Lelaki Rumah Sebelah

Lelaki Rumah Sebelah

1. Rumah Lama

Dinara berdiri di samping ayunan yang diikat pada dahan pohon mangga. Kedua matanya menatap datar ke arah bangunan dua lantai yang masih berdiri kokoh meski hampir dua puluh tahun ditinggalkan pemiliknya. Dinara tak menyangka, pertengkaran antara dirinya dan Mama ternyata membuatnya pergi sejauh ini.

"Kamu mau bengong di sana terus atau gimana, sih?"

Dinara tersentak dan spontan memandangi Wisnu yang berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. "Eh, udah selesai semua, ya, Mas?"

"Udahlah," ketus Wisnu sebelum menghampiri Dinara dan menduduki salah satu ayunan yang masih kokoh.

Sama halnya seperti Dinara, Wisnu juga mengarahkan matanya ke arah yang sama. "Gak usah takut. Sesekali Mas bakalan jengukin kamu di sini. Cuma tiga bulan, 'kan?"

Dinara mengangguk lalu menghela napas panjang.

"Lagian kamu, sih. Kenapa gak terima aja dijodohin sama Arhan? Dia kurang apa coba? Mapan, tampan, perhatian. Sama yang paling penting, dia udah suka kamu sejak sepuluh tahun yang lalu."

"Mas Arhan udah aku anggap kayak abang sendiri, Mas. Aku gak bisa cinta sama dia," jawab Dinara entah kali ke berapa.

"Jangan-jangan kamu masih suka Dominik lagi?"

"Enggak, ya. Aku udah lupain Dominik. Dia gak tepat buat aku."

"Bagus. Akhirnya kamu sadar kalau si berengsek itu emang gak pantas buat kamu."

Dinara mengangguk sambil sesekali mengayunkan ayunan yang membuat tubuhnya juga ikut bergerak. Beberapa tahun lalu, dia dan Wisnu selalu bermain di ayunan ini. Namun, begitu Kinara lahir, ayahnya dipindahtugaskan ke luar kota. Mereka sekeluarga pun ikut pindah. Hari itu adalah hari terakhir Dinara menginjakkan kaki di sini.

"Mas ingetin sama kamu, jangan sekali-kali kamu benci sama Mama. Mama cuma khawatir, Dinar. Mama takut jika suatu hari nanti mereka pergi, kamu bakalan sendiri."

"Aku gak benci sama Mama, kok, Mas. Dan, pilihan buat tinggal di sini aku juga yang minta."

Wisnu tersenyum simpul ketika Dinara menoleh ke arahnya. Dengan gerakan pelan, ia mengusap kepala Dinara sebelum berkata, "Mas harus pulang."

"Gak nginap di sini aja, Mas?"

"Kalau Mas di sini, Mbak Lastri di rumah sama siapa, Din? Kamu gak tau aja gimana rewelnya Musa pas kebangun malem-malem. Kasian Mbak Lastri kalau harus ngurus Musa sendirian."

"Kalau gitu makan malam dulu, deh, ya?"

"Gak, ah. Nanti kemalaman lagi sampai rumahnya."

Dinara mendengkus kesal karena gagal membujuk Wisnu untuk lebih lama menemaninya. Bukannya Dinara takut. Hanya saja, dia tak terbiasa untuk tinggal sendirian. Selama ini, kehidupannya selalu dipenuhi banyak orang. Apabila memasuki kawasan baru, ia sedikit merasa tak nyaman.

"Kalau kamu setuju nikah sama Arhan, kamu gak perlu tinggal di sini sendirian, Din. Kamu pasti bakalan bahagia di umur kamu yang segini."

"Jangan mulai, deh, Mas," pinta Dinara tak suka.

"Mas serius, Din."

"Aku juga serius pas bilang gak mau nikah sama Mas Arhan. Dan, Mas Arhan fine-fine aja, kok. Dia masih suka baik juga sama aku."

"Itu karena dia suka kamu, Dinara. Budek bener pas dikasih tau."

Dinara tak peduli. Baginya, Arhan tetaplah seorang kakak laki-laki yang selalu baik dan perhatian kepadanya. Dinara bukanlah gadis polos. Dia sudah tahu kalau Arhan menyukainya sejak dulu. Akan tetapi, dia tak menyangka jika laki-laki yang seumuran kakaknya ini, setuju untuk menikah dengannya.

"Ya, udah, deh, ya. Mas mau pulang. Abis ini kamu langsung masuk rumah. Jangan kelayapan. Semua bahan dapur udah Mas beliin."

Dengan senyum setengah hati, Dinara melepaskan kepergian Wisnu bersama mobil hitam metaliknya. Kini, Dinara tinggal seorang diri.

Entah apa yang akan terjadi nanti, Dinara tak bisa menebaknya. Akankah Dinara berhasil menemukan laki-laki yang tepat untuknya dalam waktu tiga bulan? Kalau jawabannya tidak, Dinara terpaksa harus menikah dengan Arhan.

* * *

"Gimana hari pertamanya, Nar? Seru gak?"

"Seru apaan? Gue aja berasa ngeri karna tinggal sendirian."

"Eh, bukannya ada Mas Wisnu, ya?"

"Dia cuma nganterin, gak bisa nginap. Kasian Mbak Lastri kalau Musa rewel malam-malam."

"Oh, gitu, ya. Nanti, deh, pas weekend gue sama Ali ke rumah lo, Nar. Sekalian mau ngecek, ada mas-mas ganteng gak di sana."

Dinara tertawa singkat dan berkata, "Ingat Ali, Hel. Dia tunangan lo."

Masih dalam obrolan via telepon dengan Helena, kening Dinara dibuat bergelombang oleh seorang anak kecil yang menangis di seberang jalan rumahnya. Dia berdiri untuk memastikan. Sebelum melangkah lebih jauh, dia berkata kepada Helena, "Udah dulu, ya, Hel. Gue ada urusan."

"Oke, deh. Baik-baik, ya, di sana."

Selesai menyimpan ponsel ke dalam saku celana, Dinara berjalan ke luar pagar. Tatapannya masih mengarah pada seorang anak kecil yang menangis di bawah lampu jalan. Dalam cahaya remang-remang dengan langit malam sebagai latar, anak itu menyembunyikan wajah pada lipatan tangan yang ditumpuk rapi di atas lututnya.

Dinara mendekati si kecil dengan cara berjongkok di sebelahnya. Seraya menyentuh pundaknya, Dinara bertanya lembut, "Nak, kamu kenapa?"

Anak laki-laki itu mengangkat wajah untuk menatap Dinara. Sayangnya, dia memilih diam, membuat pertanyaan Dinara terabaikan.

"Kenapa sendirian aja? Orang tua kamu di mana?"

Anak itu bergeming tanpa mengindahkan kekhawatiran Dinara sedikit pun. Tak patah arang, Dinara memutuskan bertanya sekali lagi. "Kamu ingat alamat rumah kamu gak? Atau nama orang tua? Nomor telepon? Kalau gak--"

"Agam?"

Ucapan Dinara terhenti ketika seseorang tiba-tiba datang dari arah belakang. Spontan Dinara mendongak lalu menemukan seorang laki-laki memandang ke arahnya.

Ah, tidak-tidak.

Laki-laki itu memandangi si kecil dengan sorot mata khawatir. Apa ini ayahnya?

"Maaf," Dinara berdiri, membuat laki-laki tersebut mengalihkan tatapan ke arahnya, "Mas ini kenal sama--"

"Papa jahat! Agam benci sama Papa!"

Agam berdiri dan berteriak marah. Tangisan yang beberapa saat tadi sempat mereda, kini kembali tumpah karena kehadiran papanya.

"Maafin Papa, Agam. Maafin Papa karena gak datang. Papa udah kecewain Agam. Papa salah." Pria itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan putranya. Sewaktu hendak menyentuh pundak Agam, kedua tangannya ditepis dengan kasar.

Anak kecil itu marah, wajahnya memerah. Kedua tangannya terkepal dan napasnya berembus tak beraturan.

"Agam gak suka sama Papa. Papa gak nepatin janji. Jangan ganggu Agam. Agam mau sendiri!"

Tanpa mendengar kalimat berikutnya, Agam segera berlari ke arah rumahnya yang terletak tepat di sebelah rumah Dinara. Dengan pandangan campur aduk, Dinara menatap kepergian Agam dan sosok lelaki di sebelahnya secara bergantian.

"Em, kalau gitu, saya permisi."

Dinara berbalik, hendak meninggalkan lelaki yang tak diketahui namanya tersebut.

"Sebelumnya terima kasih banyak, ya, Mbak. Terima kasih karena udah perhatian sama Agam."

Dinara tersenyum tipis dan mengangguk singkat. Bagaimanapun, Agam terlalu manis untuk diabaikan.

* * *

Terpopuler

Comments

Jusmihidar Ambosakka

Jusmihidar Ambosakka

bagus ceritanya

2024-06-24

1

Teteh Lia

Teteh Lia

hai Kaka.. mampir jg yu ke ceritaku .
" love story in SMA "

2023-10-21

0

Muliana

Muliana

up up up

2023-09-08

1

lihat semua
Episodes
1 1. Rumah Lama
2 2. Kedatangan Arhan
3 3. Palazzo Kafe
4 4. Laki-laki Dari Masa Lalu
5 Rencana Dinara
6 Cemburunya Arhan
7 Masalah Terbesar
8 Di Sebuah Malam
9 Bukan Kisah Manis
10 Kegilaan Sherly
11 Agam Punya Mama?
12 Rasa Cinta
13 Sensasi Aneh
14 Mau Dipeluk Tidak?
15 Black Star
16 Malam yang Menjijikkan
17 Tidak Mau Lepas
18 Meet Up
19 Kejadian di Lorong
20 Sudut Pandang Adam
21 Boleh Peluk Aku Sebentar?
22 Sisi Lain Adam
23 Dinner
24 Mulai Nyaman
25 Salah Tingkah
26 Jalan Bersama Agam
27 Harapan Terbesar
28 Pacar Saya
29 Antara Sherly dan Dinara
30 Akhirnya Arhan Tahu
31 Butuh Pembuktian
32 Sama-Sama Suka
33 Agam Ke Mana?
34 Papa Suka Aunty, Ya?
35 Biar Apa?
36 Pesan Misterius
37 Tetangga yang Meresahkan
38 Saling Kenal
39 Martabak Telur dan Secangkir Kopi
40 Kusuka Dia
41 Cerita Siang Hari
42 Yang Ditunggu
43 Selamat Malam, Sayang
44 Ibu dan Bapak
45 Jangan Buang Adam, Pak
46 Wejangan Mas Wisnu
47 Arhan Patah Hati
48 Ciumannya Gak Jadi
49 Masak Bareng
50 Diam-Diam Mengerikan
51 Di Rumah Sakit
52 Manfaatnya Apa, Mas?
53 Sherly Berulah Lagi
54 Arhan dan Adam
55 Jaga Jarak, Ya
56 Pertemuan Sherly dengan Dominik
57 Tanda Bahaya
58 Si Gila Dominik
59 Fakta yang Terungkap
60 Adam Harus Membayar Mahal
61 Bentuk Rasa Sayang
62 Pulang
63 Arhan Akan Pergi
64 Akhir yang Berbeda
Episodes

Updated 64 Episodes

1
1. Rumah Lama
2
2. Kedatangan Arhan
3
3. Palazzo Kafe
4
4. Laki-laki Dari Masa Lalu
5
Rencana Dinara
6
Cemburunya Arhan
7
Masalah Terbesar
8
Di Sebuah Malam
9
Bukan Kisah Manis
10
Kegilaan Sherly
11
Agam Punya Mama?
12
Rasa Cinta
13
Sensasi Aneh
14
Mau Dipeluk Tidak?
15
Black Star
16
Malam yang Menjijikkan
17
Tidak Mau Lepas
18
Meet Up
19
Kejadian di Lorong
20
Sudut Pandang Adam
21
Boleh Peluk Aku Sebentar?
22
Sisi Lain Adam
23
Dinner
24
Mulai Nyaman
25
Salah Tingkah
26
Jalan Bersama Agam
27
Harapan Terbesar
28
Pacar Saya
29
Antara Sherly dan Dinara
30
Akhirnya Arhan Tahu
31
Butuh Pembuktian
32
Sama-Sama Suka
33
Agam Ke Mana?
34
Papa Suka Aunty, Ya?
35
Biar Apa?
36
Pesan Misterius
37
Tetangga yang Meresahkan
38
Saling Kenal
39
Martabak Telur dan Secangkir Kopi
40
Kusuka Dia
41
Cerita Siang Hari
42
Yang Ditunggu
43
Selamat Malam, Sayang
44
Ibu dan Bapak
45
Jangan Buang Adam, Pak
46
Wejangan Mas Wisnu
47
Arhan Patah Hati
48
Ciumannya Gak Jadi
49
Masak Bareng
50
Diam-Diam Mengerikan
51
Di Rumah Sakit
52
Manfaatnya Apa, Mas?
53
Sherly Berulah Lagi
54
Arhan dan Adam
55
Jaga Jarak, Ya
56
Pertemuan Sherly dengan Dominik
57
Tanda Bahaya
58
Si Gila Dominik
59
Fakta yang Terungkap
60
Adam Harus Membayar Mahal
61
Bentuk Rasa Sayang
62
Pulang
63
Arhan Akan Pergi
64
Akhir yang Berbeda

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!