Gentleman Dignity
.
Hujan turun agak deras hari ini. Rio dengan tenang menyetir mobil sedan tuanya. Siang ini dia ada janji makan siang dengan sahabat-sahabatnya. Di kedai ramen favorit mereka sejak remaja.
Kedai ramen ini sederhana, tapi membawa banyak cerita dan sejarah. Mereka tak henti melakukan hal-hal konyol disini. Paman Thoshi bahkan sudah mereka anggap orang tua sendiri. Di usianya yang sudah tua dia masih menikmati hidup nya menjadi seorang koki.
Rio memarkir mobilnya di sebelah mobil Nicholas . Biasanya dia selalu naik kereta. Tapi hujan hari ini cukup lebat. Dan jauh lebih nyaman mengendarai kendaraan sendiri. Saat Rio masuk. Dia melihat Nicholas menyeruput teh nya ,tangan kirinya menjepit sebatang rokok. Jasnya tersampir di lengan kursi, menyisakan kaos hitam. Tanpa banyak bicara Rio duduk didepannya.
Nicholas agak menaikan alis. Menatap Rio dengan tatapan ’kau baik-baik saja?’ . Bukan tanpa alasan, penampilan Rio sangat berantakan, setelan training nya lusuh. Dan wajahnya sedikit memar. Rio merasa pipinya agak sedikit ngilu. Rio mengangkat bahunya sedikit.
“Biasa, selalu ada pertengkaran. Ini tidak sengaja terpukul saat berusaha melerai,” kata Rio.
" Oh ... saya kira anda dirampok.” Nicholas menyeringai di atas derita temannya, kurang ajar.
“Terima kasih atas simpatimu,” sindir Rio sarkasme.
“Ya sama-sama.” Si sialan Nicholas yang tidak pernah terpengaruh provokasi ini.
“Bagaimana pekerjaan mu?” tanya Rio sambil lalu.
“Lancar, seperti biasa.” Nicholas menatap Rio lagi setelah lama menatap ponselnya.
“Bocah-bocah itu pasti sangat imut hingga membuat mu babak belur.” Nicholas menyipitkan matanya saat mengatakan itu.
“Ya mereka selalu menjadi bagian dari derita ku," keluh Rio.
“Investasi saja. Buka usahamu sendiri.” Nicholas mengulang nasehat yang sama mungkin sudah puluhan kali.
“Tidak. Aku sudah merasa cukup.” Rio menimpali dengan acuh.
“Omong kosong.” Nicholas berdecak. Dan menunduk memeriksa ponselnya lagi.
“Aku dengar kemarin malam, kamu makan malam dengan ayahku?” Tanya Rio agak sedikit malu-malu.
“Ya kami tengah menjalankan proyek bersama," jawab Nicholas sambil lalu.
“Bagaimana kabarnya?” tanya Rio bergumam pelan.
Nicholas menaikan alisnya. "Kabar apa?”
“Kabar ayahku, Bagaimana kabar ayah ku?” Rio bertanya canggung.
Nicholas memandangi Rio lama sebelum menjawab, "Baik sepertinya.”
“ Sepertinya?”
“Apa kamu tidak merasa aneh menanyakan kabar orang tua mu pada temanmu?” Nicholas menatap Rio tajam.
“Ya, aku hanya lama tidak bertemu dengannya," keluh Rio sambil menatap cangkir tehnya.
“Tahu tidak di zamanku ada teknologi bernama telephone.” Nicholas mengucapakan kata telepon dengan bahasa inggris. Mengejek Rio.
“Lalu kau pikir aku hidup di zaman apa sialan.”
“Tidak tahu, kalau kau tidak tahu fungsi telepon, itu berarti kau hidup di zaman batu. Telepon orang tua mu, Kau bukan remaja tanggung lagi yang doyan kabur kan? apa yang kau hindari sebenarnya," cerocos Nicholas agak kesal.
“Entahlah. Tahu tidak aku sangat merindukan mereka," ucap Rio dengan nada mengambang.
“Ya,ya,ya bicara saja dengan angin. Aku sudah muak mendengarnya.” Nicholas tidak mengalihkan matanya dari layar ponsel.
“Sialan kau," umpat Rio.
“Silahkan mengumpat sepuasnya tuan muda. Tidak perlu memakai pesawat untuk mampir ke tempat mereka.”
“Kurasa lebih dari sekedar pesawat untuk mampir ke tempat mereka." Rio selalu siap mendebat Nicholas seperti biasa.
“Kau hanya harus sedikit rileks bung. Ibu mu mungkin akan mengomeli mu. Tapi begitulah semua ibu." Nicholas mengangkat pundaknya saat mengatakan itu.
Rio tidak menjawab. Sebenarnya Rio ingin sekali pulang ke rumah orangtuanya. Tapi Rio malas mendapat kuliah menggebu-gebu ibunya tentang pernikahan. Dan segala bentuk perjodohan yang dia tawarkan.
Sean adik Rio tinggal menunggu waktu untuk menikahi kekasihnya. Acara pertunangan mereka bahkan menjadi pembicaraan hangat. Anak mantan gubernur dan pewaris perusahaan ayahnya bertunangan dengan seorang aktivis wanita muda dan seorang publik figur.
Tapi bukan hal itu yang mengganggu Rio. Hanya saja semakin dekat tanggal pernikahan mereka, maka semakin sering Rio dibicarakan orang-orang. Semakin sering juga ibunya berusaha menyelamatkan reputasinya. Dengan melakukan hal-hal yang menurut Rio sia-sia. Sia-sia karena Rio tak pernah mau setuju, Rio tidak peduli pada pandangan orang lain, dan ibunya tidak peduli pada ketidakpedulian Rio. Dan entah bagai mana itu selalu mengusik Rio.
Rio terlalu sensitif jika berbicara masalah hidup, rencana hidup atau apapun yang berhubungan dengan ke tidak bonafit-an dia. Terutama sejak dia mengakui pada mereka -orang tuanya- bahwa apa yang dia impikan sejak dulu benar-benar menjadi omong kosong.
Chris datang tidak lama kemudian rambut hitamnya basah. Penampilannya sangat berantakan. Nicholas bangkit memberinya sapu tangan.
“Diluar hujan sangat lebat. Aku menyesal tidak menyetir tadi pagi. Kukira hari akan cerah," kata Chris sambil duduk di kursi.
“Ramalan cuaca bilang hari ini hujan lebat,” ucap Nicholas datar.
“Aku tak punya waktu menyalakan televisi di pagi hari Nicholas ," Jawab Chris sama datarnya.
“Benar sekali, memang siapa yang punya waktu lebih di pagi hari untuk televisi. kebetulan Aku punya ponsel untuk memberiku informasi.”
Rio tertawa mendengar Nicholas mengatakan itu dengan datar. Dan wajah Chris yang merenggut kesal.
“Kau bicara padaku seperti aku adalah orang tua yang ketinggalan zaman," kata Chris saat dia duduk.
“Menyebalkan bukan, dia bahkan baru menguliahi ku tentang telephone.” Rio mengucapkan kata telephon untuk menyindir Nicholas .
Nicholas hanya tersenyum miring sebagai tanggapan. Tuan sempurna Yericho datang dari pintu. Tampilannya sangat rapi. Khas Yericho sekali. Rio selalu ingin tahu rahasia Yericho agar tidak menghasilkan kerutan kusut di kemejanya saat dia memakainya hampir separuh hari.
“Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik?” Yericho bertanya saat duduk di sebelah Rio. Mungkin saat dia masuk dia mendengar Rio tertawa.
“Ouh tuan yang kaya ini, baru menguliahi kita tentang teknologi.” Jawab Rio sambil menahan tawa.
Yericho mengangkat sebelah alis nya,mencoba mengerti. Tapi setelah itu dia tidak bertanya lagi. Mereka mulai memesan ramen. Tidak ada yang bicara saat mereka makan. Entah sejak kapan mereka menerapkan tatakrama meja makan. Mungkin saat mereka merasa terlalu tua untuk bersikap konyol. Atau selera humor mereka yang jadi padam sejak kemelut hidup terus datang di setiap kesempatan meski itu hanya sebuah celah kecil. Begitu lah arti menjadi dewasa.
“Oh ... sialan!" Yericho mengumpat dan tersedak, membuat tiga temannya mengangkat wajah menatapnya heran.
Yericho terdengar membersihkan tenggorokannya.
“Arah jam tiga.” Dia berbisik dengan sudut bibirnya dan menunjuk arah dengan lirikan.
Mereka bertiga menoleh kearah yang di tunjuknya. Di pintu masuk, seorang wanita dengan sensual sedang mengeringkan kemejanya yang basah, air menetes dari rambutnya yang coklat bergelombang. Wanita itu memakai rok yang sangat pendek. Kaki nya mulus tanpa stoking. Tampak seksi dengan stiletto merah terangnya. Wajahnya cantik meski bibirnya dipoles terlalu merah. Seketika Rio meneguk ludahnya. Semua temannya pasti merasakan hal yang sama.
“Aku tak tahu saat hujan begini udara bisa sepanas ini.” Chris bergumam sambil melonggarkan dasinya.
“Dia punya pinggang yang indah," gumam Nicholas .
"Bukankah dia seksi Yo?" tanya Chris pada Rio.
"Kenapa kau bertanya padaku?" balas Rio sengit.
"Kenapa? kau terlihat menikmati pemandangan."
"Ap - apa. Tidak." Bantah Rio cepat. "Tidak begitu. Aku sedang tidak menikmati apapun."
"Kenapa kau gusar sekali?" Nicholas bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Dengar tuan-tuan jangan pernah bicarakan hal tidak senonoh di ruang publik," ucap Rio tegas.
Nicholas dan Chris memutar mata mereka. Menggelengkan kepala dan mulai makan lagi.
“kau sedang apa?” Chris menyiku Yericho yang tertunduk.
“Aku sedang berdoa," jawab Yericho tanpa mengangkat wajahnya.
“Berdoa agar terhindar dari dosa yang di umbar iblis cantik?” Chris bertanya dengan nada yang serius.
“Benar, dengan sekuat tenaga aku akan menghindarinya." Yericho menahan tawa dalam kalimatnya.
Rio menatapnya sedikit mengernyitkan dahi. Bukan karena kalimatnya. Tapi karena tawa yang Yericho tahan. Melihat itu, Yericho melanjutkan.
"Aku benar-benar akan menghindarinya. Percayalah padaku."
Lalu tiba-tiba mereka tertawa terbahak-bahak. Meninggalkan Rio yang menggeleng ditengah tawa mereka.
Hari ini berakhir dengan cukup menyenangkan, Rio rasa begitu. Terkadang dalam diamnya, Rio selalu berusaha menerka, tentang hal-hal yang mereka cari dalam hidup ini. Apa mereka akan selalu begini. Berjalan di tempat. Atau menemukan sesuatu yang mungkin omong kosong tapi dapat membuat mereka bangga telah menjalani hidup dengan rajin.
Mereka sudah tidak lagi muda, dan seiring bertambahnya usia. Hal-hal yang 'mungkin' jadi terlihat mustahil. Hal-hal sepele menjadi rumit. Dan saat keputusan harus diambil jalan yang dilalui nya harus memutar dengan menekankan kata ‘bagaimana’.
Mereka berempat seperti kembali pada kertas kosong yang menunggu takdir. Takdir yang akan menulis kisah mereka lagi. Dan kapan dan bagaimana takdir itu menggigit. Rio berharap mereka masih bisa menjadi penopang untuk satu dari lainnya. Bersiaga saat seseorang jatuh kembali ke dalam kegelapan.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments