"Papa?"
Jantung Adam mencelus saat anak laki-laki berusia tujuh tahun menatap dingin ke arahnya. Dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana, Agam juga memandangi perempuan yang terisak dalam pelukan ayahnya.
"Eh, Agam?" Adam yang gelagapan lantas menjauhkan Dinara dari tubuhnya.
Begitupun dengan perempuan tersebut. Merasa tertangkap basah, dirinya refleks menyeka air mata dan berdiri tegap tanpa sandaran. Ia sedikit takut saat membalas tatapan Agam. Bagaimanapun, dirinya baru saja berbuat lancang. Perasaan takut akan Dominik membuatnya tanpa sadar memeluk Adam. Namun, ia tak tahu. Apakah tadi laki-laki ini juga ikut membalas pelukannya atau malah sebaliknya?
"Udah mau berangkat, ya? Tunggu sebentar, ya, Gam. Papa keluarin mobil dulu," kata Adam dengan sedikit senyum kaku sebagai bumbu dari kalimatnya.
Agam tak merespons lebih. Selain merotasikan kedua bola matanya dengan malas, dirinya langsung berlalu tanpa menunggu sang ayah terlebih dahulu.
"Maaf banget, ya, Mas Adam. Saya gak sadar kalau tadi ...." Ucapan Dinara terhenti karena kata-kata yang ia susun mendadak raib entah ke mana.
Dan, karena ekspresi bingung tersebut, Adam terdengar berdeham singkat lalu berkata, "Gapapa, Mbak. Saya paham. Kalau begitu, saya pamit dulu."
* * *
Berprofesi sebagai seorang penulis tentu tak mudah. Ada banyak hal yang menjadi tuntutan baginya. Dimulai dari ide cerita yang harus selalu ada, menciptakan alur yang menarik, dan mempertahankan pembaca untuk selalu tertarik membeli bukunya.
"Kenapa harus milih jadi penulis, sih, Din? Padahal kamu itu lulusan bisnis manajemen, lo. Gak sayang sama gelar?"
Itu adalah kalimat yang pernah Wisnu katakan saat ia memutuskan menjadi seorang penulis ketimbang pekerja kantoran seperti dirinya. Wisnu sangat marah kala itu. Baginya, menjadi seorang penulis tidak bisa menjamin masa depan.
"Maka dari itu, aku mau cari suami yang kaya raya. Seenggaknya aku gak perlu kerja lagi, 'kan?" balas Dinara tak mau kalah.
Menjelang sore, ia baru keluar kamar setelah menyelesaikan bagian akhir dari ceritanya. Malam nanti, naskah tersebut sudah bisa dikirimkan ke penerbit.
Beberapa kali Dinara bertanya kepada dirinya sendiri. Akankah kisah cintanya bisa berakhir manis seperti yang ditulis olehnya? Mampukah ia menemukan seseorang yang benar-benar tulus mencintainya?
Pada akhirnya, kepala Dinara akan selalu dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Sialnya, tak satu pun dari pertanyaan tersebut yang berhasil ia temukan jawaban.
"Kalau dipikir-pikir, Mas Adam itu ganteng juga, ya. Kira-kira boleh gak, sih, gue deketin dia? Pasti bolehlah. Orang gak punya istri juga."
Dinara tertawa kecil karena pikirannya sendiri. Bagaimana bisa ia berharap seperti itu? Sejauh ini, Adam bahkan tak terlihat tertarik sama sekali padanya. Pria itu memang ramah, tetapi keramahan tersebut tidaklah cukup untuknya.
"Kalau gitu, gue yang bakalan gerak lebih dulu."
Dinara tak main-main dengan ucapannya. Jika Mama hanya memberikan waktu tiga bulan untuk menemukan lelaki pilihan, Adamlah orangnya.
Lima menit kemudian, Dinara keluar dari rumah dan menuju kediaman Adam. Pagar rumah tersebut tak terkunci, bahkan tertutup pun tidak rapat.
Dari kejauhan, Dinara menemukan Agam yang tengah melakukan sesuatu pada teras. Anak laki-laki itu tampak asyik sendiri sampai-sampai tak sadar kalau Dinara telah berdiri di depannya.
"Hai, Agam. Lagi ngapain, tuh, sendirian aja?"
Merasa terusik, Agam mengangkat wajah dan menatap Dinara dengan kedua alis saling bertaut. Namun, Agam tetaplah Agam. Bocah itu tetap diam, yang pada akhirnya membuat Dinara terabaikan.
Namun, Dinara tak patah arang. Dengan senyum lebar di wajah, Dinara mendekati Agam dan duduk di sebelahnya. Kedua matanya menekuri hasil karya Agam, sebuah lukisan senja yang begitu indah dipandang mata.
"Oh, kamu lagi ngelukis, ya? Bagus banget, lo, ini," puji Dinara tulus dari hati. Dia serius saat mengatakannya. Teruntuk laki-laki seusia Agam, lukisan ini terlihat indah dan terarah.
Warna-warna yang dituangkan pun terlihat pas dan cocok satu sama lain. Intinya, bukan hanya tampan, tetapi Agam juga berbakat dalam pekerjaan tangan.
"Agam mau permen cokelat gak? Nih, Aunty bawain buat kamu."
Dua detik kemudian, Agam kembali menoleh. Kali ini, raut wajahnya sedikit berubah. Tatapannya mengarah ke arah telapak tangan Dinara dan beberapa butir permen cokelat terlihat di matanya.
"Kamu suka? Ambil aja semuanya kalau mau," kata Dinara.
"Em ...." Agam tampak ragu lalu mengedarkan pandangan ke arah pagar yang tertutup rapat. Dan, dengan sekali gerakan, ia meraup semua permen milik Dinara dan segera menyimpannya ke dalam saku celana. "Makasih banyak, Aunty."
"Em, manisnya. Sama-sama, ya, Agam," balas Dinara sama lembut. "Aunty punya banyak permen cokelat di rumah. Kapan-kapan Aunty bawain lagi, ya."
"Tapi jangan sampai ketauan Papa atau Agam bakalan dimarahin. Soalnya Papa gak suka kalau Agam kebanyakan makan cokelat. Papa bilang, nanti gigi Agam bisa rusak dimakan ulat."
Dinara tertawa singkat. Ternyata Agam juga bisa bicara banyak.
"Nanti biar Aunty yang bilangin ke Papa, kalau Agam gak banyak-banyak makan permennya. Pasti dibolehin."
Perlahan dan pasti, Agam akhirnya menyunggingkan senyum manis di bibirnya yang merah jambu. Anak laki-laki dengan rambut sehitam arang dan kulit kuning langsat itu terlihat begitu tampan.
"Oh, iya. Papa Agam ke mana? Kok, gak keliatan?"
Sembari menggerakkan kuas pada kanvas, Agam menjawab singkat, "Papa di kafe."
"Oh, kapan pulangnya?"
"Gak tau."
Dinara mengangguk. Apakah rencananya harus ditunda sampai besok?
"Aunty kenapa peluk Papa tadi pagi? Aunty sayang sama Papa?"
Jantung Dinara berhenti berdetak. Sesaat, deru napasnya seolah tertahan. Ia menelan ludah dengan kasar. Ketika dirinya merasa sedikit ketakutan, Agam malah terlihat santai sambil menyelesaikan lukisannya.
"Eh, yang tadi itu, ya?" Dinara gelagapan lalu menggaruk batang hidungnya yang terasa gatal. "Em, waktu itu Aunty hampir jatuh, terus dipegangin papanya Agam, deh."
"Tapi Aunty nangis, 'kan?" tanya Agam yang lagi-lagi membuat Dinara membuntangkan bola mata.
"Agam salah liat kali. Aunty gak nangis, kok. Masa iya orang segede Aunty masih nangis?"
"Tapi Papa masih suka nangis, kok. Apa itu artinya Papa belum gede?"
Untuk pertanyaan yang satu ini, Dinara benar-benar dibuat terdiam. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal dan terhenti saat ingin memberikan jawaban karena kedatangan seseorang.
"Lo, Mbak Dinara? Kenapa duduk di teras?"
Dinara memalingkan kepala dan refleks mengukir senyum di bibir kecilnya. Buru-buru ia berdiri menghadap Adam untuk berkata, "Cuma lagi liatin Agam ngelukis. Pinter banget, ya, anaknya, Mas?"
Adam tersenyum lebar seraya memandangi Agam yang kembali sibuk dengan aktivitasnya. "Agam memang hobi melukis, sih, Mbak. Sejak dulu malah."
Sore ini, Adam terlihat santai dalam balutan kaus putih dengan kemeja hitam sebagai luarannya. Rambutnya tertata rapi dan deretan giginya terlihat indah saat tersenyum.
"Mbak Dinara mau masuk dulu? Agak kurang nyaman kalau harus mengobrol seperti ini."
Dinara tersadar dari lamunan berkepanjangan. Saat ia mengerjapkan mata, Adam masih memberikan senyum yang sama untuknya. "Gak usah, deh, Mas. Saya ke sini cuma buat ngundang Mas Adam sama Agam buat makan malam di rumah. Itung-itung sebagai ucapan terima kasih buat kebaikan Mas Adam pagi tadi."
"Aduh, gak perlu repot-repot, Mbak. Saya ikhlas, kok, bantuin Mbak Dinara."
"Eh, gak repot, kok, Mas. Beneran. Gimana? Mau, ya?" tawar Dinara setengah memaksa.
"Gimana, Champ?" Adam bertanya kepada Agam. Tubuhnya sedikit menunduk sehingga aroma wangi menguar hingga ke indra penciuman Dinara.
"Boleh."
Karena jawaban Agam, Dinara tersenyum begitu lebar. "Jadi, mau, ya?"
Adam mengangguk, kedua matanya juga ikut berbinar. Di samping itu, dia merasa aneh terhadap Agam. Mengapa anak ini mau-mau saja dengan Dinara? Apa ada yang istimewa pada perempuan di hadapannya ini?
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Taufiqillah Alhaq
sudah merasa nyaman ya gam?
2023-09-12
1