2. Kedatangan Arhan

Dinara baru saja selesai membuang sampah saat Agam dengan santai berjalan di depan rumahnya. Dengan tulus dia tersenyum lalu menyapa Agam hingga menoleh ke arahnya.

Sayangnya, bocah berumur tujuh tahun itu tampak tidak peduli. Dia hanya memandangi Dinara dengan sorot datar. Seolah lupa bahwa wanita ini yang ditemuinya malam tadi, Agam berlalu begitu saja.

"Selamat pagi."

Dinara yang terkejut lantas menoleh ke sumber suara. "Eh, selamat pagi. Mas ini papanya Agam, 'kan?"

"Iya, saya papanya Agam. Saya minta maaf atas kelakuan Agam. Dia memang gitu, dingin dan cuek sama orang baru."

"Oh, iya. Saya paham," balas Dinara seraya menyelipkan anak rambut di belakang telinga.

Dinara tak begitu bingung karena dulu dirinya juga seperti Agam. Sedikit susah untuk akrab dengan orang baru, membuat Dinara kesulitan menambah teman. Namun, apa pun itu, Dinara masih tertarik untuk mengenal Agam semakin dekat.

"Nama saya Adam. Kebetulan, kami tinggal tepat sebelah rumah ini."

Lamunan Dinara tentang Agam dan secuil masa lalunya terhenti ketika sebuah tangan terulur ke arahnya. Dengan sama sopan, ia berusaha membalas uluran papanya Agam. "Saya Dinara. Semoga kita bisa menjadi tetangga yang rukun, ya."

"Iya, pasti." Adam melepaskan tautan tangan mereka lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Saya pikir rumah ini akan selalu kosong. Tapi, pemiliknya kembali setelah sekian lama."

"Iya, saya juga berpikir gitu. Tapi, selalu ada alasan yang bisa membawa kita pulang, 'kan?"

Jika beberapa saat tadi Adam selalu tersenyum ketika berbicara dengannya, kini tidak lagi. Senyum itu mendadak luntur, digantikan dengan wajah muram dan tatapan menyedihkan. "Iya, seharusnya memang ada alasan, tapi ...."

Dinara menunggu kelanjutan kalimat yang akan Adam katakan. Namun, sepertinya harapan itu dipaksa musnah begitu saja.

Adam kembali tersenyum, menatap matanya dengan sorot cerah. "Mbak Dinara kalau perlu apa-apa jangan sungkan untuk minta bantuan saya, ya. Kapanpun Mbak Dinara butuh, saya akan luangkan waktu."

"Makasih banyak, ya, Mas Adam. Mungkin setelah ini, Mas Adam akan sering saya repotkan," sahut Dinara berusaha mencairkan suasana.

Anehnya, Adam benar-benar berhasil dibuat tertawa. "Baiklah kalau gitu, Mbak Dinara. Saya harus segera pulang."

Usai mendapatkan anggukan, Adam segera pergi menuju rumahnya. Lelaki itu sempat menoleh, tersenyum sekilas sebelum akhirnya menghilang di balik pagar.

Sepeninggal Adam, Dinara menghela napas panjang. "Kok, tawanya dia bikin gue seneng, ya?" Dinara bergumam, tetapi dua detik kemudian langsung memukul kepalanya. Dinara meringis dan berkata, "Sadar, Dinara, sadar. Laki-laki itu suami orang. Mana bisa dia jadi suami lo? Emangnya lo mau dicap sebagai pelakor?"

"Siapa yang jadi pelakor, Din?"

"Eh?"

Refleks Dinara berbalik. Jantungnya seolah jatuh karena kehadiran laki-laki seumuran Wisnu di belakangnya.

Laki-laki itu tersenyum manis. Menemukan ekspresi kaget Dinara, ia pun tertawa singkat. "Aku bukan hantu, Din. Biasa aja, dong, liatnya."

"Eh, aku kaget aja, Mas. Kok, Mas Arhan bisa di sini, sih?"

Laki-laki yang dipanggil Arhan itu mengubah raut wajah, membuatnya terlihat seolah berpikir. "Coba tebak. Kira-kira aku kenapa bisa ada di sini?"

"Mas Arhan gak mungkin mau ketemu klien, soalnya ini hari Minggu. Tapi, kalau aku bilang mau samperin aku, itu lebih gak mungkin, 'kan?"

"Sayangnya yang lebih gak mungkin itu yang bener," tukas Arhan santai.

"Mas Arhan beneran ke sini cuma buat samperin aku? Ngapain?"

"Soalnya kemarin aku gak sempat bantuin kamu pas pindahan. Lagian aku yang mau, kok, Din. Gak usah ngerasa gak enak gitu."

Dinara mengangguk lalu mengajak Arhan masuk ke rumahnya. Sesudah mempersilakan laki-laki itu untuk duduk, ia bertanya, "Mas Wisnu tau gak kalau Mas Arhan ke sini?"

"Enggak, sih, kayaknya," jawab Arhan bersamaan dengan matanya yang meneliti seisi ruang tamu. "Rumahnya masih bagus banget, ya, Rin. Padahal udah lama banget, lo, gak ditinggalin."

"Gimana gak bagus? Tiap minggu Papa bakalan ke sini buat bersihin rumah. Eh, Mas Arhan udah sarapan belum?"

Arhan menggeleng. "Belum, sih, Din. Mau sarapan di luar gak?"

"Tapi, aku udah masak. Gimana, dong?"

"Makan di sini aja berarti."

Tanpa perlu dipersilakan, Arhan langsung menuju meja makan.

Rumah Dinara terbilang cukup simple. Di lantai bawah terdapat dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur tanpa sekat. Saat ini, Dinara memilih tidur di kamar lamanya. Kamar berukuran tak besar yang terletak di lantai dua.

Keduanya duduk berhadapan dengan menu sarapan tertata rapi di atas meja. Namun, tiba-tiba saja Arhan berkata, "Aku minta maaf, ya, Din. Gara-gara aku, kamu sampai harus pindah ke sini."

Dinara tersenyum teduh dan terlihat meletakkan potongan dada ayam ke dalam piring Arhan. "Bukan salah Mas Arhan, kok. Aku aja yang mau pindah ke sini."

"Jangan bohong, Din. Aku tau semuanya." Arhan menghela napas cukup panjang, memperhatikan Dinara yang juga sedang menatapnya.

Sebelum bertemu Dinara, Arhan sudah membuat keputusan ini. Dirinya tidak bisa membiarkan perasaan bersalah terus hidup dalam dirinya. Dengan mengungkapkan perasaannya kepada Dinara, setidaknya bongkahan batu yang menyumpal dadanya menghilang begitu saja.

"Wisnu udah cerita kemarin. Katanya, Tante Wina memberikan tempo tiga bulan untuk kamu menemukan lelaki pilihan. Kalau kamu gagal, berarti ...."

"Berarti apa, Mas?" tanya Dinara masih dengan senyum miliknya.

Arhan menggeleng lemah. Bukan karena tak tahu jawaban apa yang harus diberikan, tetapi dia gagal menyusun setiap lembar perasaan.

"Maafin aku, ya, Din. Maaf banget. Harusnya aku gak bilang setuju atas perjodohan itu. Harusnya aku biarin kamu buat memilih kebahagiaan kamu sendiri. Harusnya--"

"Udahlah, Mas. Gak usah diperpanjang lagi. Emangnya kamu gak laper, ya? Perut aku aja udah bunyi dari tadi." Dinara mencoba bergurau yang pada akhirnya membuat Arhan ikut menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

Baginya, Dinara akan dan selalu terlihat indah. Perempuan ini memang tidak memiliki tinggi ideal. Tidak juga dengan bulu mata lentik yang memukau. Akan tetapi, saat Dinara tersenyum, Arhan merasa seluruh keindahan yang Tuhan ciptakan hanya untuk Dinara.

Jadi, salahkah kalau selama ini, Arhan hanya menjatuhkan hatinya untuk Dinara?

Jika ditanya sampai kapan Arhan akan bertahan, dia tak tahu jawabannya. Namun, Arhan bersumpah. Sebelun Dinara benar-benar bahagia dengan pilihannya, dia akan selalu menjaga dan berada di samping Dinara.

"Novel kamu gimana, Din? Kinara bilang, ada penerbit mayor yang pinang naskahnya, ya?"

Obrolan kembali bergulir. Kali ini, menyinggung pekerjaan Dinara sebagai penulis.

"Iya, Mas. Tapi, ini masih dalam proses editing, sih. Doain lancar, ya."

Arhan mengangguk lalu menelan gumpalan nasi usai mengunyahnya. "Pasti, Din. Kapan, sih, aku gak pernah doain kamu?"

"Kamu emang yang tebaik, Mas." Dinara memuji dan Arhan tersenyum manis.

Semoga kamu bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari aku, Mas. Semoga kamu bahagia.

* * *

Terpopuler

Comments

Ulfawani Lubis

Ulfawani Lubis

bagus Thor ceritanya

2024-06-24

1

Taufiqillah Alhaq

Taufiqillah Alhaq

semangat ya author 🤩

2023-09-10

1

lihat semua
Episodes
1 1. Rumah Lama
2 2. Kedatangan Arhan
3 3. Palazzo Kafe
4 4. Laki-laki Dari Masa Lalu
5 Rencana Dinara
6 Cemburunya Arhan
7 Masalah Terbesar
8 Di Sebuah Malam
9 Bukan Kisah Manis
10 Kegilaan Sherly
11 Agam Punya Mama?
12 Rasa Cinta
13 Sensasi Aneh
14 Mau Dipeluk Tidak?
15 Black Star
16 Malam yang Menjijikkan
17 Tidak Mau Lepas
18 Meet Up
19 Kejadian di Lorong
20 Sudut Pandang Adam
21 Boleh Peluk Aku Sebentar?
22 Sisi Lain Adam
23 Dinner
24 Mulai Nyaman
25 Salah Tingkah
26 Jalan Bersama Agam
27 Harapan Terbesar
28 Pacar Saya
29 Antara Sherly dan Dinara
30 Akhirnya Arhan Tahu
31 Butuh Pembuktian
32 Sama-Sama Suka
33 Agam Ke Mana?
34 Papa Suka Aunty, Ya?
35 Biar Apa?
36 Pesan Misterius
37 Tetangga yang Meresahkan
38 Saling Kenal
39 Martabak Telur dan Secangkir Kopi
40 Kusuka Dia
41 Cerita Siang Hari
42 Yang Ditunggu
43 Selamat Malam, Sayang
44 Ibu dan Bapak
45 Jangan Buang Adam, Pak
46 Wejangan Mas Wisnu
47 Arhan Patah Hati
48 Ciumannya Gak Jadi
49 Masak Bareng
50 Diam-Diam Mengerikan
51 Di Rumah Sakit
52 Manfaatnya Apa, Mas?
53 Sherly Berulah Lagi
54 Arhan dan Adam
55 Jaga Jarak, Ya
56 Pertemuan Sherly dengan Dominik
57 Tanda Bahaya
58 Si Gila Dominik
59 Fakta yang Terungkap
60 Adam Harus Membayar Mahal
61 Bentuk Rasa Sayang
62 Pulang
63 Arhan Akan Pergi
64 Akhir yang Berbeda
Episodes

Updated 64 Episodes

1
1. Rumah Lama
2
2. Kedatangan Arhan
3
3. Palazzo Kafe
4
4. Laki-laki Dari Masa Lalu
5
Rencana Dinara
6
Cemburunya Arhan
7
Masalah Terbesar
8
Di Sebuah Malam
9
Bukan Kisah Manis
10
Kegilaan Sherly
11
Agam Punya Mama?
12
Rasa Cinta
13
Sensasi Aneh
14
Mau Dipeluk Tidak?
15
Black Star
16
Malam yang Menjijikkan
17
Tidak Mau Lepas
18
Meet Up
19
Kejadian di Lorong
20
Sudut Pandang Adam
21
Boleh Peluk Aku Sebentar?
22
Sisi Lain Adam
23
Dinner
24
Mulai Nyaman
25
Salah Tingkah
26
Jalan Bersama Agam
27
Harapan Terbesar
28
Pacar Saya
29
Antara Sherly dan Dinara
30
Akhirnya Arhan Tahu
31
Butuh Pembuktian
32
Sama-Sama Suka
33
Agam Ke Mana?
34
Papa Suka Aunty, Ya?
35
Biar Apa?
36
Pesan Misterius
37
Tetangga yang Meresahkan
38
Saling Kenal
39
Martabak Telur dan Secangkir Kopi
40
Kusuka Dia
41
Cerita Siang Hari
42
Yang Ditunggu
43
Selamat Malam, Sayang
44
Ibu dan Bapak
45
Jangan Buang Adam, Pak
46
Wejangan Mas Wisnu
47
Arhan Patah Hati
48
Ciumannya Gak Jadi
49
Masak Bareng
50
Diam-Diam Mengerikan
51
Di Rumah Sakit
52
Manfaatnya Apa, Mas?
53
Sherly Berulah Lagi
54
Arhan dan Adam
55
Jaga Jarak, Ya
56
Pertemuan Sherly dengan Dominik
57
Tanda Bahaya
58
Si Gila Dominik
59
Fakta yang Terungkap
60
Adam Harus Membayar Mahal
61
Bentuk Rasa Sayang
62
Pulang
63
Arhan Akan Pergi
64
Akhir yang Berbeda

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!