Dinara baru saja selesai membuang sampah saat Agam dengan santai berjalan di depan rumahnya. Dengan tulus dia tersenyum lalu menyapa Agam hingga menoleh ke arahnya.
Sayangnya, bocah berumur tujuh tahun itu tampak tidak peduli. Dia hanya memandangi Dinara dengan sorot datar. Seolah lupa bahwa wanita ini yang ditemuinya malam tadi, Agam berlalu begitu saja.
"Selamat pagi."
Dinara yang terkejut lantas menoleh ke sumber suara. "Eh, selamat pagi. Mas ini papanya Agam, 'kan?"
"Iya, saya papanya Agam. Saya minta maaf atas kelakuan Agam. Dia memang gitu, dingin dan cuek sama orang baru."
"Oh, iya. Saya paham," balas Dinara seraya menyelipkan anak rambut di belakang telinga.
Dinara tak begitu bingung karena dulu dirinya juga seperti Agam. Sedikit susah untuk akrab dengan orang baru, membuat Dinara kesulitan menambah teman. Namun, apa pun itu, Dinara masih tertarik untuk mengenal Agam semakin dekat.
"Nama saya Adam. Kebetulan, kami tinggal tepat sebelah rumah ini."
Lamunan Dinara tentang Agam dan secuil masa lalunya terhenti ketika sebuah tangan terulur ke arahnya. Dengan sama sopan, ia berusaha membalas uluran papanya Agam. "Saya Dinara. Semoga kita bisa menjadi tetangga yang rukun, ya."
"Iya, pasti." Adam melepaskan tautan tangan mereka lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Saya pikir rumah ini akan selalu kosong. Tapi, pemiliknya kembali setelah sekian lama."
"Iya, saya juga berpikir gitu. Tapi, selalu ada alasan yang bisa membawa kita pulang, 'kan?"
Jika beberapa saat tadi Adam selalu tersenyum ketika berbicara dengannya, kini tidak lagi. Senyum itu mendadak luntur, digantikan dengan wajah muram dan tatapan menyedihkan. "Iya, seharusnya memang ada alasan, tapi ...."
Dinara menunggu kelanjutan kalimat yang akan Adam katakan. Namun, sepertinya harapan itu dipaksa musnah begitu saja.
Adam kembali tersenyum, menatap matanya dengan sorot cerah. "Mbak Dinara kalau perlu apa-apa jangan sungkan untuk minta bantuan saya, ya. Kapanpun Mbak Dinara butuh, saya akan luangkan waktu."
"Makasih banyak, ya, Mas Adam. Mungkin setelah ini, Mas Adam akan sering saya repotkan," sahut Dinara berusaha mencairkan suasana.
Anehnya, Adam benar-benar berhasil dibuat tertawa. "Baiklah kalau gitu, Mbak Dinara. Saya harus segera pulang."
Usai mendapatkan anggukan, Adam segera pergi menuju rumahnya. Lelaki itu sempat menoleh, tersenyum sekilas sebelum akhirnya menghilang di balik pagar.
Sepeninggal Adam, Dinara menghela napas panjang. "Kok, tawanya dia bikin gue seneng, ya?" Dinara bergumam, tetapi dua detik kemudian langsung memukul kepalanya. Dinara meringis dan berkata, "Sadar, Dinara, sadar. Laki-laki itu suami orang. Mana bisa dia jadi suami lo? Emangnya lo mau dicap sebagai pelakor?"
"Siapa yang jadi pelakor, Din?"
"Eh?"
Refleks Dinara berbalik. Jantungnya seolah jatuh karena kehadiran laki-laki seumuran Wisnu di belakangnya.
Laki-laki itu tersenyum manis. Menemukan ekspresi kaget Dinara, ia pun tertawa singkat. "Aku bukan hantu, Din. Biasa aja, dong, liatnya."
"Eh, aku kaget aja, Mas. Kok, Mas Arhan bisa di sini, sih?"
Laki-laki yang dipanggil Arhan itu mengubah raut wajah, membuatnya terlihat seolah berpikir. "Coba tebak. Kira-kira aku kenapa bisa ada di sini?"
"Mas Arhan gak mungkin mau ketemu klien, soalnya ini hari Minggu. Tapi, kalau aku bilang mau samperin aku, itu lebih gak mungkin, 'kan?"
"Sayangnya yang lebih gak mungkin itu yang bener," tukas Arhan santai.
"Mas Arhan beneran ke sini cuma buat samperin aku? Ngapain?"
"Soalnya kemarin aku gak sempat bantuin kamu pas pindahan. Lagian aku yang mau, kok, Din. Gak usah ngerasa gak enak gitu."
Dinara mengangguk lalu mengajak Arhan masuk ke rumahnya. Sesudah mempersilakan laki-laki itu untuk duduk, ia bertanya, "Mas Wisnu tau gak kalau Mas Arhan ke sini?"
"Enggak, sih, kayaknya," jawab Arhan bersamaan dengan matanya yang meneliti seisi ruang tamu. "Rumahnya masih bagus banget, ya, Rin. Padahal udah lama banget, lo, gak ditinggalin."
"Gimana gak bagus? Tiap minggu Papa bakalan ke sini buat bersihin rumah. Eh, Mas Arhan udah sarapan belum?"
Arhan menggeleng. "Belum, sih, Din. Mau sarapan di luar gak?"
"Tapi, aku udah masak. Gimana, dong?"
"Makan di sini aja berarti."
Tanpa perlu dipersilakan, Arhan langsung menuju meja makan.
Rumah Dinara terbilang cukup simple. Di lantai bawah terdapat dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur tanpa sekat. Saat ini, Dinara memilih tidur di kamar lamanya. Kamar berukuran tak besar yang terletak di lantai dua.
Keduanya duduk berhadapan dengan menu sarapan tertata rapi di atas meja. Namun, tiba-tiba saja Arhan berkata, "Aku minta maaf, ya, Din. Gara-gara aku, kamu sampai harus pindah ke sini."
Dinara tersenyum teduh dan terlihat meletakkan potongan dada ayam ke dalam piring Arhan. "Bukan salah Mas Arhan, kok. Aku aja yang mau pindah ke sini."
"Jangan bohong, Din. Aku tau semuanya." Arhan menghela napas cukup panjang, memperhatikan Dinara yang juga sedang menatapnya.
Sebelum bertemu Dinara, Arhan sudah membuat keputusan ini. Dirinya tidak bisa membiarkan perasaan bersalah terus hidup dalam dirinya. Dengan mengungkapkan perasaannya kepada Dinara, setidaknya bongkahan batu yang menyumpal dadanya menghilang begitu saja.
"Wisnu udah cerita kemarin. Katanya, Tante Wina memberikan tempo tiga bulan untuk kamu menemukan lelaki pilihan. Kalau kamu gagal, berarti ...."
"Berarti apa, Mas?" tanya Dinara masih dengan senyum miliknya.
Arhan menggeleng lemah. Bukan karena tak tahu jawaban apa yang harus diberikan, tetapi dia gagal menyusun setiap lembar perasaan.
"Maafin aku, ya, Din. Maaf banget. Harusnya aku gak bilang setuju atas perjodohan itu. Harusnya aku biarin kamu buat memilih kebahagiaan kamu sendiri. Harusnya--"
"Udahlah, Mas. Gak usah diperpanjang lagi. Emangnya kamu gak laper, ya? Perut aku aja udah bunyi dari tadi." Dinara mencoba bergurau yang pada akhirnya membuat Arhan ikut menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
Baginya, Dinara akan dan selalu terlihat indah. Perempuan ini memang tidak memiliki tinggi ideal. Tidak juga dengan bulu mata lentik yang memukau. Akan tetapi, saat Dinara tersenyum, Arhan merasa seluruh keindahan yang Tuhan ciptakan hanya untuk Dinara.
Jadi, salahkah kalau selama ini, Arhan hanya menjatuhkan hatinya untuk Dinara?
Jika ditanya sampai kapan Arhan akan bertahan, dia tak tahu jawabannya. Namun, Arhan bersumpah. Sebelun Dinara benar-benar bahagia dengan pilihannya, dia akan selalu menjaga dan berada di samping Dinara.
"Novel kamu gimana, Din? Kinara bilang, ada penerbit mayor yang pinang naskahnya, ya?"
Obrolan kembali bergulir. Kali ini, menyinggung pekerjaan Dinara sebagai penulis.
"Iya, Mas. Tapi, ini masih dalam proses editing, sih. Doain lancar, ya."
Arhan mengangguk lalu menelan gumpalan nasi usai mengunyahnya. "Pasti, Din. Kapan, sih, aku gak pernah doain kamu?"
"Kamu emang yang tebaik, Mas." Dinara memuji dan Arhan tersenyum manis.
Semoga kamu bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari aku, Mas. Semoga kamu bahagia.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Ulfawani Lubis
bagus Thor ceritanya
2024-06-24
1
Taufiqillah Alhaq
semangat ya author 🤩
2023-09-10
1