli beberapa sayuran segar, Dinara langsung pulang ke rumah. Saat hendak menutup gerbang, kening Dinara malah dibuat bergelombang dengan kehadiran seorang wanita yang berdiri di depan pagar rumah Adam. Wanita itu tampak menelisik ke dalam, tetapi pergi lima detik kemudian tanpa berniat memencet bel rumah.
"Apa itu Sherly, ya?"
Dinara ingin tahu lebih banyak tentang Adam. Namun, akankah ia bisa?
Genap satu minggu ia menempati rumah ini, Adam masih terlihat formal ketika sedang berbicara dengannya. Padahal kalau dilihat-lihat, usia Adam masih terbilang cukup muda.
Cepat-cepat Dinara menggeleng saat pikirannya menjelajah terlalu jauh. Sewaktu ia akan kembali melangkah, tiba-tiba saja pergelangan tangannya ditarik ke belakang. "Ah!" Dinara memekik kaget dan spontan berbalik arah.
Dua detik berikutnya, napas Dinara seolah dibuat hilang. Kedua matanya melotot dan jantungnya berdetak tak beraturan. "Do--Dominik?"
Laki-laki yang dipanggil Dominik tersenyum tipis. Perlahan-lahan, langkahnya semakin mendekat ke arah Dinara. Cengkeraman tangannya pun semakin kuat.
Saat jarak antar keduanya hampir terkikis habis, dia pun menyapa, "Hai. Akhirnya aku berhasil menemukan kamu. Apa kabar, Nara?"
Dinara ketakutan. Kedua manik matanya berpencar ke segala arah. Dia ingin berteriak meminta tolong, tetapi suaranya raib entah ke mana.
Bayang-bayang Dominik saat masih menjadi kekasihnya dulu berputar-putar bagai kaset rusak dalam pikirannya. Sudah hampir lima tahun, tetapi Dinara masih hidup dalam ketakutan yang sama.
"Jangan apa-apain aku. Aku mohon ...."
Dominik tertawa singkat. Mengapa Dinara malah bertambah cantik saja?
"Enggak. Aku gak bakalan apa-apain kamu. Aku cuma mau nyapa. Udah lama aku mencari kamu, Nara. Dan, akhirnya kita ketemu."
Dinara menggeleng kuat. Tidak, Dominik masih saja terlihat mengerikan. Dinara yakin, tak ada yang berubah dari si berengsek ini. Caranya menatap Dinara masih sama. Caranya berkata, bahkan tersenyum selalu mengingatkan Dinara akan perbuatan menjijikkan Dominik terhadapnya.
Sebisa mungkin, Dinara berusaha melepaskan pegangan Dominik pada lengannya. Ia mencoba, tetapi usahanya berakhir sia-sia. Singkatnya, Dinara masih belum cukup kuat untuk melawan rasa takutnya.
"Aku mau bicara, Nara. Boleh?"
"Enggak! Pergi sana! Aku gak mau kamu ada di sini."
"Kamu ngusir aku, Nara? Aku--"
"Pergi, Dominik, pergi!" Dinara berteriak, air matanya luruh begitu saja.
"Nara!" Dominik balik membentak. Urat-urat leher dengan hiasan tato pada sepanjang jalurnya terlihat jelas. Laki-laki itu marah lalu mengertakkan giginya kuat-kuat. "Jangan coba-coba buat aku marah, ya," desis Dominik tak terbantah.
Tangisan Dinara semakin kuat. Saat dirinya ingin berteriak meminta tolong, Dominik malah membekap mulutnya.
Dinara merasa inilah akhir kekuatannya. Kedua kakinya nyaris kehilangan tenaga. Akan tetapi, dari arah kanan seseorang menghampiri mereka dan secara paksa menarik tangan Dominik dari mulutnya.
Dinara menghela napas panjang lalu melepaskan diri dan berdiri di belakang Adam.
"Siapa kamu? Berani-beraninya ganggu kesenangan aku," bentak Dominik dengan marah.
"Pergi dari sini. Kalau enggak, saya bakalan panggil petugas keamanan." Adam berdiri tegap, sengaja menutupi Dinara yang tampak begitu ketakutan.
Melihat tak ada lagi peluang, Dominik meludah dan menatap Adam dengan lekat. "Urusan kita belum selesai. Dan, Nara, jangan pikir aku bakalan pergi lagi. Your is mine."
Usai memberikan peringatan, Dominik langsung menuju ke mobilnya yang ternyata terparkir tak jauh dari rumah Dinara. Laki-laki itu menancap gas dan menghilang seiring perjalanan.
"Mbak Dinara gapapa?"
Adam berbalik dan sedikit menunduk untuk mengecek keadaan Dinara. Sayangnya, perempuan ini tampak begitu syok dan ketakutan. Bahkan, Dinara masih menangis sesegukan.
"Aku takut .... Aku takut ...."
Adam memutar otak. Apa yang harus ia lakukan?
Jika yang menangis ini adalah istrinya, tentu saja dia akan memeluknya. Namun, ini adalah Dinara, tetangganya. Jangankan memeluk, menyentuh pun ia tak berani.
"Mbak Dinara jangan takut. Laki-laki itu udah pergi sekarang."
"Dominik gak bakalan pergi. Setelah tau aku ada di sini, aku yakin dia akan kembali. Aku harus gimana? Apa yang harus aku lakukan? Gimana kalau dia sampai macam-macam lagi?" tanya Dinara masih dengan tangisan.
Sayangnya, tak satu pun dari pertanyaan Dinara yang berhasil Adam berikan jawaban.
Saat ini, dirinya terlalu terkejut memahami keadaan. Saat Dinara mendekat dan perlahan menjatuhkan kepala pada dada bidang miliknya.
"Aku takut ...."
Napas Adam terhenti. Haruskah ia membalas pelukan ini?
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Muliana
yuk, Mas Adam. Manfaatkan situasi 😅
2023-09-11
1