Hari-hari yang dilalui Evan masih seperti biasa. Dia hanya menghabiskan waktu didalam kegelapan. Beruntungnya ada Zura yang selalu ada untuk Evan. Menemani dan mengantar lelaki itu kemanapun dia mau.
Evan beruntung dia ditemukan oleh Zura dan Nek Sri. Mereka adalah orang baik yang begitu berjasa dalam hidupnya. Bahkan, meski sudah hampir dua bulan berada disini, namun sama sekali mereka tidak mengeluh sedikitpun. Hanya Evan yang semakin hari semakin tidak enak jika harus menyusahkan Zura dan Neneknya. Dia benar-benar sedih dan gelisah, karena sampai saat ini ingatannya juga belum kembali.
Jangankan bisa melihat, untuk mengingat saja Evan tidak bisa. Entah dia masih memiliki keluarga atau tidak, entah dia memiliki rumah atau tidak. Dan entah bagaimana kehidupannya sebelum ini pun dia tidak tahu.
Evan benar-benar merasa jika dia adalah pria yang begitu menyedihkan.
"Van!" Tiba-tiba suara Zura membuat Evan sedikit terkesiap. Namun, dia sama sekali tidak bergeming. Hanya bola matanya saja yang bergerak kesana dan kemari.
Zura masuk kedalam kamar Evan. Dia tersenyum memandang pria itu yang tampak selalu melamun sepanjang hari. Apalagi jika tidak ditemani.
"Kamu mau tidur?" tanya Zura sekedar basa-basi.
Evan menggeleng pelan, "aku sudah tidur sepanjang hari Zura," jawabnya membuat Zura langsung tertawa kecil.
"Aku mau berbelanja kebutuhan dapur di dusun. Kamu mau ikut nggak?" tawar Zura.
Evan masih terdiam, dia seperti sedang menimbang tawaran Zura.
"Sekalian cari angin, udara sore seperti ini cukup sejuk. Bisa sedikit menenangkan hati kamu," ujar Zura kembali.
"Apa kamu tidak malu membawaku?" tanya Evan.
"Malu kenapa?" tanya Zura pula. Bahkan dahinya sampai mengernyit mendengar perkataan Evan barusan.
"Aku buta, aku hanya akan menjadi bahan tertawaan orang-orang saja nanti," jawab Evan.
Zura kembali tertawa kecil dan menggeleng pelan. Bahkan sebelum Evan menjawab iya atau tidak, Zura sudah menarik tangan Evan agar pria itu beranjak dari atas tempat tidurnya.
"Kamu ini kenapa memikirkan itu, aku sudah biasa menjadi bahan cibiran orang. Tidak apa-apa, ayo. Kita berjalan-jalan sebentar." Zura membantu Evan turun dari atas ranjangnya. Dan membawa pria itu keluar kamar.
"Nenek lama lagi pulang, mungkin senja nanti. Kamu gak ada temannya dirumah, jadi kita pergi berdua aja ya," ujar Zura.
"Tapi aku akan menyusahkan mu nanti." Evan masih saja terlihat ragu. Apalagi selama dia bisa berjalan, dia sama sekali belum ada jalan jauh. Hanya disekitar rumah saja.
"Nggak apa-apa, aku akan jadi mata untuk kamu, jangan khawatir," jawab Zura.
Mendengar jawaban Zura yang seperti itu, tentu membuat Evan terharu dan tersentuh. Sungguh, Zura bagaikan malaikat yang begitu baik yang dikirim Tuhan kedalam hidupnya.
Entah apa rencana Tuhan dan takdirnya membuat Evan seperti ini. Tapi yang pasti, Evan cukup beruntung bisa bertemu orang sebaik Zura.
"Ayo pelan-pelan, aku rangkul lengan kamu gak apa-apa ya?" pamit Zura.
Evan hanya mengangguk dan membiarkan Zura merangkul lengannya. Harum aroma vanila dari tubuh Zura selalu bisa membuat Evan tenang. Bahkan jika berjauhan sebentar saja dari gadis ini Evan pasti sudah gelisah. Dia sudah sangat ketergantungan dengan Zura. Seperti Zura memang adalah mata sekaligus kaki untuk Evan.
"Segar kan udaranya?" tanya Zura disaat mereka sudah keluar menjauh dari rumah kecil Zura.
Evan hanya mengangguk pelan, menikmati udara segar yang begitu menenangkan perasaannya.
"Di sebelah kiri kamu ada sungai, tempat biasa aku dan nenek mandi, dan disebelah kanan kita ada kebun sayur punya Kang Asep," ungkap Zura. Mereka melangkah perlahan-lahan, menapaki jalanan setapak yang tidak terlalu licin karena belum diguyur hujan dua hari ini.
"Tapi selama ini aku selalu mandi dirumah, kenapa kalian mandi di sungai?" tanya Evan. Malah hal itu yang terpikirkan dikepalanya.
"Di sungai licin, aku takut kamu jatuh kalau aku bawa kamu kesana. Jadi airnya aja yang aku bawa kerumah," ungkap Zura dengan sedikit tawa kecilnya.
"Kamu mengangkat air untuk aku mandi?" tanya Evan.
"Iya, kenapa? Aku kuat kok," jawab Zura.
"Aku memang menyusahkan, padahal aku laki-laki." Evan bergumam dengan wajah yang sendu dan penuh sesal.
Namun, Zura langsung memukul lengannya dengan lembut. "Kamu ini, jangan terus mengeluh. Nggak baik," ungkap Zura.
"Bagaimana aku tidak mengeluh, kamu sudah lelah mengurusku setiap hari. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun," jawab Evan.
"Nggak apa-apa, namanya kamu lagi sakit. Aku yang sehat, jadi aku yang bantu kamu," ucap Zura.
"Kamu baik sekali, Zura. Aku berhutang nyawa dan Budi padamu," ungkap Evan.
"Jangan sungkan. Aku senang membantu kamu. Selama ini aku kesepian, aku nggak punya teman satupun, selain kang Asep yang kadang-kadang main kerumah untuk lihatin Nenek. Selain itu, gak ada. Tapi sekarang, setelah ada kamu, aku senang Van. Aku ngerasa punya teman," jawab Zura begitu antusias.
Evan mengernyit bingung mendengar itu, "apa rumah kamu jauh dari orang-orang hingga kamu tidak punya teman?" tanya Evan.
Zura nampak menghela nafas, "Bukan jauh dari orang, tapi kami yang di jauhi orang-orang," jawab Zura.
"Kenapa?" tanya Evan.
"Kalau aku cerita, nanti kamu jijik Van," Zura berucap sembari memandang wajah tampan Evan yang sudah terlihat sangat tampan. Meski kini dia hanya mengenakan pakaian lusuh milik Kang Asep yang dia berikan untuk Evan.
"Jijik kenapa? apa kamu penyakitan?" tanya Evan, begitu jujur membuat Zura kembali memukul lengan Evan dengan kesal.
"Nggak lah, emang aku bau ya sampai kamu bilang aku penyakitan?" tanya Zura sedikit ketus. Namun, entah kenapa suara kesal Zura itu bisa membuat wajah datar Evan sedikit bereaksi. Dia bisa tersenyum sedikit. Membuat Zura yang sejak tadi memandangnya sedikit terkesiap.
'dia tersenyum,' batin Zura.
"Tidak, aku hanya bertanya. Kenapa mereka menjauhi kamu. Kamu dan Nek Sri orang baik," ucapan Evan membuat Zura sedikit terkesiap. Evan bisa merasakan jika Zura seperti menarik nafas dalam-dalam sekarang.
Dan ya, rasanya jika mengenangkan nasib dan kesedihan itu, membuat Zura merasa ingin menangis saja.
"Ibuku bekas mantan pelacur yang bekerja di club' malam," ucap Zura.
Evan terdiam mendengar perkataan itu.
"Bahkan dia meninggal karena sakit kanker rahim, tapi semua orang bilang kalau dia meninggal karena kena HIV, maka dari itu nggak ada yang mau dekat dengan aku dan Nenek. Bahkan, rumah kami juga di kucilkan di ujung desa dekat hutan," ungkap Zura kembali.
Evan masih terdiam, kenapa cerita Zura begitu miris. Pantas saja tidak ada orang yang datang kerumah Nek Sri selama ini. Hanya terkadang Asep yang datang kesana. Dan pantas juga Evan tidak pernah mendengar suara orang-orang atau apapun itu. Suasana rumah Zura begitu sepi dan hening. Dan ternyata itu karena mereka tinggal di dekat hutan. Astaga, kenapa orang-orang itu jahat sekali?
"Kamu kenapa diam?" tanya Zura. "Kamu pasti jijik ya dengar itu?" Wajah Zura terlihat sedih saat mengatakan itu. Dia takut Evan akan merasa risih dekat dengannya setelah tahu fakta ini.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Tangan Evan mengusap tangan Zura yang masih merangkul lengannya. Membuat Zura sedikit terkesiap dan menunduk memandang tangan itu. Bahkan langkah kaki mereka pun ikut terhenti.
"Kenapa aku harus jijik? Itu urusan mereka yang memandang kamu dan Nenek. Tapi aku tetap menganggap kamu dan Nek Sri seperti malaikat yang sudah banyak menolong hidupku, Zura," ucap Evan. Begitu dalam dan begitu lembut. Membuat Zura langsung tersenyum haru memandang Evan. Bahkan, matanya juga langsung berkaca-kaca sekarang.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ada seseorang yang membanggakan mereka meski hanya dengan perkataan sederhana itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
shadowone
aaahhh sedih banget hidup mu Zura😭😭😭
2024-03-26
0
Erlangga❤
sabar Zuraa.. yakin deh kebahagiaan akan singgah pada waktunya
2023-09-27
2
Dewie Angella Wahyudie
karana mereka manuaksia yang gaknpunya hati zura, mm reka hanya melihat dari satu sisihya ajah... yang sabar ya zura, suatu hari nanti akubyakin kamu juga dapetin kbhgian sam nenek kamu.
2023-09-10
1