Deer Eye ( Christian Geoff)
.
Chris kembali ke kantornya, hari sudah malam tapi ada yang benar-benar harus Chris kerjakan. Dia menekan tombol lima belas di lift. Lantai dimana kantornya berada. Seluruh lantai lima belas tampak sepi dan gelap. Chris menyalakan lampu dan langsung menuju ruangannya.
"Sialan ...." Umpat Chris setengah berteriak saat melihat seorang wanita sedang duduk di sofa kantornya.
"Vania?" tanya Chris heran.
"Iya Pak." Jawab sekretarisnya itu.
"Sedang apa? belum pulang?" Chris bertanya masih mencoba menenangkan diri dari keterkejutannya.
"Saya ... Saya tidak bisa ... maksud saya ... saya tidak mau pulang Pak ...." jawab gadis itu lambat.
"Kenapa?" tanya Chris lagi. Pria dewasa itu menaikan sebelah alisnya.
"Di kosan Nia .... " Vania berbisik pelan seakan di sana bukan hanya mereka berdua, "Ada hantu."
Chris tidak bisa menahan tawanya. Sekretaris yang bekerja dengannya hampir enam tahun itu, tidak pernah gagal membuatnya terhibur dengan tingkah imut dan lucunya.
"Bukannya lebih menakutkan disini? Lebih luas?" Chris menghentikan tawanya. Dan menggantinya dengan senyuman. Masih menatap Vania.
Ada yang aneh, itulah yang pertama Chris tangkap. Vania tidak seperti biasanya. Tapi Chris tidak membiarkan dirinya bertanya lebih jauh. Chris tidak biasa membicarakan kehidupan pribadi Vania.
"Setidaknya ... Disini ada Pak Chris," gumam Vania pelan.
Chris menaikkan alisnya lagi, apa yang dia dengar? Rayuan? Chris pura-pura tidak paham.
"Vania, Vania ... harusnya kamu pulang, bersiap untuk dinas luar kota hari Senin nanti," ujar Chris membelokan apa yang mungkin ingin Vania bahas.
"Tapi ... saya benar-benar tidak ingin pulang kesana Pak .... " Jawab Vania lemah. Dia menunduk sambil menggigit bibir bawahnya.
"Mau menginap di rumah saya?" tanya Chris bercanda sambil lalu.
"Mau Pak. Boleh?"
Chris kaget mendengar jawaban Vania. Dia menatap lekat gadis itu. Sudah dia duga ada yang aneh dengan gadis itu hari ini.
"Kamu jangan sembarang menerima tawaran menginap di rumah laki-laki," kata Chris mencoba bijak. Chris menatap Vania yang berwajah bingung, terlihat lebih bingung daripada dirinya sendiri.
"Kamu bawa keperluan menginap?" Tanya Chris melihat tas besar Vania yang tergeletak di lantai. Vania mengangguk sebagai jawaban.
"Di hotel saja mau? Saya yang bayar," kata Chris akhirnya. Sepertinya tidak bisa membiarkan Vania begitu saja.
Vania menatap Bosnya itu sambil tersenyum sedih. Dia lama menjawab sebelum akhirnya mengangguk.
"Nanti ya, ada yang harus saya kerjakan sedikit," ucap Chris, berjalan menuju meja kerjanya.
"Perlu Vania bantu Pak?"
"Tidak. Duduk saja, waktu kerja kamu sudah habis berjam-jam yang lalu," jawab Chris. Seharusnya Vania sudah beristirahat sekarang ini dan menikmati akhir minggunya. Bukan malah terjebak di kantor dengan bosnya. Siapa yang suka dengan itu.
Chris melihat Vania melewati monitor komputernya. Bahaya sekali kalau dia meninggalkan Vania tidur disini. Gadis itu ada-ada saja. Takut tidur di kamar kos nya tapi tidak takut tidur disini. Chris menggelengkan kepala sebelum kembali bekerja.
Chris membereskan berkas yang tadi dia kerjakan. Menatap Vania yang duduk sambil mengantuk.
"Nia .... " panggil Chris pelan.
"Eh ... iya Pak."
"Ayo ... nanti kemalaman," ajak Chris yang hanya di tanggapi senyuman Vania saja.
Mereka berjalan beriringan. Menaiki lift ke area parkir. Chris membuka kunci pintu mobilnya. Membiarkan Vania masuk terlebih dahulu. Sebelum dia masuk ke dalam mobil.
"Jadi? Kenapa nggak pindah saja?" tanya Chris akhirnya.
"Pindah Kos Pak?"
"Iya , disini banyak area apartemen. Nanti saya yang bayar." Chris menyampaikan gagasan itu dengan nada yang sangat santai.
"Kenapa Pak Chris yang bayar?" Vania menatap Chris yang masih menyetir mobilnya.
"Saya ... Merasa tidak enak saja, mendengar kenyataan kalau kamu merasa tidak betah di tempat tinggal kamu yang sekarang. Kayak apa ya?" Chris bertanya pada dirinya sendiri. "Saya tidak bisa bikin bonafit karyawan saya," lanjutnya lagi.
"Gaji Nia besar kok Pak. Belum ada niat pindah saja. Bukan karena Nia tidak mampu," kata Vania diakhiri senyum miris.
"Tidak enak Pak, kalau didengar orang lain," kata Vania pelan.
"Soal apa?" Chris sedikit melirik Vania.
"Soal Pak Chris yang bayar apartemen saya." Vania menunduk melihat jari-jarinya yang saling bertaut.
"Jangan dengarkan orang lain yang belum tentu peduli sama kamu," ucap Chris membuat Vania menatapnya.
"Pak ... Chris ... Peduli?" Vania tidak bermaksud mengatakan itu. Tapi sudah terlanjur dia katakan. Vania membuang pandangannya dengan canggung keluar jendela mobil.
Sedang Chris yang mendengar itu, menelan ludah. Entah kenapa tenggorokannya terasa sangat kering. Matanya masih fokus ke jalanan di depannya. Sesekali sudut matanya mengikuti gestur kecil Vania.
Chris memasuki area hotel bintang empat, memarkirkan mobilnya di area parkir dan mengajak Vania turun.
"Mau berapa malam?" tanya Chris pada Vania.
"Hmmm ...." Vania bingung menjawabnya.
Chris menatap Vania lama, sebelum bicara dengan resepsionis lagi.
"Ini saya sudah simpan kartu kredit saya. Jadi kamu boleh check out kapan saja. Asal jangan lupa di bawa lagi kartu kreditnya." Chris tersenyum sambil memberikan kunci kamar pada Vania, yang diam seperti mempertimbangkan sesuatu.
"Pak ... boleh minta tolong lagi?" tanya Vania akhirnya.
"Hn? Bilang saja. Mungkin saya bisa bantu." Itu bukan tawaran kosong, Chris benar-benar siap membantu Vania.
"Pak. Boleh antar saya ke kamar?" tanya Vania tanpa menatap Chris.
Hah? Chris mengerutkan keningnya mendengar permintaan itu. Apa kira-kira yang ada di pikiran gadis ini?
.
.
Chris melihat punggung Vania dari belakang. Entah kenapa dia menurut pada sekretarisnya itu. Tapi Chris tidak bisa menutup mata. Sejak di kantor tadi Chris yakin ada yang aneh dengan Vania.
Lagi. Chris merasa tidak boleh menanyakan apa-apa. Dia hanya berjalan pelan, menatap tajam belakang kepala Vania. Berharap punya kemampuan untuk membaca isinya.
"Saya antar sampai sini ya, saya nggak akan pergi sebelum kamu kunci pintu. Jangan buka pintu untuk siapapun kalau kamu tidak merasa pesan apa-apa," instruksi Chris panjang lebar.
"Baik Pak. Hmmm ... Terimakasih Pak Chris." Vania masih menggigit bibir bawahnya. Masih belum menatap Chris.
Chris menghela napas pendek. Sedikit frustasi dengan kecanggungan diantara mereka. Siapa yang tidak canggung. Berdiri di depan pintu kamar hotel hanya berdua saja. Tidak ada satu orangpun yang lewat di koridor tempat mereka berdiri.
"Nanti pulang dari dinas luar kot. Kamu pindah saja. Kalau kamu sudah tidak betah di kosan sekarang." Chris memberi nasehat finalnya. Dia tidak mau jadi over thinking memikirkan Vania. Setidaknya dia merasa tenang. Entah untuk apapun yang sekarang ini menimpa Vania.
Chris meringis melihat mata Vania yang berair. Vania mungkin hanya terharu setelah mendapatkan perhatian dari bosnya itu. Tidak lebih. Itulah yang ditekankan Chris pada dirinya sendiri.
"Iya Pak," jawab Vania pelan.
"Ya sudah, cepat masuk." Chris tersenyum menunggu Vania menutup pintu kamarnya.
Chris mematung sebentar memikirkan sesuatu sebelum pergi dari sana. Dia akhirnya menghembuskan napas yang entah sejak kapan dia tahan. Wangi parfum Vania yang lembut dengan aroma lily masih tercium. Chris menelan ludahnya lagi sebelum beranjak dari sana. Memijat pangkal hidungnya saat sudah sampai di dalam lift. Dia, entah kenapa, merasakan firasat buruk.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments