Di dalam rumah bermodel Scandinavian, di balkon ruang kerja Narendra yang berdesain minimalis dengan dekorasi rapi dan nuansa klasik bercat dominan warna putih. Duduk dua orang saling berhadapan, sepasang manusia.
“Tandangani surat ini,” perintah Narendra pada wanita yang duduk di sofa ruang kerjanya. Dia menyodorkan stopmap berwarna merah yang masih dalam keadaan rapi dan tertutup.
Jihan, wanita cantik berponi jarang dan berambut hitam panjang itu mendongakan kepalanya. Menatap Narendra dengan wajah yang bingung dan dahi yang berkerut-kerut. “Apa ini, Pak?” Tanya Jihan, ia meminta Narendra menjelaskan lebih apa isi surat itu daripada hanya sekadar menyuruhnya untuk menyapukan tanda tangan di atas dokumen tersebut.
“Surat perjanjian perceraian,” jawab Narendra dengan nada bicara serius.
Jihan menatap nanar pada suaminya, wanita itu semakin menekuk wajahnya, “Apa maksud, Bapak?” Bahkan, seminggu telah berlalu, wanita itu masih memanggil suaminya dengan sapaan formal seperti panggilan seorang karyawan kepada majikannya. Karena memang tidak ada yang berubah akan statusnya. Entah sudah menikah atau belum, posisi Jihan di rumah itu tidak lebih dari seorang karyawan di toko butik seorang istri dari pria yang berdiri di hadapannya.
“Apa maksudnya, Pak. Apa maksud Anda mengajukan perjanjian seperti ini?” Jihan menuntut penjelasan lebih seraya membuka stopmap berwarna merah.
Jihan membaca tajuk surat di dalam stopmap itu “Perjanjian dan Kompensasi Pasca Perceraian,” ucap Jihan membaca tulisan bercetak tebal yang terletak paling atas bagian surat tersebut.
“Kamu pasti tahu jika kita tidak saling mencintai. Pernihakan ini memang sah di mata hukum, tetapi kita tidak bisa terus bersama dan tinggal serumah karena saya tidak bisa menerimamu sebagai istriku. Kamu tahu, jika pernikahan dilakukan atas dasar paksaan. Itu bukan kemauan kita secara alami," ucap Narendra tenang dan sarat akan poin penting dalam setiap kalimatnya.
“Setelah kamu menandantangi berkas itu, kamu akan terbebas dari pernikahan ini setelah 6 bulan terhitung sejak hari ini. Kemudian, saya akan memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi karena kesediaanmu menuruti permintaan istri saya tercinta. Tandatanganlah, maka kamu tidak akan merasakan kerugian apapun,” ucap Narendra dengan percaya diri.
Jihan meringis, tersenyum getir mendengar kalimat yang terucap dari bibir 'suaminya'. Wanita muda itu menunduk dalam-dalam setelah hatinya terasa berdenyut karena sesuatu berhasil meremasnya hingga membuat hatinya remuk seketika, “Setelah bapak menikahi saya di depan keluarga saya, di depan para tamu, dan status saya yang sudah berubah bukan lagi seorang gadis. Lalu, begitu mudahnya Bapak memintaku untuk menandatangi perjanjian ini?” Tanya Jihan dengan tatapan menunduk menatap stopmap merah yang terlihat mengerikan baginya.
Seminggu pernikahan, dia harus menghadapi perjanjian cerai yang akan dilakukan setelah enam bulan pernikahan.
“Sejujurnya, tidak mengerti dengan pola pemikiran Bapak dan istri Bapak. Setelah dia memohon dengan sangat padaku untuk menerima Anda sebagai suamiku, lalu mengapa sekarang aku dibuang begitu saja? Apa semudah itu orang-orang kaya memperlakukan kami si orang miskin ini? Apa kalian pikir, saya tidak punya harga diri dan martabat di mata kalian sesama manusia? Dimana hati nurani Anda, Pak?” Seru Jihan sedikit menaikan nada bicaranya.
“Selama ini saya diam karena saya menghargai Anda dan istri Anda karena kalian yang sudah banyak membantu saya, termasuk memperbaiki keadaan perekonomian keluarga saya karena memberikan pekerjaan untuk saya. Tapi, apa selamanya saya harus diam sedangkan saya diinjak-injak seperti ini dan berkali-kali?” Tutur Jihan dengan mata yang meulai menatap tajam pada pria di depannya.
Narendra diam, dia tidak pernah menyangka jika wanita yang selama ini dia sangka seorang yang pendiam dan tidak berdaya kini dia bisa berbicara panjang lebar dan lancar di depannya.
“Jihan?” Panggil Narendra pelan, pria itu seakan sedang memeringatakan anak itu pada batasannya yang tidak lebih sebagai seorang karyawan dengan majikan.
“Iya, benar. Memang tidak ada cinta diantara kita. Namun, apakah pemikiran bapak sependek itu? Dengan mudah menceraikan saya dan memberikan sejumlah besar uang yang digadang sebagai kompensasi atau ganti rugi atau apalah iti. Tidak semudah itu, Pak!" kata Jihan dengan tegas walau saat ini kakinya sedang bergetar karena secara sadar atau tidak sadar dia berbicara seperti itu pada Tuan yang selama ini menggajinya bekerja.
“Apa yang kamu mau?” Tanya Narendra berkacak pinggang di depan istri keduanya.
"Ini menjadi rumit dan tidak semudah yang direncanakan sebelumnya," ujarnya dalam hati.
“Apakah bapak berpikir, apa jadinya setelah saya bercerai dengan Anda? Ya, memang Anda bisa menjamin jika saya akan mendapatkan banyak uang setelahnya, tetapi bagaimana dengan masa depan saya? Saya tidak lebih dari seorang janda dari anak orang miskin yang bermimpi menjadi istri dari pria kaya raya, tapi kemudian dilepeh begitu saja. Lalu, dipulangkan ke rumah orang tua, menjadi sampah masyarakat, dan bahan ocehan tetangga. Orang tuaku menanggung malu karena itu,” ujar Jihan berhenti seaat. Lantas, dia berdiri dan berjalan mendekat pada Narendra.
"Dan apakah Anda menyadari bahwa aku akan tetap menjadi pihak yang dirugikan di sini karena ulah keegoisan bapak dan istri bapak?" Lanjutnya setelah berkata panjang lebar.
"Katakan padaku, Pak. Apakah itu hal yang adil bagi saya?" Dia yang kini telah berdiri dan menatap Narendra dengan sangat berani meski matanya sudah basah karena air mata yang sudah sejak tadi menetes.
Mereka sama-sama diam, ruangan pun menjadi sunyi dan di bawah lampu yang menyorot terang menjadi saksi perbincangan mereka malam ini. Narendra bingung apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan solusi, “Lalu, apa maumu?”
"Aku ingin mendapatkan ganti rugi yang lebih daripada sejumlah uang yang Anda janjikan," ucap Jihan.
"Apa? Katakan," seru Narendra yang tidak membantah.
Jihan mengambil dan meremas kuat lembaran stopmap itu di tangan kanannya, “Anda bisa saja menceraikan saya, tapi dengan satu syarat yang harus Anda penuhi,” kata Jihan walau dengan rahang yang bergetar.
“Katakan!” Tegas Narendra. Pria itu melipat tangan di depan dadanya, dia tidak suka berbasa-basi.
Wanita itu memajukan tubuhnya selangkah demi langkah hingga kini jaraknya sangat dekat dengan posisi berdiri Narendra. Dengan napas yang hampir tercekat, Jihan harus bisa menarik napas sedalamnya, sebelum akhirnya wanita itu berkata, “Aku ingin mempunyai anak dari Anda, maka barulah aku akan pergi setelahnya.”
Cetar! Secangkir kopi panas terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara keras yang mengejutkan kedua orang yang sedang berbincang.
Cliantha, dia menutup mulutnya setelah mendengar apa yang menjadi persyaratan yang Jihan ajukan untuk menyetujui perceraian yang diajukan oleh Narendra.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments