Lelaki Rumah Sebelah
Dinara berdiri di samping ayunan yang diikat pada dahan pohon mangga. Kedua matanya menatap datar ke arah bangunan dua lantai yang masih berdiri kokoh meski hampir dua puluh tahun ditinggalkan pemiliknya. Dinara tak menyangka, pertengkaran antara dirinya dan Mama ternyata membuatnya pergi sejauh ini.
"Kamu mau bengong di sana terus atau gimana, sih?"
Dinara tersentak dan spontan memandangi Wisnu yang berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. "Eh, udah selesai semua, ya, Mas?"
"Udahlah," ketus Wisnu sebelum menghampiri Dinara dan menduduki salah satu ayunan yang masih kokoh.
Sama halnya seperti Dinara, Wisnu juga mengarahkan matanya ke arah yang sama. "Gak usah takut. Sesekali Mas bakalan jengukin kamu di sini. Cuma tiga bulan, 'kan?"
Dinara mengangguk lalu menghela napas panjang.
"Lagian kamu, sih. Kenapa gak terima aja dijodohin sama Arhan? Dia kurang apa coba? Mapan, tampan, perhatian. Sama yang paling penting, dia udah suka kamu sejak sepuluh tahun yang lalu."
"Mas Arhan udah aku anggap kayak abang sendiri, Mas. Aku gak bisa cinta sama dia," jawab Dinara entah kali ke berapa.
"Jangan-jangan kamu masih suka Dominik lagi?"
"Enggak, ya. Aku udah lupain Dominik. Dia gak tepat buat aku."
"Bagus. Akhirnya kamu sadar kalau si berengsek itu emang gak pantas buat kamu."
Dinara mengangguk sambil sesekali mengayunkan ayunan yang membuat tubuhnya juga ikut bergerak. Beberapa tahun lalu, dia dan Wisnu selalu bermain di ayunan ini. Namun, begitu Kinara lahir, ayahnya dipindahtugaskan ke luar kota. Mereka sekeluarga pun ikut pindah. Hari itu adalah hari terakhir Dinara menginjakkan kaki di sini.
"Mas ingetin sama kamu, jangan sekali-kali kamu benci sama Mama. Mama cuma khawatir, Dinar. Mama takut jika suatu hari nanti mereka pergi, kamu bakalan sendiri."
"Aku gak benci sama Mama, kok, Mas. Dan, pilihan buat tinggal di sini aku juga yang minta."
Wisnu tersenyum simpul ketika Dinara menoleh ke arahnya. Dengan gerakan pelan, ia mengusap kepala Dinara sebelum berkata, "Mas harus pulang."
"Gak nginap di sini aja, Mas?"
"Kalau Mas di sini, Mbak Lastri di rumah sama siapa, Din? Kamu gak tau aja gimana rewelnya Musa pas kebangun malem-malem. Kasian Mbak Lastri kalau harus ngurus Musa sendirian."
"Kalau gitu makan malam dulu, deh, ya?"
"Gak, ah. Nanti kemalaman lagi sampai rumahnya."
Dinara mendengkus kesal karena gagal membujuk Wisnu untuk lebih lama menemaninya. Bukannya Dinara takut. Hanya saja, dia tak terbiasa untuk tinggal sendirian. Selama ini, kehidupannya selalu dipenuhi banyak orang. Apabila memasuki kawasan baru, ia sedikit merasa tak nyaman.
"Kalau kamu setuju nikah sama Arhan, kamu gak perlu tinggal di sini sendirian, Din. Kamu pasti bakalan bahagia di umur kamu yang segini."
"Jangan mulai, deh, Mas," pinta Dinara tak suka.
"Mas serius, Din."
"Aku juga serius pas bilang gak mau nikah sama Mas Arhan. Dan, Mas Arhan fine-fine aja, kok. Dia masih suka baik juga sama aku."
"Itu karena dia suka kamu, Dinara. Budek bener pas dikasih tau."
Dinara tak peduli. Baginya, Arhan tetaplah seorang kakak laki-laki yang selalu baik dan perhatian kepadanya. Dinara bukanlah gadis polos. Dia sudah tahu kalau Arhan menyukainya sejak dulu. Akan tetapi, dia tak menyangka jika laki-laki yang seumuran kakaknya ini, setuju untuk menikah dengannya.
"Ya, udah, deh, ya. Mas mau pulang. Abis ini kamu langsung masuk rumah. Jangan kelayapan. Semua bahan dapur udah Mas beliin."
Dengan senyum setengah hati, Dinara melepaskan kepergian Wisnu bersama mobil hitam metaliknya. Kini, Dinara tinggal seorang diri.
Entah apa yang akan terjadi nanti, Dinara tak bisa menebaknya. Akankah Dinara berhasil menemukan laki-laki yang tepat untuknya dalam waktu tiga bulan? Kalau jawabannya tidak, Dinara terpaksa harus menikah dengan Arhan.
* * *
"Gimana hari pertamanya, Nar? Seru gak?"
"Seru apaan? Gue aja berasa ngeri karna tinggal sendirian."
"Eh, bukannya ada Mas Wisnu, ya?"
"Dia cuma nganterin, gak bisa nginap. Kasian Mbak Lastri kalau Musa rewel malam-malam."
"Oh, gitu, ya. Nanti, deh, pas weekend gue sama Ali ke rumah lo, Nar. Sekalian mau ngecek, ada mas-mas ganteng gak di sana."
Dinara tertawa singkat dan berkata, "Ingat Ali, Hel. Dia tunangan lo."
Masih dalam obrolan via telepon dengan Helena, kening Dinara dibuat bergelombang oleh seorang anak kecil yang menangis di seberang jalan rumahnya. Dia berdiri untuk memastikan. Sebelum melangkah lebih jauh, dia berkata kepada Helena, "Udah dulu, ya, Hel. Gue ada urusan."
"Oke, deh. Baik-baik, ya, di sana."
Selesai menyimpan ponsel ke dalam saku celana, Dinara berjalan ke luar pagar. Tatapannya masih mengarah pada seorang anak kecil yang menangis di bawah lampu jalan. Dalam cahaya remang-remang dengan langit malam sebagai latar, anak itu menyembunyikan wajah pada lipatan tangan yang ditumpuk rapi di atas lututnya.
Dinara mendekati si kecil dengan cara berjongkok di sebelahnya. Seraya menyentuh pundaknya, Dinara bertanya lembut, "Nak, kamu kenapa?"
Anak laki-laki itu mengangkat wajah untuk menatap Dinara. Sayangnya, dia memilih diam, membuat pertanyaan Dinara terabaikan.
"Kenapa sendirian aja? Orang tua kamu di mana?"
Anak itu bergeming tanpa mengindahkan kekhawatiran Dinara sedikit pun. Tak patah arang, Dinara memutuskan bertanya sekali lagi. "Kamu ingat alamat rumah kamu gak? Atau nama orang tua? Nomor telepon? Kalau gak--"
"Agam?"
Ucapan Dinara terhenti ketika seseorang tiba-tiba datang dari arah belakang. Spontan Dinara mendongak lalu menemukan seorang laki-laki memandang ke arahnya.
Ah, tidak-tidak.
Laki-laki itu memandangi si kecil dengan sorot mata khawatir. Apa ini ayahnya?
"Maaf," Dinara berdiri, membuat laki-laki tersebut mengalihkan tatapan ke arahnya, "Mas ini kenal sama--"
"Papa jahat! Agam benci sama Papa!"
Agam berdiri dan berteriak marah. Tangisan yang beberapa saat tadi sempat mereda, kini kembali tumpah karena kehadiran papanya.
"Maafin Papa, Agam. Maafin Papa karena gak datang. Papa udah kecewain Agam. Papa salah." Pria itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan putranya. Sewaktu hendak menyentuh pundak Agam, kedua tangannya ditepis dengan kasar.
Anak kecil itu marah, wajahnya memerah. Kedua tangannya terkepal dan napasnya berembus tak beraturan.
"Agam gak suka sama Papa. Papa gak nepatin janji. Jangan ganggu Agam. Agam mau sendiri!"
Tanpa mendengar kalimat berikutnya, Agam segera berlari ke arah rumahnya yang terletak tepat di sebelah rumah Dinara. Dengan pandangan campur aduk, Dinara menatap kepergian Agam dan sosok lelaki di sebelahnya secara bergantian.
"Em, kalau gitu, saya permisi."
Dinara berbalik, hendak meninggalkan lelaki yang tak diketahui namanya tersebut.
"Sebelumnya terima kasih banyak, ya, Mbak. Terima kasih karena udah perhatian sama Agam."
Dinara tersenyum tipis dan mengangguk singkat. Bagaimanapun, Agam terlalu manis untuk diabaikan.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Jusmihidar Ambosakka
bagus ceritanya
2024-06-24
1
Teteh Lia
hai Kaka.. mampir jg yu ke ceritaku .
" love story in SMA "
2023-10-21
0
Muliana
up up up
2023-09-08
1