Zura membantu pria asing itu meminum ramuan yang baru saja selesai dibuat oleh Nek Sri. Pria itu masih terbaring lemah diatas ranjang yang berbalut dengan kasur tipis. Wajahnya masih pucat, namun sudah lebih baik dari pada saat dia masih tidak sadar beberapa waktu yang lalu.
Beberapa saat setelah pria asing itu sadar, Zura meminta tolong pada Kang Akmal untuk memanggil Nek Sri yang ada di kebun. Karena dia cukup bingung jika harus menangani pria asing ini sendirian.
"Udah gak sakit lagi kepalanya, nak?" tanya Nek Sri.
Pria itu menggeleng pelan dengan mata yang memandang kosong keatas.
"Sakit ketika saya bergerak," jawab pria itu.
"Gak papa, kamu jangan banyak bergerak dulu. Nanti tambah sakit," ujar Nek Sri.
Pria itu hanya diam, bahkan sudah berulang kali Zura melambaikan tangan didepan matanya. Namun, tetap saja tidak ada respon sama sekali.
"Saya kenapa?" tanya pria itu.
Sejak tadi dia selalu bertanya hal itu, dia seperti orang bingung yang membuat Zura dan Neneknya juga bingung.
"Kamu gak ingat kenapa kamu bisa begini?" tanya Nek Sri.
"Saya bahkan tidak tahu saya siapa,"
Deg
Zura dan Nek Sri langsung saling pandang dengan wajah yang terkejut.
"Jadi kamu gak tahu kamu itu siapa? Kamu gak ingat apa-apa?" tanya Zura dengan cepat.
Pria itu mengangguk pelan.
"Hei jangan bohong dong," Zura jadi panik sekarang.
"Untuk apa saya berbohong, saya juga tidak mau seperti ini. Saya bingung," ungkap pria itu begitu lirih.
"Tapi, kenapa bisa nggak ingat apapun. Tadi sewaktu kamu bangun, kamu bilang sesuatu Lo," ucap Zura kembali.
"Bilang apa?" tanya pria itu pula. Dia benar-benar seperti orang bingung sekarang.
Zura kembali terdiam, dia memandang neneknya dengan wajah cemas. Ya, bagaimana tidak cemas jika pria ini tidak mengingat apapun, lantas bagaimana cara mereka untuk memberi tahu keluarganya. Mungkin jika dia hanya buta, Zura masih bisa membantu mencari alamat pria ini. Tapi jika pria ini lupa ingatan, bagaimana caranya dia bisa bertemu dengan keluarganya?
"Nek, gimana ini?" tanya Zura, sedikit berbisik pada Neneknya.
Nek Sri terlihat menghela nafas, mau bagaimana lagi. Sepertinya mereka memang harus bersabar untuk merawat orang asing dirumah mereka.
"Kita tunggu sampai dia pulih, jangan dipaksa. Dia baru bangun," ujar Nek Sri.
Zura terlihat sedih, dia kembali memandang pria yang masih terbaring di atas ranjang itu. Memandang pria yang terlihat menyedihkan. Wajahnya terlihat bingung, takut, sedih, dan juga tertekan. Dan Zura memang tidak bisa memaksanya untuk mengingat apapun.
"Yasudah, nenek buat bubur dulu. Dia harus makan sedikit-sedikit." Nek Sri berucap sembari beranjak dari kursinya. Berjalan keluar meninggalkan Zura bersama dengan pria itu berdua.
"Apa kamu pergi?" tanya pria itu, tangannya terlihat meraba-raba kedepan dan kesegala arah. Apalagi ketika mendengar suara langkah kaki yang menjauh. Dia terlihat ketakutan.
Zura langsung meraih tangannya, dan tentu saja genggaman tangan Zura itu membuat dia tenang kembali.
"Aku masih disini, itu Nenek yang keluar. Dia mau buat bubur untuk kamu," jawab Zura.
Pria itu langsung terdiam, namun tangannya terus menggenggam tangan Zura.
"Tolong jangan pergi, aku benar-benar takut. Ini gelap dan aku tidak tahu apa-apa," pinta pria itu.
Mendengar ucapan pria itu, tentu saja membuat Zura merasa iba. Dia terluka parah, matanya buta, dan dia lupa ingatan. Pasti itu adalah hal yang berat untuk pria ini. Sungguh, hidupnya benar-benar malang.
"Aku nggak akan pergi, aku disini. Kamu tenang, kamu istirahat dulu ya," ujar Zura.
Lelaki itu menggeleng pelan sembari berucap, "bisakah kamu ceritakan siapa aku, dan kenapa aku tidak bisa melihat," pinta pria itu.
Zura menghela nafas pelan. Dia membenarkan posisi duduknya dan menghadap kearah pria tampan itu. Pria tampan yang mungkin jika dia sehat, dia pasti akan memiliki pandangan mata yang tajam, wajah yang sedikit angkuh, dan juga suara yang tegas. Tapi sekarang, dia tak lebih dari seorang pria menyedihkan yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Aku juga nggak tahu kamu siapa. Aku menemukan kamu di pinggir sungai dalam keadaan terluka parah. Jadi aku bawa kamu kerumah," ungkap Zura.
"Aku dipinggir sungai? terluka parah?" dia terdengar bergumam.
"Iya, aku dan Nenek gak bisa bawa kamu kerumah sakit. Kami gak punya biaya. Jadi cuma bisa merawat kamu dirumah sebulan ini," ungkap Zura lagi.
Pria itu terdiam, genggaman tangannya di tangan Zura mulai melemah. Entah apa yang dia pikirkan. Namun, ketika Zura ingin menarik tangannya pria itu kembali menggenggam tangan Zura dengan kuat. Seakan-akan dia tidak ingin Zura pergi.
"Tidak apa-apa jika kalian tidak bisa membawaku kerumah sakit. Tapi tolong, jangan tinggalkan aku sendirian. Setidaknya, sampai aku mengingat siapa aku yang sebenarnya," pinta pria itu.
Zura tersenyum memandang pria itu. Dia mengusap punggung tangan pria itu dengan lembut membuat pria itu mengarahkan kepalanya kearah Zura.
"Aku nggak akan meninggalkanmu. Kamu tenang aja, kamu aman disini. Ada aku dan Nenek yang akan menjaga dan merawat kamu sampai sembuh. Semoga saja ingatan kamu cepat pulih, jadi kamu bisa cepat bertemu dengan keluargamu," ujar Zura.
Pria itu mengangguk pelan, "terima kasih, maaf jika aku akan selalu merepotkan mu," ucapnya. Meski kini hatinya dipenuhi dengan rasa takut, gelisah, bingung dan perasaan tidak menentu, tapi entah kenapa pria itu percaya pada Zura. Dan begitu berharap jika ingatannya akan segera kembali.
"Jangan pikirkan apapun, sekarang yang terpenting kamu harus sembuh dulu. Kamu harus sehat, dan setelah itu kita bisa sama-sama mencari ingatan kamu yang hilang," ujar Zura kembali.
Pria itu lagi-lagi mengangguk pelan.
"Ah iya, bagaimana aku memanggilmu sekarang ya?" Tiba-tiba Zura baru mengingat hal itu. Tidak mungkin jika dia memanggil pria ini tanpa nama terus bukan.
"Aku tidak tahu," jawab pria itu.
"Kalau aku memberimu nama sementara, apa kamu nggak marah?" tanya Zura, sedikit ragu sebenarnya. Dia takut pria ini tersinggung.
Namun, pria itu malah mengangguk pelan. "Terserah kamu, bahkan untuk mengingat namaku pun aku tidak bisa," jawabnya begitu lirih.
Zoya menepuk punggung tangan pria itu dengan lembut, "jangan seperti itu. Anggap saja kamu sedang beristirahat dari segala pikiran dan kehidupanmu yang dulu. Bawa tenang supaya kamu bisa cepat sembuh," ujar Zura.
Pria itu hanya terdiam, membuat Zura juga sebenarnya semakin iba melihatnya.
"Bagaimana jika aku memanggil kamu dengan nama ... Evan?" ucap Zura.
"Evan?" gumam pria itu.
"Ya, Evan. Bagaimana?" tanya Zura kembali. entah kenapa nama itu yang terpikirkan dikepalanya sekarang.
"Ya, terserah kamu," jawab Evan.
"Itu bagus kok, dan kamu bisa panggil aku ... Zura,"
"Zura," gumam pria itu.
..
Tinggalkan like dan komen untuk dukung aku ya guys. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Indri Ani40
👍👍👍👍👍👍👍👍
2024-01-07
1
Erlangga❤
thoor aku balik inii.. maaf kmaren2 ilang.. karena nunggu mia tamat sama fokus ke yg laen juga🙏😁😁
2023-09-26
2
Dewie Angella Wahyudie
thorr bisa aja dech bikin namn panggilan.... dilu kenzo dipnggil enzo, skrang zevanno pnagglnnya evan, bisa aja dech... tapi aku suka... lanjut ya...
tapi jangan diforsir otaknya istrhat juga.
2023-09-09
2